KS Story
KS Story Petani

Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)

Selanjutnya

Tutup

Video

Potret Kehidupan Episode 94 Hidup Bukan Arena Balap

28 April 2024   13:53 Diperbarui: 29 April 2024   00:19 1263 0 0

Ada banyak proses yang KS lalui. Ayahku dulu bilang; "Hidup bukan arena balap. Jalurnya berbeda. Apalagi garis finishnya." Hidup itu bukan perlombaan balap lari, pemenangnya bukan yang tercepat mencapai garis akhir, yang kalah juga bukan yang gagal masuk garis finish. Tapi dari kecil, KS kecil sering disuruh cepat-cepat. Dan disuruh untuk makan lebih cepat agar ibu bisa segera berberes, atau disuruh cepat-cepat bersiap agar tidak terlambat ke sekolah. Bahkan setelah KS dewasa, KS masih disuruh cepat-cepat menyelesaikan skripsi, cepat-cepat dapat pekerjaan yang keren, cepat-cepat menikah, punya rumah, anak dan adik-adiknya, mobil, usaha, kebun dan lain-lain. 

KS remaja hidup dizaman, dimana semua urusan takdir diperlombakan. Aku dipaksa harus berlari diluar kemampuanku. Kata orang-orang dahulunya, yang telat akan dihina dan dicela. Entah itu soal nikah..., soal hamil, soal anak, soal gaji, soal sukses dan bla-bla-bla. Pikiranku dulu, apa ada piala bagi pencapai garis finish pertama? Ha-ha-ha. Padahal, hidup bukan arena balap. Setiap  orang punya sirkuit kehidupan masing-masing. Setiap orang punya perjuangan tersendiri dalam hidup mereka. Berjuang untuk menjernihkan kembali segala kerumitan di masa silam. Agar terus dapat hidup dengan tenang pada masa sekarang. Dan mencipta momen yang lebih bermakna buat diri mereka di masa depan. 

Teringat dulu, KS remaja. Banyak orang menganggapku sangat beruntung. Betapa tidak, aku masuk kerja dengan cuma-cuma, cuma tes ini itu. Keliatannya memang mudah, tapi orang-orang tidak melihat bagaimana kegelisahanku hidup di kota. Apapun itu, ini hidupku, bukan lomba lari. Perasaanku tetap tidak berubah. Yang jelas, aku tak ingin melanjutkan karirku disono. Biar saja orang bangga dengan statusnya yang bekerja di kota, keren pake baju bagus, memasuki gedung-gedung bertingkat, bertemu dengan orang-orang elit. Bagiku jelas, pekerjaan itu tak cocok dengan impianku. Itu bukan cara yang tepat untuk menggapai mimpi-mimpiku. Sekali lagi aku merasa tidak cocok dengan pekerjaan semacam itu. Titik.  Begitu caraku menepis pandangan bodoh terhadapku kala itu. You know? Hidup bukan Arena Balap.

Kuceritakan sekali lagi, tapi bukan tentang balapan. Melainkan tentang perjuangan. Setelah hari pertama bekerja di bank berlalu, hari kedua dan seterusnya mengalir begitu saja. KS sudah dipercaya untuk menangani nasabah sendiri. Awalnya sedikit canggung, namun lama-kelamaan jadi menyenangkan. Bertemu dengan banyak orang, berkenalan, berbincang-bincang dan membantu mereka. Inilah yang kucari selama ini. Tak sia-sia rasanya aku kuliah, merantau jauh-jauh. Pikirku diawal-awal.

Suasana kerja yang menyenangkan juga menjadi faktor ketenangan batinku. Aku cepat beradaptasi, berteman dengan sesama pegawai, menghormati senior-seniorku, dan memperlakukan mereka sebagai guru. Kepala bagian HRD di kantorku ternyata orang minang. Orangnya luar biasa baik. Aku terus di support dengan motivasi. Pernah hari itu, aku ditugaskannya beberapa hari, ia memintaku menjadi operator saja yang hanya mengisi suara telpon masuk, operator pengisi suara call center bank kami. Terus terang, aku mengalami demotivasi. Ha-ha-ha. 

Bukan karena aku pembosan. Bukan. Aku hanya demotivasi. Bagaimana tidak? Kamu bisa bayangkan, entah berapa kali telpon yang akan masuk dalam sehari. Pekerjaanku hanya mengangkat gagang telpon dan mengucapkan, "Selamat pagi...., ada yang bisa dibantu?" Lalu memencet tombol 1  2 3 dan menyambungkannya ke setiap bagian. Begitu terus setiap hari. Anak SMA aja bisa. Aku menepuk jidatku, dan berkata dalam hati. "Bah, kalo cuma begini, ga perlu nya aku kuliah teknik ke UII sana." 

