Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)
Pejuang Mimpi Episode 82
The Power of Deal With
*Tau nggak? Orang yang paling tenang itu hidupnya, siapa?* Orang yang memiliki The Power Of Deal With. *Apa itu The Power Of Deal With?* Orang yang hidup sewajarnya, ikhlas menerima kenyataan, ga maksain diri diluar kemampuan, dan yang nggak pernah dengki dengan milik orang lain.
Gaees...,
Tetap terhubung dengan KS Story, ya! Sorry, agak lama saya menyelesaikan episode The Power of Deal With ini. Karena apa? Karena episode ini tu ditulis secara cukup blak-blakan..., berani..., dan memiliki data yang kuat. Banyak hal baru yang bisa kita peroleh dari episode ini. Dan saya yakin..., jika kamu terapkan juga ide-ide dan inspirasi dari episode ini, kamu akan lebih sukses dan bahagia. Pun, saya malah curiga..., dengan membaca episode ini, kamu akan menemukan potensi diri terhebat kamuu huhuhuuhu.
Baik, saya mulai dengan sesi tanya jawab.
*Bagaimana orang yang The Power Of Deal With itu?* Iyaa, bagaimana yaaa...?
Hhhmm, bagaimana seseorang bisa bergerak maju..., bila dia masih terganjal sekian banyak beban masa lalunya? Bagaimana orang bisa bebas mengembangkan diri..., jika ia belum bisa menerima keberadaan dirinya? Saya akan menginspirasi kamu tentang bagaimana orang yang memiliki The Power of Deal With.
Fakta membuktikan bahwa hambatan terbesar dalam pengembangan diri seseorang adalah pada sisi penerimaam diri atau self-acceptance. Sepanjang kita belum dapat berdamai dengan diri sendiri dan belum mampu menerima keberadaan diri kita seutuhnya..., selama itu pula kita akan gagal menemukan jati diri yang seutuhnya dan berkembang sesuai dengan harapan atau cita-cita kita.
Pada titik inilah terletak pentingnya deal with dalam keseluruhan proses pengembangan diri kita. Tahukah kamu? Bahwa melupakan dasar-dasar pengembangan diri ini sama artinya dengan menanam fondasi yang dangkal. Besar kemungkinan ke depan kita akan terseok-seok bila tidak segera membereskan persoalan yang satu ini. Saya akan memberi banyak contoh yang berasal dari laboratorium hidup saya, yaitu cerita-cerita kehidupan yang saya kelola selama puluhan tahun.
Selain itu, pada kesempatan episode ini, saya menegaskan tentang pentingnya mengembangkan sisi attitude melebihi sisi skill dan knowledge. Ingat, melebihi. Mengapa? Sebab, sekalipun orang memiliki skill dan knowledge yang tinggi tetapi attitude-nya lemah, sangat mungkin proses pengembangan dirinya pun tidak terbangun di atas fondasi yang kokoh. Jadi, dalam episode inilah saya ingin mengajak kamu untuk memahami arti pengembangan diri yang hakiki. Untuk apa? Untuk menggali makna kesuksesan yang lebih dalam..., dan juga membantu kamu meretas belenggu kehidupan yang lebih dalam yang sempat tertanam di bawah sadar.
KS Story, dengan gaya dialognya yang terasa jujur dan penuh keikhlasan, ingin memaparkan rahasia kebahagiaan hidup dan pengembangan diri yang sesungguhnya.
Pengalaman Pribadi;
Saya mencari arti pengembangan diri itu sendiri, seiring bertambahnya usia. Ini bukan hal baru. Self development ini menjadi kesadaran saya setelah terjadi banyak hal dalam hidup saya. Dari para motivator besar saya belajar..., seperti Dale Carnegie, Napoleon Hill, dan lain sebagainya. Saya mulai aware bahwa kalau orang di-develop, hasilnya akan luar biasa.
Sebenarnya pengembangan diri sudah terjadi sejak dulu. Misalnya Om Liem, Salim Group, Eka Cipta, Sinar Mas Group, dan lain sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti pelatihan-pelatihan seperti kita, tetapi berhasil mengembangkan diri sendiri. Jadi, pengembangan diri adalah ketika dengan sadar membangun keyakinan bahwa kalau di-training, kita akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
*Lalu bagaimana cara mengembangkan diri yang baik?* Menurut saya, kalau kita ingin mengembangkan diri ya harus dimulai dari attitude. Didalam attitude ada mentalitas dan hal-hal yang terkait dengan value driven. Dalam keseharian, kita menerjemahkannya sebagai sikap. Kalau orang punya attitude yang baik, knowledge-nya pasti akan digunakan untuk kepentingan orang banyak. Sekalipun skill-nya tidak hebat, kalau attitude-nya kuat, ia akan terus mencari dan mengembangkan skill-nya. Sikap dan awareness itu jauh lebih penting ketimbang sekedar skill dan knowledge yang hebat. Ini terkait dengan contoh yang saya temukan sehari-hari, bagaimana mungkin orang yang berpendidikan tinggi tetapi sopan santunnya kurang, sensibility rendah, tidak punya empati, dan lain sebagainya.
