Dikisahkan, jatuhnya Ngawi ke tangan Belanda membuat Pangeran Diponegoro gerah, dan menunjuk orang kepercayaannya untuk pergi ke Ngawi dan mengadakan perlawanan menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan Belanda kepada rakyat Ngawi.
Mendapat titah dari Pangeran Diponegoro, Kyai Muhammad segera mengatur strategi untuk berdakwah menyebarkan agama Islam, sekaligus mengobarkan semangat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan tidak berperikemanusiaan kemanusiaan yang dilakukan Belanda. Metode dakwah seperti ini mendapat apresiasi dari masyarakat Ngawi.
Namun, saat melakukan tugas yang diberikan Pangeran Diponegoro, Kyai Muhammad Nursalim berhasil ditangkap oleh Belanda, dan dimasukkan ke penjara di dalam benteng Pendem Van den Bosch Ngawi.
Karena kesaktiannya, Kyai Muhammad Nursalim tidak mempan senjata apapun, bahkan kebal peluru.
Kelemahan Kyai Muhammad Nursalim justru diikat tali tambang. Kyai Muhammad Nursalim diikat tambang dan dikubur hidup-hidup. Sebenarnya dalam tradisi Belanda, tidak pernah menjadikan benteng sebagai makam.
Hanya karena Kyai Muhammad Nursalim sangat sakti, pihak Belanda untuk pertama kalinya mengubur tawanan di dalam benteng.
Kyai Muhammad Nursalim adalah seorang ulama dan pejuang yang memiliki peran penting dalam Perang Diponegoro (1825-1830).
Beliau adalah salah satu dari banyak pengikut Pangeran Diponegoro yang bersumpah setia untuk melawan penindasan Belanda dan menegakkan syariat Islam di tanah Jawa.
Keberanian dan keteguhannya dalam membela perjuangan sang pangeran membuatnya menjadi target utama bagi pasukan kolonial.
Peran dalam Perang Diponegoro.
Sebagai seorang kyai, Muhammad Nursalim kemungkinan besar tidak hanya berperan sebagai pejuang fisik di medan perang, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual dan motivator bagi para pengikut Diponegoro.