Sate kambing Pak Pur. Kalimat ini begitu akrab dengan dunia kuliner, seviral cerita MBG yang terus bergulir.
Di telinga para penggemar camping seperti komunitas CVI, CAF tidak hanya region Jawa Tengah, tapi juga Jawa Timur. Bahkan tetangga, teman dan kolega suami juga familiar dengan Sate kambing Pak Pur. Bagaimana dengan diriku? Aih....masak kudet!
Berhubung sering mengikuti acara camping di sekitar Tawangmangu, dan berkali-kali melintas di jalan yang melewati Pasar Tawangmangu, Aku juga jadi akrab dengan tulisan "Sate kambing Pak Pur".
Awalnya Aku heran kok sering membaca tulisan itu, khawatir kalau halusinasi, tapi ternyata di sekitar Tawangmangu cabang nya banyak, tak heran Aku sering bertemu dengan tulisan seperti itu.
Usai camping, kami menuju Pasar Tawangmangu untuk mencari oleh-oleh. Beruntung nya, kali ini Aku dengan kesadaran penuh ingin mampir juga di sate kambing Pak Pur, menebus kurang gizi saat camping. Eh...
Depot Sate kambing Pak Pur yang pertama kami lewati ternyata penuh,dan terlihat antrian. Sementara lokasinya di pinggir jalan raya, dengan tempat parkir memakan jalan, panas, penuh antrian, tentunya membuat keinginan untuk berhenti menjadi lenyap.
Meski tumpukan sate yang belum, sedang dan sudah dibakar menguarkan aroma wangi karamel dan gurih daging kambing yang membuat cacing di perut meronta, kami tetap melaju dan tidak jadi berhenti.
Sekilas mataku menangkap sate: 19 ribu. Ahaiii...murah amat. Pantas saja pembelinya dari Jawa Timur juga banyak, bahkan tidak hanya yang kebetulan sedang berwisata ke Tawangmangu, tapi memang berniat membeli sate, berangkat dari rumah.
Pada tulisan Sate Pak Pur yang kedua, terlihat sangat sepi tidak ada pembeli. Lokasinya agak masuk meski terlihat dari jalan. Parkir dan tempat makan nya luas. Kami nyaris berbelok ke sini. Tapi logika akhirnya bicara. Kalau tempat senyaman itu saja kosong, pastilah satenya sudah habis. Hihihi...
Nah terakhir, saat parkir yang ternyata juga menjadi terminal bis, barulah ketemu Sate Kambing Pak Pur yang tetap saja tempat nya penuh. Di sini seporsi sate kambing harganya tertulis 20 ribu.
Beti dengan yang di pusatnya yang 19 ribu per porsi. Selisih seribu tentunya bukan masalah untuk seporsi sate kambing yang katanya lezat. Perlu dibuktikan dulu ya, hehehe...
Tapi sayang nya saat pesan 2 porsi sate, ternyata sudah habis.
"Lha itu yang dibakar sebanyak itu masak sudah habis, Mbak?" Tanyaku kecewa. Berharap masih tersisa 1-2 porsi.
"Habis, Bu. Sudah dipesan semua. Masih nunggu 1 jam lagi baru tersedia lagi."
"Kambingnya sedang disembelih ya,Mbak?" Tanyaku bergurau. Tapi Mbak yang melayani hanya tersenyum.
Akhirnya, daripada menunggu lama, kami pesan tongseng saja. Kebetulan ayah sukanya olahan yang berkuah. Kalau Aku, meski lebih suka sate, tongseng pun jadilah.
Setelah menulis pesanan, dan memilih tempat, kami langsung dilayani karena tongseng nya memang sudah tersedia, tinggal diciduk dari wajannya.
Sambil menunggu pesanan diantar, Aku mengamati sate yang sedang dibakar. Aromanya sungguh menggoda.
Setiap tusuk sate pasti ada 1 atau 2 potong gajih atau lemaknya. Ini rahasia kelezatan sate yang jarang orang tahu. Gajih atau lemak inilah yang membuat sate empuk, mois dan jusi. Di samping lemak yang meleleh bercampur kecap atau air gula yang dibakar akan menguarkan aroma khas sate dan karamel yang menggoda.
Pernah ada seorang teman yang komplain, meminta gajihnya diganti daging semua, tapi ditolak oleh penjual nya dengan alasan tusukan satenya sudah disetting begitu, tidak bisa diubah, membuat teman saya jengkel, karena sedang diet.
Mungkin penjual nya khawatir, daging yang dibakar jadi keras dan mengering jika tanpa lemak. Butuh menanggapi hal -hal seperti ini dengan bijak, agar sama-sama nyaman dan puas.
Tak lama pesanan tongseng, nasi dan minuman sudah disediakan di meja kami. Hemmm....tak sabar untuk mencicipi.
Tongseng ini mirip gule, tapi ada tambahan irisan kol atau kubis, kecap, tomat dan irisan cabe rawit. Cabe rawit nya dipisah sebagai pengganti sambal.
Kucicipi kuahnya. Rasanya gurih, enak, tapi agak flat meski ada sedikit tendangan lada. Aroma rempahnya tipis saja, tidak setebal gule atau kari yang dominan rempah.
Pada suapan daging yang pertama, kebetulan pas dapat potongan daging yang alot. Lama dikunyah masih tetap membal, akhirnya kutelan. Tapi entah karena potongan nya terlalu besar atau dagingnya yang masih alot, malah nyangkut di tenggorokan. Mataku sampai berakhir dan nafasku tersumbat. Beruntung aku terbatuk dan dagingnya terlempar, cepat-cepat kuambil dan kubungkus tisu untuk dibuang.
Tapi pada suapan selanjutnya, dagingnya relatif empuk meski masih ada sedikit perlawanan. Bahkan sampai suapan terakhir aman dan lezat. Alhamdulillah...
Saat membayar, untuk 2 porsi tongseng, 2 piring nasi putih, 1 gelas es jeruk dan 1 gelas teh hangat ternyata hanya habis 50 ribu. Murah, pikirku.
1. Harganya sangat terjangkau dan ramah di kantong.
2. Harganya langsung tertulis di spanduk dan bisa dibaca dengan jelas.
3. Rasanya lezat, mois dan jusi
4. Porsinya lumayan banyak
Penasaran?
Yuk simak videonya.
Sumber: YouTube @Usti Yogiswandani channel