Saya beberapa kali, juga mencari pelatihan yang menekankan self development dan self awareness, yang lebih mengarah pada diri saya sendiri. Prinsipnya begini, kita harus menemukan dulu siapa diri kita. Jadi ya, di pelatihan itu saya ditanya. Apakah kamu tahu dulu di gerbang sekolah Socrates tertulis "Know Yourself"? Hehehe. Orang yang sudah mengenal dirinya baru boleh masuk. Dan ia mengatakan, "Kenali dirimu sendiri dulu, baru belajar dengan saya. Sebelum belajar kehidupan, kamu harus belajar mengenali dirimu dulu!". Mengacu dari situ dan juga kitab suci agama manapun, saya berkeyakinan bahwa attitude harus kita peroleh lebih dulu untuk dapat mengembangkan diri dengan baik. Apakah kamu setuju dengan itu? Yang setuju tunjuk tangan! Eh, isi kolom komentar! Cam mana menurut kamu?
Attitude adalah tentang berdamai dengan diri sendiri, deal with. Dari situ kita dapat melihat dengan jernih bagaimana sebenarnya kehidupan kita. Kalau orang belum berdamai dengan dirinya, hidupnya akan penuh pergumulan. "Kenapa saya begini, kenapa orang tua saya begitu, kok saya sebagai anak ketiga ya, kok skill saya begini...?". Komplainnya terlalu banyak. Sebenarnya pengembangan diri dengan penekanan attitude ini sudah dijalankan oleh orang tua kita sejak kita kecil sampai kuliah. Didalamnya sudah terkandung nilai-nilai luhur yang ditanamkan. Sikap sopan santun..., ramah, dan mengenal Tuhan itu, terkait dengan attitude. Tetapi biasanya di Indonesia, yang digenjot dalam keluarga justru knowledge dulu. Bidang akademiknya yang digenjot habis-habisan.
Andrias Harefa bertereak-tereak tidak setuju dalam bukunya, "Menjadi Manusia Pembelajar". Saya setuju sekali. Ini menarik. Saya hanya mau share bagaimana saya menemukan jati diri atau berdamai dengan diri. Begini ceritanya.
Diusia saya memasuki 25 tahun, saya berbicara pada diri sendiri semacam saya berbicara pada sahabat terbaik saya.
"Saya hidup mau apa..., dan mau ke manaa?". Sebelum pertanyaan itu timbul, lebih dulu orang akan bertanya "Saya ini siapa ya? Saya harus bagaimana dengan diri saya sendiri? ". Ha. Saya sering berantem dengan diri sendiri. Sehingga saya berpikir dulu tu begini. "Wah, saya harus berdamai nih..., dengan diri sendiri, barulah saya dapat mengenali diri saya".
Ini pengalaman pribadi saya. Diusia 15-an tahun, saya pernah membenci diri sendiri karena terlambat pubertas hahaha. Pernah. Ya kan tadi diawal penulisan episode ini saya udah janji mau jujur nulisnya blak-blakan, berani dan memiliki data yang kuat. Jadi ya, ceritanya diumur belasan tahun itu, saya ga tau apa-apa soal ge-er-ge-er an sama lawan jenis. Ga tau kenapa. Ya, mungkin lebih kepada biasa aja sih yaa. Lha saya kan temannya lebih dominan laki-laki. Jadi, ya biasa aja gituuu. Kadang ga sreg. Dicap..., saya tu dingin, dingin semacam kulkas dua pintu hahaha. EGP.
Tentu kamu paham situasinya. Diusia segitu, orang lagi sibuk-sibuknya jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya masih sedingin kulkas dua pintu, wkwkka. Ga tau apa-apa, kenapa sih orang jatuh cinta, kenapa sih ada orang malu-malu kalo ketemu lawan jenis. Saya ndak ada rasa itu. Saya masih terjebak dalam jiwa yang masih kekanak-kanakan, dan tanpa perubahan fisik yang terlalu kentara.
Nah, ketika itulah saya ingat sekali, saya sering di-bully orang, dikata-katain, "kutilang dara..., kutilang dara...". Saya pikir burung atau apa, rupanya kutilang dara itu kurus tinggi langsing dada rata ahahah. Itu body shaming lho...! Terus kan, ada lagi pas lagi ngobrol apa gitu ya,"Eh, anak kecil ga boleh ikutan...., tolong ya KS yach, anak kecil ga boleh dengar omongan orang besar...". Hallaahh, sok besar. Sampai-sampai saya tanya kepada ayah saya, "Ayah, kenapa sih saya selalu dianggap anak kecil...?, kenapa saya masih kurus, lurus, kenapa item, kenapa ini kenapa itu?". Kata Ayah..., "Item ga paapa, yang penting hati ini baik". "Kurus juga ga apa-apa, yang penting otak ini berisi". Artinya apa? Penerimaan diri, itu yang utama. Orang mau ngomongin apa..., berkomentar apaa..., biar aja orang lain. Deal with, berdamai dengan diri sendiri, jelas sesuatu yang sangat fundamental.