Ingin hati ini menjerit. Besoknya, berdering lagi, tapi ini dari bagian abcd, mereka meledekku. "KS...KS..., bisa minta pesan kopi ke pantry?" Kujawab; "Selamat siang, ada yang bisa dibanting?, pantry belok kiri ya gaeess, kantin maju jalan." Kesel aku, ke kantor cuma hanya untuk itu hahaha, ga sampai seminggu kudatangi kepala bagian HRD. "Om, aku demotivasi kalau kayak gini!". "Masa' aku cuma ngangkat telpon doang, mana yang diomongin itu-itu teruus. Berbuih muncungku, aku ga mao, hh." Bapak itu terus mensupport aku dengan memotivasiku. "Kau ingin sukses, kan? Maka bertahanlah!". Lembut suaranya. Besoknya aku dikirimnya ke UNRI untuk beberapa minggu, jadi teller untuk pembayaran uang kuliah mahasiswa. Diantar jemput. Lumayan lah, bisa keluar dan melihat kemacetan kota, wkwkka. Tapi kan, mual aku pegang uang ada yang lusuh keriting lagi, aku harus meluruskannya satu-satu dan menyusunnya hingga rapi. Seminggu setelah itu, aku balik lagi ke HRD. "Om, aku aku akhir tahun, mao resign lah lagi, mao nikah!". Bukan karena aku bosan atau mao nikah sih, aku males ajah kerja ga berpikir tu. Bapak itu terus saja memotivasi ku, "Kau ingin sukses, kan? Maka bertahanlah!". Itu-itu aja kata motivasi kelas dunia ini, dalam hatiku. Sungguh, aku tidak ingin lulus ujian itu, wkwka. Tapi setidaknya, katanya itu menjadi cerita bagiku sekarang. 

Banyak lagi proses yang kulalui. Memang untuk memulai sesuatu, kadang terasa amat sulit. Bayangkan betapa beratnya hal semacam ini. Tapi aku bertekad, aku tak akan menciut begitu saja, aku tentu tak ingin juga dipengaruhi pikiran-pikiran buruk. Setidaknya, gaji yang akan kuterima awal bulan besok, cukup menjadi alasanku untuk tetap bersemangat dari bulan ke bulan. Tetap sumringah. Sementara mengeluh, __bukan sifatku.

Setiap hari, dari rumah Abangku, aku naik angkutan umum menuju kantor karena belum bisa beli sepeda motor sendiri. Malulah kalo minta belikan sama orang tua. Setiap pagi dan sore, aku bergelantungan macam monyet dalam bus, hh. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Berbaur dengan aneka bau-bauan yang kadang membuatku mual. Tak jarang aku menemukan tangan-tangan jahil yang beraksi di dalam bus. Mencopet bahkan menggerayangi. Mengerikan sekaligus menjijikkan. Untuk mencegah hal-hal buruk macam itu terjadi padaku, maka aku mempersiapkan diri semaksimal mungkin. 

Dari rumah aku memakai sendal jepit, sepatu hak tinggi kumasukkan ke dalam tas. Begitu pula dengan baju seragam. Baju itu kukenakan saat aku tiba dikantor saja. Dari rumah aku lebih memilih untuk memakai baju yang lebih tertutup dan tentu saja celana panjang. Aku tak kan rela dunia akhirat jika ada tangan-tangan nakal menyentuhku. Di tasku ada semprotan untuk mengusir orang jahil. 

Meski berat, aku berusaha menegarkan diri. Aku harus kuat. Apalagi pundi-pundi yang tak seberapa itu terus mengalir ke rekening tabunganku. Aku berusaha untuk tetap semangat bekerja meski dihadang banyak masalah di jalan. Lagi-lagi aku merasa ilmu yang ku pelajari saat kuliah tak membawa manfaat besar jika aku berlama-lama disini. Pekerjaan di kantor berjalan lancar, namun tak selancar jalanan yang harus ku tempuh setiap hari. Kemacetan dan buskota membuat aku down. Kubeli sepeda motor pake uang sendiri, Supra fit. Mungkinkah aku dapat hidup nyaman di kota besar ini? Semakin ku coba untuk bertahan, semakin aku lemah. Semakin aku mencoba untuk tak pernah mengeluh, semakin besar dorongan untuk mengeluh, bahkan menangis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4