Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)
Potret Kehidupan Episode 94
Hidup Bukan Arena Balap!
Sebelum kesini, aku ketemu orang Palembang. We talk ; "Aku iri samo kau, KS. Kerjaan kau lemak nian," celetuknya suatu pagi di kedainya yang sejuk. "Ai dahlah kau ni, Yuk. Mano ado kerjo yang lemak? Selamo kito kerjo dibawah perintah wong, kito masih jadi robot, wkwkka!". Ayuk itupun tertawa berderai. "Betul jugo yang kau katokan, KS. Kalo aku, aku bosnya, aku karyawanya ha-ha". Tapi setidaknya, Ayuk sudah membandingkan pekerjaannya dengan pekerjaanku. "Jelas..., pekerjaan orang lain terlihat lebih enak." Akupun sempat bilang; "Ish dah kau ni, Yuk, bukannyo kau yang lemak? Duduk-duduk, sambil jualan bisa lak kau menggosip eh menggosok maksudku". "Kau kan idak merasokannya, KS?" Jawabnya. "Kau yang lemak, KS. Duduk-duduk, nulis cerpen, ambek gaji tanggal satu. Apo lagi? Ke kebun, makan-makan, ngobrol-ngobrol samo wong sunda dan jawa disano, buat konten. Lemak la kau tu". Kata salah satu pegiat kuliner nusantara ditempatku.
"Yuk, rumput di halaman tetanggo tu terlihat lebih hijau ketimbang rumput di halaman sendiri. Ingat itu!" Orang bijak pernah berkata: "Kalo orang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagat raya bahu-membahu membantu orang itu mewujudkan impiannya." Aku memperbaiki dudukku. "Jadi orang kantoran belum tentu menyenangkan, yuk. Penghasilan yang tak seberapa kadang membuat orang terpaksa menjadi tidak jujur. Untuk itulah disela-sela waktu kerjaku jika ada luang saja, aku ke kebun refreshing. Sambil belajar tentang berkebun-kebun pada mereka, kuiisi dengan menulis hal-hal yang bermanfaat. Jadi beginilah jadwalku setiap hari senggang. Kalo setiap hari kerja yo berangkat kerja, sarapan di kantor, mengobrol, menulis, makan siang, mengobrol lagi, sesekali keluar kota dan pulang. Sabtu atau Minggu aku akan membeli pempek ayuk, tekwan, batagor akang depan bank, atau siomaynya yang hendak aku makan bersama-sama dengan anak-anak, suami atau orang dikebunku." Begitu ayuuuk.
"Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita nggak sedang berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik kuq, setiap orang punya waktunya sendiri, begitupun kamu yang sedang berproses. Entah itu prosesmu, ataupun hidupmu. Jangan pernah bandingkan dirimu dengan orang lain. Karena tak semua bunga tumbuh dan mekar secara bersamaan. Bahkan matahari dan bulanpun bersinar dengan waktunya masing-masing. Ya kan?" Ayuk itu tersenyum melihatku.
"Oh iya yuk. Bagi sebagian orang yang melihatku, mungkin menganggap aku sangat beruntung. Betapa tidak, aku hanya sedikit sekali bekerja selebihnya waktuku habis untuk mengobrol, makan-makan, dan tentu saja menulis cerpen. Bahkan, kang siomay yang disono itu pernah mengatakan kalau aku digaji untuk jalan-jalan." Aku tertawa mendengarnya.
We talk; "Lo mah enak hidupnya..." "Lo mah beruntung banget bisa...." "Lo mah enak punya orang tua yang bisa..." Kubilang padanya kemarin. "Kang..., percayalah! Setiap orang punya masalahnya masing-masing. Tapi membandingkan hidup orang dengan hidup sendiri itu nggak akan mengubah apa-apa. Hanya bikin capek hati."
Kutepuk pundaknya;
"Dirimu hebat, kuq. Jangan mao kalah dengan keadaan yang membuatmu tertekan. Ingat! Allah tidak akan memberikan masalah tanpa solusi. Jangan mengeluh! Terkadang, kita menganggap hidup orang lain lebih enak. Padahal mungkin saja dia lebih sulit, hanya saja dia tidak mengeluh. Tidak ada manusia yang baik-baik saja di dunia ini. Kita semua sedang berjuang dengan ujian masing-masing. Maka ingatlah selalu; "Hasbunallah wanikmal wakil". Cukup Allah penolong kita." Kang siomaynya juga tersenyum lalu mengembalikan uangku. Aku balas tersenyum dan menganggukkan kepala pada lelaki itu. Lelaki itu balas menatapku dan tersenyum.
