" Katanya ini anak Lawu. Kalau anakan nya segini, terus keponakan nya dan saudara-saudaranya setinggi apa?"
Ada saja yang bercanda.
Sampai di sebuah warung, kami berhenti. Harus nya kami sarapan dulu untuk isi energi. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa lapar sama sekali, jadi menolak sarapan. Rasanya hanya ingin minum. Tapi itupun hanya beberapa teguk sudah kenyang.
Ayah tetap memaksaku mengonsumsi pisang yang dibeli di warung. Itupun aku hanya mau sepotong kecil. Entah kenapa Aku yang biasanya gembul, tidak ingin makan sama sekali.
Tak lama kami melanjutkan perjalanan. Aku semakin tertatih-tatih. Sebenarnya banyak anak-anak yang menawarkan untuk meminjami tongkat. Tapi kutolak dan ku ucapkan terima kasih. Sepertinya bagiku, memakai tongkat tidak membantu. Justru seperti menambah beban, jadi kutolak berkali-kali anak-anak muda yang sopan dan baik hati yang menawarkan tongkat nya untuk ku pinjam.
"Horee...Sampai puncak!" Pendaki anak-anak muda di atasku berteriak.
"Alhamdulillah...Aku langsung berteriak lega. Bersyukur ternyata tidak terlalu jauh. Tapi kok yang lain masih terus berjalan?
Oh, ternyata tadi hanya teriakan anak yang iseng. Padahal perjalanan masih jauh, belum ada separuh rute yang harus dicapai. Ada yang ngeprank nih.
Akhirnya aku jalan lagi. Ayah di depan membawa tas punggung dan tas Selempang ku. Jalanan semakin menanjak dan agak licin. Undak-undakan sudah tidak ada. Sempat terjadi badai. Angin sangat kencang membawa tetesan air seperti hujan. Tapi bukan hujan. Sepertinya nya kabut yang terseret badai. Dingin luar biasa. Tapi aku lebih tahan dingin daripada panas, jadi tidak terlalu masalah.