Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)
Andrias Harefa bertereak-tereak tidak setuju dalam bukunya, "Menjadi Manusia Pembelajar". Saya setuju sekali. Ini menarik. Saya hanya mau share bagaimana saya menemukan jati diri atau berdamai dengan diri. Begini ceritanya.
Diusia saya memasuki 25 tahun, saya berbicara pada diri sendiri semacam saya berbicara pada sahabat terbaik saya.
"Saya hidup mau apa..., dan mau ke manaa?". Sebelum pertanyaan itu timbul, lebih dulu orang akan bertanya "Saya ini siapa ya? Saya harus bagaimana dengan diri saya sendiri? ". Ha. Saya sering berantem dengan diri sendiri. Sehingga saya berpikir dulu tu begini. "Wah, saya harus berdamai nih..., dengan diri sendiri, barulah saya dapat mengenali diri saya".Â
Ini pengalaman pribadi saya. Diusia 15-an tahun, saya pernah membenci diri sendiri karena terlambat pubertas hahaha. Pernah. Ya kan tadi diawal penulisan episode ini saya udah janji mau jujur nulisnya blak-blakan, berani dan memiliki data yang kuat. Jadi ya, ceritanya diumur belasan tahun itu, saya ga tau apa-apa soal ge-er-ge-er an sama lawan jenis. Ga tau kenapa. Ya, mungkin lebih kepada biasa aja sih yaa. Lha saya kan temannya lebih dominan laki-laki. Jadi, ya biasa aja gituuu. Kadang ga sreg. Dicap..., saya tu dingin, dingin semacam kulkas dua pintu hahaha. EGP.
Tentu kamu paham situasinya. Diusia segitu, orang lagi sibuk-sibuknya jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya masih sedingin kulkas dua pintu, wkwkka. Ga tau apa-apa, kenapa sih orang jatuh cinta, kenapa sih ada orang malu-malu kalo ketemu lawan jenis. Saya ndak ada rasa itu. Saya masih terjebak dalam jiwa yang masih kekanak-kanakan, dan tanpa perubahan fisik yang terlalu kentara.Â
Nah, ketika itulah saya ingat sekali, saya sering di-bully orang, dikata-katain, "kutilang dara..., kutilang dara...". Saya pikir burung atau apa, rupanya kutilang dara itu kurus tinggi langsing dada rata ahahah. Itu body shaming lho...! Terus kan, ada lagi pas lagi ngobrol apa gitu ya,"Eh, anak kecil ga boleh ikutan...., tolong ya KS yach, anak kecil ga boleh dengar omongan orang besar...". Hallaahh, sok besar. Sampai-sampai saya tanya kepada ayah saya, "Ayah, kenapa sih saya selalu dianggap anak kecil...?, kenapa saya masih kurus, lurus, kenapa item, kenapa ini kenapa itu?". Kata Ayah..., "Item ga paapa, yang penting hati ini baik". "Kurus juga ga apa-apa, yang penting otak ini berisi". Artinya apa? Penerimaan diri, itu yang utama. Orang mau ngomongin apa..., berkomentar apaa..., biar aja orang lain. Deal with, berdamai dengan diri sendiri, jelas sesuatu yang sangat fundamental.Â
*Bagaimana cara atau langkah-langkah untuk melakukan?* Saya menemukan itu di tahun ketiga SMP. Saya berdamai dengan diri sendiri. Kata orang, berdamai dengan diri sendiri itu sederhana dan mudah dikatakan. Mudah dikatakan, tetapi saya butuh proses. Berdamai dengan diri atau menerima diri itu harus dilakukan secara komprehensif. Itu tidak mudah, ya gaees! Tidak mudah. Saya bisa saja menerima warna kulit saya, saya bisa saja menerima bentuk tubuh saya, tetapi saya tidak mau menerima perlakuan teman-teman saya. Semacam, " Allow tiang listrik..., lurus tabung..., item, jelex atau apa".Â
Saya menerima bahwa diri saya keturunan ibu yang kulitnya item juga, ga putih. Saya kan, emang ga putih..., dan enggak harus putih. Biar aja ga putih-putih, tetapi saya tidak menerima bahwa fisik saya mengalami kekurangan sampai diejek-ejek, kutilang dara, item, jelex atau apa. Ya kan saya terlambat puber. Ya wajarlah saya masih kurus, kecil atau ga bongsor. Bukan berarti orang bisa seenaknya aja ngomong. Saya ga suka pake baju feminim, ya pada waktutu model bajunya rok kembang-kembang. Saya ga suka, saya suka yang simpel-simpel aja. Kaosan dan celana pendek. Bukan ga ada dirumah baju-baju ancak-ancak tu, banyaaak. Orang tua saya jualan baju yooow! Tapi saya ga semua harus dipakai, mending dijual dapat uang orang tua saya. Mau saya yang kaosan kek..., so what gitu lho? Mau saya kemeja an, so what? Saya pikir, diumur belasan tahun gitu, anak-anak tu yah harus yang biasa aja. Natural, apa adanya seperti anak-anak yang baru beranjak remaja. Mungkin saya bisa deal with dengan diri saya, tetapi perlakuan orang itu tidak adil dan saya menolak itu. Saya menerima diri saya secara komprehensif..., Â dan menyeluruh.Â
*Apakah itu menjadi seperti pengalaman traumatik?* Tidak persis traumatik, namun saya selalu teringat hal itu ha-ha ha. Dari situ saya belajar tentang manusia. Semua berawal karena saya mengalami beban-beban seperti itu. Peristiwa-peristiwa itu, apa membuat saya menjadi rendah diri? Ah, enggak enggak. Saya bisa berdamai dengan diri saya, saya justru harus punya pemikiran dewasa..., membaca lebih banyak..., dan menunjukkan kedewasaan itu. Ga ada traumatik traumatik.Â
Saya pikir, semua orang tuh mengalami hal-hal seperti itu. Tentu dalam dimensi dan kadar yang bervariasi. Nah, episode ini dapat membuat orang untuk deal with. "Kamu ya kamu, so what?, lu lu gue gue". Bahasa gaulnya begitu. Kalau kita sudah menemukan bahwa diri kita memang seperti ini, kita dapat bersyukur dengan semua yang kita miliki. Saya sekarang bersyukur dengan semua kondisi yang dulu saya benci. Semua masa lalu yang pahit justru menjadi bekal saya di masa depan. Tetapi, itu hanya terjadi kalau kita sudah berdamai dengan diri sendiri. Kalau tidak bisa berdamai, sampai mati kita akan menyesali dan mengutuki masa lalu.Â
*Dalam proses deal with ini, apakah perlu membuat daftar hal-hal yang tidak kita terima?* Ya, saya lakukan itu dan itu menarik. Ternyata, banyak orang tu ya, tidak bisa deal with dengan banyak hal.Â