***
Begitulah episode 94 ini bermula dari pegiat kuliner nusantara tempat aku biasa belanja bersama anak-anak.
We talk;
"Jangan bandingkan hidupmu dengan orang lain, semua punya sedih dan bahagianya masing-masing. Nggak semua yang orang lain punya, kamu juga harus punya. Nggak semua yang orang lain bisa, kamu juga harus bisa. Nggak semua yang orang lain capai, kamu juga harus capai. Dan itu ngga apa-apa."
"Setiap orang pasti memiliki timing dan definisi suksesnya masing-masing. Dan hidup itu bukan selalu tentang balapan, tapi juga tentang perjuangan. Tetap semangat dan hargai setiap proses dalam hidupmu ya sob, karena tidak akan ada hasil yang mengkhianati usaha."
"Semua orang punya kondisinya masing-masing, kan? Kondisi yang tentu tidak selalu sama dengan kondisinya kita. Tidak bijak rasanya, menjudge orang lain, tanpa kita tau pasti kondisinya seperti apa. Apalagi, menjudge hanya karena kondisi orang tersebut berbeda dengan kita. Atau karena kondisi orang lain tersebut adalah kondisi yang kita inginkan, tapi kita belum sampai padanya."
"Dunia menuntut kita untuk terus bergerak maju, bahkan ada pepatah "the early bird gets the worm" yang mempertegas bahwa kita harus terus maju jangan lelet-lelet. Kalau ga mau kehabisan cacing dan hanya tersisa tanahnya saja. Tapi, seringkali kita lupa, untuk bergerak maju gak melulu harus dengan berlari. Kadang kala, berjalan juga bisa bergerak maju, bahkan ga kalah cepat dari yang lari juga. Kemaren ada yang lari, ngos-ngosan sampe pengsan. Yang berjalan terus bergerak maju, sampai juga ke garis finish, Yuk".
Kami tertawa sejadi-jadinya.
"Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Ga semua dalam hidup itu, perlombaan. Menikah dulu, aku bukan yang balapan dan cepet-cepetan git, Yuk. Sebaik apapun rencanaku, tetaplah ketetapan-Nya yang terbaik. Sukses juga gitu, bukan arena balapan. Aku tidak pernah tau dibalik orang yang belum sukses, ada perjuangan besar. Dia bergelut mengurus keluarganya, atau baru saja gagal dalam hubungan percintaannya. Aku tak pernah tau ada ikhtiar yang luar biasa telah dilakukan dan ada doa yang tak henti-hentinya di panjatkan."
Pengalaman Pribadi;
Ada banyak proses yang KS lalui. Ayahku dulu bilang; "Hidup bukan arena balap. Jalurnya berbeda. Apalagi garis finishnya." Hidup itu bukan perlombaan balap lari, pemenangnya bukan yang tercepat mencapai garis akhir, yang kalah juga bukan yang gagal masuk garis finish. Tapi dari kecil, KS kecil sering disuruh cepat-cepat. Dan disuruh untuk makan lebih cepat agar ibu bisa segera berberes, atau disuruh cepat-cepat bersiap agar tidak terlambat ke sekolah. Bahkan setelah KS dewasa, KS masih disuruh cepat-cepat menyelesaikan skripsi, cepat-cepat dapat pekerjaan yang keren, cepat-cepat menikah, punya rumah, anak dan adik-adiknya, mobil, usaha, kebun dan lain-lain.
KS remaja hidup dizaman, dimana semua urusan takdir diperlombakan. Aku dipaksa harus berlari diluar kemampuanku. Kata orang-orang dahulunya, yang telat akan dihina dan dicela. Entah itu soal nikah..., soal hamil, soal anak, soal gaji, soal sukses dan bla-bla-bla. Pikiranku dulu, apa ada piala bagi pencapai garis finish pertama? Ha-ha-ha. Padahal, hidup bukan arena balap. Setiap orang punya sirkuit kehidupan masing-masing. Setiap orang punya perjuangan tersendiri dalam hidup mereka. Berjuang untuk menjernihkan kembali segala kerumitan di masa silam. Agar terus dapat hidup dengan tenang pada masa sekarang. Dan mencipta momen yang lebih bermakna buat diri mereka di masa depan.
