Sejujurnya Saya belum lama mendengar nama Bukit Mongkrang. Berdasarkan referensi, bukit ini aman untuk pemula yang belum terbiasa mendaki. Titik awal pendakian dimulai dari Dusun Tlogo Dringo, Desa Gondosuli, yang merupakan rekomendasi desa wisata di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.
Melihat ketinggiannya, saya pikir Bukit Mongkrang cuma beda tipis dengan puncak ijen yang ketinggiannya sekitar 2000 mdpl, dan pernah saya daki. Tapi, apakah rutenya seperti gunung ijen? Yuk kita daki secara langsung sebelum memasuki hari pertama masuk sekolah.
Pagi yang dingin, selepas subuh, saya dan suami mempersiapkan diri untuk melakukan hiking, mendaki bukit Mongkrang.
Suasana masih gelap, kami bertemu Om Annas dan istrinya yang juga siap berangkat melakukan pendakian. Akhirnya kita jalan bareng sampai tempat pendaftaran.
Di loket pendaftaran kami diberi formulir tektok untuk diisi jumlah rombongan dan penanggung jawab yang KTPnya ditahan. Di sini ditarik 10 ribu/orang untuk melakukan pendakian. Sedang kan untuk yang ngecamp di atas, biayanya 20 ribu sehari semalam.
Wisata ini sesuai untuk disebut Pariwisata berkelanjutan karena menyenangkan wisatawan dan menguntungkan pengelola.
Di pos pendaftaran sudah banyak rombongan yang ingin mendaki. Jarum jam menunjukkan angka 05.13. Suasana masih gelap dan dingin.
Formulir segera kuisi seperlunya sesuai data yang diminta.
Pukul 05.21 Kami mulai melangkah penuh antusias. Berusaha mempelajari situasi dan memperhatikan kondisi alam meski masih gelap dan butuh bantuan senter untuk menapaki rute pendakian yang di awal perjalanan masih membawa vibes jalan perdesaan.
Tak lama alam terang, dan kondisi jalan terlihat jelas. Kami berbondong naik bersama pendaki lain yang jumlahnya cukup banyak, membuat kami merasa tenang banyak teman.
Di beberapa tempat ada larangan untuk tidak membuang puntung sembarangan dan larangan membuat api unggun.
Rute yang terus menanjak membuat nafasku tersengal-sengal, maklum aku hampir tidak pernah melakukan pendakian. Berbeda dengan Ayah, meski sudah lansia, tapi terbiasa melakukan pendakian membuat stamina nya masih fit.
Ayah memberiku sebutir permen coklat sebesar kelereng. Untuk memberi energi butuh makanan yang manis seperti coklat atau permen. Lumayan bisa memberi sedikit energi dan semangat ditambah beberapa teguk air.
Perjalanan masih jauh, tapi kakiku mulai linu. Undak-undakan yang dibuat untuk memudahkan pendaki, justru sulit kulalui, apalagi jika undakan nya terlalu tinggi, kakiku tidak bisa menjangkau. Ditambah lututku yang pernah cedera, tidak berani menahan beban terlalu berat, apalagi untuk meloncat.
Rasanya pengin menyerah, tapi jarak yang dicapai baru beberapa ratus meter. Akhirnya aku melangkah pelan-pelan. Bahkan tas Selempang yang hanya berisi dompet dan ponsel pun akhirnya dibawakan ayah, seperti Potter pribadi saja. Hehehe.
" Katanya bukit Mongkrang ramah untuk pendaki pemula. Ini sih rute suhu!" Ada pendaki yang menggerutu. Hihihi...
Mungkin dianggap ramah pemula karena rutenya jelas, jadi tidak khawatir tersesat. Meski begitu rutenya cukup berat. Harus mempunyai stamina prima dan kondisi fit untuk mendaki bukit Mongkrang ini.
" Katanya ini anak Lawu. Kalau anakan nya segini, terus keponakan nya dan saudara-saudaranya setinggi apa?"
Ada saja yang bercanda.
Sampai di sebuah warung, kami berhenti. Harus nya kami sarapan dulu untuk isi energi. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa lapar sama sekali, jadi menolak sarapan. Rasanya hanya ingin minum. Tapi itupun hanya beberapa teguk sudah kenyang.
Ayah tetap memaksaku mengonsumsi pisang yang dibeli di warung. Itupun aku hanya mau sepotong kecil. Entah kenapa Aku yang biasanya gembul, tidak ingin makan sama sekali.
Tak lama kami melanjutkan perjalanan. Aku semakin tertatih-tatih. Sebenarnya banyak anak-anak yang menawarkan untuk meminjami tongkat. Tapi kutolak dan ku ucapkan terima kasih. Sepertinya bagiku, memakai tongkat tidak membantu. Justru seperti menambah beban, jadi kutolak berkali-kali anak-anak muda yang sopan dan baik hati yang menawarkan tongkat nya untuk ku pinjam.
"Horee...Sampai puncak!" Pendaki anak-anak muda di atasku berteriak.
