Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Ia menyambut antusias rencana Peringatan 82 Tahun Sutardji Calzoum Bachri tersebut. Bahkan, Sutardji membuat surat tanda persetujuan, sekaligus membacakannya. Iwan Henry Wardhana dan Octavianus Masheka yang mendampingi, terharu atas kelapangan hati Presiden Penyair Indonesia tersebut.
Iwan, Sutardji, dan Octavianus kemudian terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan tentang sastra, kebudayaan, dan kebangsaan. "Puisi itu bukan hanya bercantik-cantik dengan bahasa, tapi mengandung spirit hidup, spirit kebangsaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Chairil Anwar," ungkap Sutardji Calzoum Bachri.
Sutardji menilai, para pegiat seni di tanah air, intens mendalami seni tradisi serta mengembangkannya. Itu tercermin, antara lain, pada tradisi Bali dalam berbagai pentas teater Putu Wijaya. Juga, tradisi Jawa dalam berbagai pentas teater WS Rendra. Termasuk tradisi Cirebon, pada berbagai pentas Arifin C. Noor.
Hal serupa juga dilakukan para pegiat seni dari berbagai bidang yang lain. Dan, nampaknya, kecenderungan yang demikian juga dilakoni oleh para pegiat seni dari kalangan muda. Kondisi tersebut tentu saja patut diapresiasi, karena apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah menggali nilai-nilai dari tradisi sendiri.
Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison, menulis di Harian Kompas, pada Jumat, 4 April 2008: usaha Sutardji Calzoum Bachri memaknai mantra secara baru dan menurunkannya dalam puisi, merupakan usaha menggali kebudayaan Melayu Riau, kebudayaan Sutardji sendiri. Dan itu memang memberikan kebaruan sekaligus kesegaran pada puisi Indonesia modern.
Dalam konteks menggali nilai-nilai dari budaya tradisi tersebut, Iwan Henry Wardhana berharap, Peringatan 82 Tahun Sutardji Calzoum Bachri ini menjadi momentum untuk merangkul kalangan muda, agar bergairah melakukan hal serupa. Dengan kata lain, supaya anak-anak bangsa tidak tercerabut dari akar budayanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mencatat, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik. Lebih tepatnya, di negeri ini terdapat 1.340 suku. Tiap suku memiliki kultur sendiri. Betapa luar biasa kekayaan budaya tradisi kita. Dan, masih sangat banyak yang belum tergali secara nilai-nilai budaya.
Artinya, tidak berlebihan, ketika Iwan Henry Wardhana berharap, Peringatan 82 Tahun Sutardji Calzoum Bachri ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran kalangan muda terhadap nilai-nilai budaya. Bukankah apa yang sudah dilakukan Sutardji, sangat patut diteladani?
Jakarta, 22 Februari 2023