Teringat dulu, KS remaja. Banyak orang menganggapku sangat beruntung. Betapa tidak, aku masuk kerja dengan cuma-cuma, cuma tes ini itu. Keliatannya memang mudah, tapi orang-orang tidak melihat bagaimana kegelisahanku hidup di kota. Apapun itu, ini hidupku, bukan lomba lari. Perasaanku tetap tidak berubah. Yang jelas, aku tak ingin melanjutkan karirku disono. Biar saja orang bangga dengan statusnya yang bekerja di kota, keren pake baju bagus, memasuki gedung-gedung bertingkat, bertemu dengan orang-orang elit. Bagiku jelas, pekerjaan itu tak cocok dengan impianku. Itu bukan cara yang tepat untuk menggapai mimpi-mimpiku. Sekali lagi aku merasa tidak cocok dengan pekerjaan semacam itu. Titik. Begitu caraku menepis pandangan bodoh terhadapku kala itu. You know? Hidup bukan Arena Balap.
Kuceritakan sekali lagi, tapi bukan tentang balapan. Melainkan tentang perjuangan. Setelah hari pertama bekerja di bank berlalu, hari kedua dan seterusnya mengalir begitu saja. KS sudah dipercaya untuk menangani nasabah sendiri. Awalnya sedikit canggung, namun lama-kelamaan jadi menyenangkan. Bertemu dengan banyak orang, berkenalan, berbincang-bincang dan membantu mereka. Inilah yang kucari selama ini. Tak sia-sia rasanya aku kuliah, merantau jauh-jauh. Pikirku diawal-awal.
Suasana kerja yang menyenangkan juga menjadi faktor ketenangan batinku. Aku cepat beradaptasi, berteman dengan sesama pegawai, menghormati senior-seniorku, dan memperlakukan mereka sebagai guru. Kepala bagian HRD di kantorku ternyata orang minang. Orangnya luar biasa baik. Aku terus di support dengan motivasi. Pernah hari itu, aku ditugaskannya beberapa hari, ia memintaku menjadi operator saja yang hanya mengisi suara telpon masuk, operator pengisi suara call center bank kami. Terus terang, aku mengalami demotivasi. Ha-ha-ha.
Bukan karena aku pembosan. Bukan. Aku hanya demotivasi. Bagaimana tidak? Kamu bisa bayangkan, entah berapa kali telpon yang akan masuk dalam sehari. Pekerjaanku hanya mengangkat gagang telpon dan mengucapkan, "Selamat pagi...., ada yang bisa dibantu?" Lalu memencet tombol 1 2 3 dan menyambungkannya ke setiap bagian. Begitu terus setiap hari. Anak SMA aja bisa. Aku menepuk jidatku, dan berkata dalam hati. "Bah, kalo cuma begini, ga perlu nya aku kuliah teknik ke UII sana."
Ingin hati ini menjerit. Besoknya, berdering lagi, tapi ini dari bagian abcd, mereka meledekku. "KS...KS..., bisa minta pesan kopi ke pantry?" Kujawab; "Selamat siang, ada yang bisa dibanting?, pantry belok kiri ya gaeess, kantin maju jalan." Kesel aku, ke kantor cuma hanya untuk itu hahaha, ga sampai seminggu kudatangi kepala bagian HRD. "Om, aku demotivasi kalau kayak gini!". "Masa' aku cuma ngangkat telpon doang, mana yang diomongin itu-itu teruus. Berbuih muncungku, aku ga mao, hh." Bapak itu terus mensupport aku dengan memotivasiku. "Kau ingin sukses, kan? Maka bertahanlah!". Lembut suaranya. Besoknya aku dikirimnya ke UNRI untuk beberapa minggu, jadi teller untuk pembayaran uang kuliah mahasiswa. Diantar jemput. Lumayan lah, bisa keluar dan melihat kemacetan kota, wkwkka. Tapi kan, mual aku pegang uang ada yang lusuh keriting lagi, aku harus meluruskannya satu-satu dan menyusunnya hingga rapi. Seminggu setelah itu, aku balik lagi ke HRD. "Om, aku aku akhir tahun, mao resign lah lagi, mao nikah!". Bukan karena aku bosan atau mao nikah sih, aku males ajah kerja ga berpikir tu. Bapak itu terus saja memotivasi ku, "Kau ingin sukses, kan? Maka bertahanlah!". Itu-itu aja kata motivasi kelas dunia ini, dalam hatiku. Sungguh, aku tidak ingin lulus ujian itu, wkwka. Tapi setidaknya, katanya itu menjadi cerita bagiku sekarang.