"Alhamdulillah...Aku langsung berteriak lega. Bersyukur ternyata tidak terlalu jauh. Tapi kok yang lain masih terus berjalan?
Oh, ternyata tadi hanya teriakan anak yang iseng. Padahal perjalanan masih jauh, belum ada separuh rute yang harus dicapai. Ada yang ngeprank nih.
Akhirnya aku jalan lagi. Ayah di depan membawa tas punggung dan tas Selempang ku. Jalanan semakin menanjak dan agak licin. Undak-undakan sudah tidak ada. Sempat terjadi badai. Angin sangat kencang membawa tetesan air seperti hujan. Tapi bukan hujan. Sepertinya nya kabut yang terseret badai. Dingin luar biasa. Tapi aku lebih tahan dingin daripada panas, jadi tidak terlalu masalah.
Perjalanan pendakian terus berlanjut. Ada tulisan puncak, tapi ternyata sama saja, masih ngeprank juga. Tulisan puncak diikuti tanda panah. Artinya bukan puncak, tapi arah ke puncak. Sempat jengkel juga karena nggak nyampai-nyampai.
Rute mulai melewati jalan setapak. Sampai di sebuah pohon besar, aku minta berhenti dulu. Pura-pura minta foto, padahal pengin istirahat. Hehehe....
Setelah berhenti sejenak menghimpun tenaga, akhirnya kita lanjut berjalan. Medannya masih tetap nanjak, tapi karena mungkin sudah beradaptasi aku tidak terlalu lelah lagi. Tidak terlalu haus juga.
Akhirnya....
Terdapat tulisan Puncak Candi 2065 mdpl Mongkrang.
Tapi jangan senang dulu, ternyata ini belum mencapai puncak tertingginya bukit Mongkrang 2194 mdpl.
"Ayuk lanjut lagi!" Ayah mengajak ku melanjutkan perjalanan.
"Lho, ini kan sudah puncak, Mas?" Tanyaku kecewa. Kena prank lagi nih. Bisikku sebal meski hanya dalam hati.
"Belum. Itu kan masih 2065 mdpl. Puncak tertingginya 2194 mdpl!" Kata Ayah. Aku meringis. Secara teori, dari 2065 mdpl ke 2194 mdpl hanya kurang 129 m lagi. Sudah dekat.
Tapi sebentar. Ini Medannya menjebak, sebab dari puncak candi 2065 mdpl, turun dulu, setelah itu naik, turun lagi, barulah naik bukit lagi menuju puncak bukit Mongkrang 2194.
Hohoho.... ternyata rutenya pun ngeprank.
Dari puncak 2065, rutenya turun cukup curam, tanpa undak-undakan, jadi harus hati-hati dan berpegang pada batang pohong yang tumbuh di sepanjang jalur pendakian. Saat itu tiba-tiba perutku mulas mendapat panggilan alam. Padahal dari pagi berangkat belum sarapan. Agak aneh, sepertinya ini efek tadi malam makan banyak. Padahal sebelum berangkat aku sudah bertapa di toilet sampai lega.
Tapi ternyata penderitaanku tidak sampai di situ. Tiba-tiba aku merasa mual ingin muntah. Astaghfirullah. Semoga tidak terjadi apa-apa pada diriku. Aku komat-kamit berdoa. Sebuah kontradiksi. Di satu sisi aku kebelet ke belakang, di lain sisi aku mual. Kata Ayah karena perutku kosong. Tapi kenapa rasanya pengin ke belakang?
Akhirnya sampai di Pos Bayangan. Katanya sudah dekat. Ayah mengajak ku beristirahat, dan menyuruh ku makan bekal Snack yang diberikan panitia tadi malam.
Ayah makan lempernya, aku ambil roti nya. Tapi baru beberapa suap, aku hoak hoek nyaris muntah. Kata ayah aku mengalami hipotermia, dan memarahiku karena terlalu banyak minum. Padahal sampai di sini, minumku belum ada setengah botol. Masak dibilang banyak minum.
Ayah mengajak ku melanjutkan perjalanan.
"Ayuk, ini rutenya turun. Lebih mudah dan ringan!"
Aku mengikuti Ayah. Tapi baru beberapa langkah, mualku semakin menjadi. Kulihat di kejauhan, ternyata rute ke puncak masih panjang dan lama. Masih harus turun lama,baru naik lagi. Aku bimbang. Tubuhku tiba-tiba terasa ngilu, dan mual mau muntah. Aku khawatir pingsan kalau melanjutkan perjalanan.
"Mas, Aku balik saja ya. Kutunggu di pos bayangan. Lanjutkan sendiri saja sampai puncak,"
"Jangan! Itu sudah dekat!" Awalnya ayah melarang aku berbalik. Tapi Aku hanya diam pasrah.
"Aku mau istirahat di pos saja!"
(Bersambung dulu ya, Istirahat dulu, cerita nya sudah kepanjangan. Yuk nonton video dulu aja!)
Sumber: YouTube @Isti Yogiswandani channel