Banyak lagi proses yang kulalui. Memang untuk memulai sesuatu, kadang terasa amat sulit. Bayangkan betapa beratnya hal semacam ini. Tapi aku bertekad, aku tak akan menciut begitu saja, aku tentu tak ingin juga dipengaruhi pikiran-pikiran buruk. Setidaknya, gaji yang akan kuterima awal bulan besok, cukup menjadi alasanku untuk tetap bersemangat dari bulan ke bulan. Tetap sumringah. Sementara mengeluh, __bukan sifatku.
Setiap hari, dari rumah Abangku, aku naik angkutan umum menuju kantor karena belum bisa beli sepeda motor sendiri. Malulah kalo minta belikan sama orang tua. Setiap pagi dan sore, aku bergelantungan macam monyet dalam bus, hh. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Berbaur dengan aneka bau-bauan yang kadang membuatku mual. Tak jarang aku menemukan tangan-tangan jahil yang beraksi di dalam bus. Mencopet bahkan menggerayangi. Mengerikan sekaligus menjijikkan. Untuk mencegah hal-hal buruk macam itu terjadi padaku, maka aku mempersiapkan diri semaksimal mungkin.
Dari rumah aku memakai sendal jepit, sepatu hak tinggi kumasukkan ke dalam tas. Begitu pula dengan baju seragam. Baju itu kukenakan saat aku tiba dikantor saja. Dari rumah aku lebih memilih untuk memakai baju yang lebih tertutup dan tentu saja celana panjang. Aku tak kan rela dunia akhirat jika ada tangan-tangan nakal menyentuhku. Di tasku ada semprotan untuk mengusir orang jahil.
Meski berat, aku berusaha menegarkan diri. Aku harus kuat. Apalagi pundi-pundi yang tak seberapa itu terus mengalir ke rekening tabunganku. Aku berusaha untuk tetap semangat bekerja meski dihadang banyak masalah di jalan. Lagi-lagi aku merasa ilmu yang ku pelajari saat kuliah tak membawa manfaat besar jika aku berlama-lama disini. Pekerjaan di kantor berjalan lancar, namun tak selancar jalanan yang harus ku tempuh setiap hari. Kemacetan dan buskota membuat aku down. Kubeli sepeda motor pake uang sendiri, Supra fit. Mungkinkah aku dapat hidup nyaman di kota besar ini? Semakin ku coba untuk bertahan, semakin aku lemah. Semakin aku mencoba untuk tak pernah mengeluh, semakin besar dorongan untuk mengeluh, bahkan menangis.
Puncaknya suatu pagi, dibawah gerimis, aku telah siap berangkat ke kantor. Karena diperkirakan cuaca akan hujan, aku kembali berjalan menyusuri jalan besar menuju halte bus. Semalam hujan turun dengan derasnya. Hingga pagi itu, hujan masih menyisakan rinai. Cukup lama aku berdiri di halte sambil berlindung di bawah payung. Tiba-tiba, sebuah mobil camry hitam melaju kencang di depan halte dan membuat genangan air menghambur kemana-mana. Aku terdiam memandangi bajuku yang basah terkena cipratan air. Rasanya aku ingin menjerit, berteriak, memaki dan ah! Aku benar-benar kesal dibuatnya. Alangkah sombongnya, orang itu. Apa dia tak melihat genangan air di depan halte ini? Ku pandangi punggung mobil camry hitam itu sambil berucap, "Tunggulah, suatu saat nanti aku pasti punya mobil seperti kau. Dan jika saat itu telah tiba, aku tak akan menjadi manusia sombong macam kau." Akhirnya, aku terpaksa balik lagi untuk ganti baju.
Sepanjang jalan, pikiranku menjadi tak menentu. Kesal karena peristiwa tadi pagi masih tersisa. Aku sedih menghadapi hidup macam ini. Jika ku pandangi mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalan raya, semakin sedih hatiku. Apakah aku bisa hidup seperti mereka? Hidup dalam kenyamanan dan kesejahteraan. Kadang timbul dibenakku, apa sih pekerjaan mereka? Pegawai? Pengusaha? Pejabat? Atau koruptor?
Banyak nasabahku yang datang dari keluarga kaya raya. Tak tanggung-tanggung, bunga deposito dan reksadana mereka saja bisa mencapai Rp. 50 juta bahkan lebih. Pemandangan yang cukup menyakitkan. Setiap hari aku berkutik dengan angka-angka fantastis. Tapi itu bukan milikku, hehehe. Selama ini mereka baik padaku. Jika pulang dari jalan-jalan ke luar negeri, aku sering diberi oleh-oleh, kadang baju kaos singapura. Aku malah sedih mendengar cerita yang bisa jalan-jalan ke luar negeri kapanpun mereka mau. Kapan giliranku punya uang banyak di rekening tabungan? Kapan giliranku jalan-jalan ke luar negeri? Kek gitu-gitu KS remaja hahaha.
Jika dilihat dari gajiku, rasanya tak mungkin hal semacam itu terwujud . Gaji yang tak seberapa itu susah payah kusisihkan untuk di tabung. Tahu sendiri, hidup di kota besar membutuhkan biaya yang tak sedikit. Jika tak menabung, untuk apa aku berusaha payah bekerja di kota, kalo beras aja selalu dikirimkan ayah dari kampung? Jika dilihat dari luar, aku memang sudah nyaman dengan pekerjaanku waktu itu. Kuakui itu. Namun, aku manusia biasa yang tak mudah berpuas diri. Kalau bisa, aku tak mau lagi setiap hari hujan tiba berdesak-desakan di bus. Atau kalau bisa, aku tak mau lagi panas-panas melewati kemacetan jalan raya, aku sudah hitam soalnya. Kalau bisa, aku ingin duduk di mobil mewah, yang sejuk, dan wangi. Xixiixi. Tapi apa dayaku? Rasa-rasanya otakku buntu menghadapi kesemrawutan hidup dikota ketika itu. Ketidaknyamanan yang harus kutelan mentah-mentah membuatku terpaksa mengeluh pada ayahku.
Aku berharap ia memahami penderitaanku. Tapi apa yang kudapat? Ayahku malah mengatakan hal yang tak ingin kudengar. "Sudah terlanjur kau merantau jauh, kau harus kuat. Dak boleh mundur. Kalau kau nak maju, pasti ado jalan. Jangan ikuti orang yang gagal, mencari masalah di balik semua solusi. Jangan kau terlalu sering melihat ke atas, ingat, Allah itu melebihkan rezeki satu diatas yang lain. Tujuannya supaya kita lebih bersyukur. Nah, kau mao sukses, kan? Maka bertahanlah!". Hah, kujawab waktu itu; "Lha, ayahku sekarang menjadi motivator kelas dunia ha-ha-ha." Ayah tertawa mendengarku. Demikianlah, aku patuhi nasehat ayahku untuk bertahan. Karena aku ingin ayah melihat kesuksesanku.
Kata-kata motivasi;
"Kau mau sukses, kan? Maka bertahanlah!" Hahaha. Kuwariskan kata-kata itu pada semua orang yang merasa terpuruk. Tapi kusambaung; "Karena mimpi setiap orang berbeda-beda, jangan sampai mimpi dan keberhasilan orang lain meredupkan cahayamu!".
Okeh, teman! Semangaat!
Akupun segera berlalu dari kedai Ayuk itu sambil membawa perasaan yang tak terdefinisikan. Sampai akhirnya, aku menemukanmu lagi ini. Senang aku mendengarnya.
#KSStory#KSGarden#KSMotivasi
#Reel#fbpro#fyp#vod