*Bagaimana cara atau langkah-langkah untuk melakukan?* Saya menemukan itu di tahun ketiga SMP. Saya berdamai dengan diri sendiri. Kata orang, berdamai dengan diri sendiri itu sederhana dan mudah dikatakan. Mudah dikatakan, tetapi saya butuh proses. Berdamai dengan diri atau menerima diri itu harus dilakukan secara komprehensif. Itu tidak mudah, ya gaees! Tidak mudah. Saya bisa saja menerima warna kulit saya, saya bisa saja menerima bentuk tubuh saya, tetapi saya tidak mau menerima perlakuan teman-teman saya. Semacam, " Allow tiang listrik..., lurus tabung..., item, jelex atau apa".
Saya menerima bahwa diri saya keturunan ibu yang kulitnya item juga, ga putih. Saya kan, emang ga putih..., dan enggak harus putih. Biar aja ga putih-putih, tetapi saya tidak menerima bahwa fisik saya mengalami kekurangan sampai diejek-ejek, kutilang dara, item, jelex atau apa. Ya kan saya terlambat puber. Ya wajarlah saya masih kurus, kecil atau ga bongsor. Bukan berarti orang bisa seenaknya aja ngomong. Saya ga suka pake baju feminim, ya pada waktutu model bajunya rok kembang-kembang. Saya ga suka, saya suka yang simpel-simpel aja. Kaosan dan celana pendek. Bukan ga ada dirumah baju-baju ancak-ancak tu, banyaaak. Orang tua saya jualan baju yooow! Tapi saya ga semua harus dipakai, mending dijual dapat uang orang tua saya. Mau saya yang kaosan kek..., so what gitu lho? Mau saya kemeja an, so what? Saya pikir, diumur belasan tahun gitu, anak-anak tu yah harus yang biasa aja. Natural, apa adanya seperti anak-anak yang baru beranjak remaja. Mungkin saya bisa deal with dengan diri saya, tetapi perlakuan orang itu tidak adil dan saya menolak itu. Saya menerima diri saya secara komprehensif..., dan menyeluruh.
*Apakah itu menjadi seperti pengalaman traumatik?* Tidak persis traumatik, namun saya selalu teringat hal itu ha-ha ha. Dari situ saya belajar tentang manusia. Semua berawal karena saya mengalami beban-beban seperti itu. Peristiwa-peristiwa itu, apa membuat saya menjadi rendah diri? Ah, enggak enggak. Saya bisa berdamai dengan diri saya, saya justru harus punya pemikiran dewasa..., membaca lebih banyak..., dan menunjukkan kedewasaan itu. Ga ada traumatik traumatik.
Saya pikir, semua orang tuh mengalami hal-hal seperti itu. Tentu dalam dimensi dan kadar yang bervariasi. Nah, episode ini dapat membuat orang untuk deal with. "Kamu ya kamu, so what?, lu lu gue gue". Bahasa gaulnya begitu. Kalau kita sudah menemukan bahwa diri kita memang seperti ini, kita dapat bersyukur dengan semua yang kita miliki. Saya sekarang bersyukur dengan semua kondisi yang dulu saya benci. Semua masa lalu yang pahit justru menjadi bekal saya di masa depan. Tetapi, itu hanya terjadi kalau kita sudah berdamai dengan diri sendiri. Kalau tidak bisa berdamai, sampai mati kita akan menyesali dan mengutuki masa lalu.
*Dalam proses deal with ini, apakah perlu membuat daftar hal-hal yang tidak kita terima?* Ya, saya lakukan itu dan itu menarik. Ternyata, banyak orang tu ya, tidak bisa deal with dengan banyak hal.
Biasanya perempuan itu lebih mempermasalahkan fisik. Ini fakta di lapangan. Semacam, kulit ga putih-putih, pergi suntit putih. Hidung kegedean..., pergi ke dokter untuk memperkecil. Biar apa? Ya biar imutlah ahaha. Padahal ya, ga mensyukuri nikmat Tuhan. Bahkan, ada yang risau-risau ga jelas hanya karena perasaan saja pahanya besar sebelah haha. Ada pula orang yang menerima dirinya, meski dia gemuk, dia merasa cantik aja tuh. Justru di gemuk itu, dia cantiknya. Kalo dia kurus malah enggak cantik. Kayak saya aja ya, ga malu buat ngomongin kalo muka saya juga serasa tebal sebelah ini haa, ahaha. Dulu kecelakaan naik motor di Jogja sekali, disini juga beberapa kali. Selama saya bisa menerima, tentu tidak penting rasa itu untuk dikeluh-keluhkan. Oh saya item, ga harus suntik pemutih. Ribet tau nggak? Item-itemlah..., yang penting tidur ga digigit nyamuk, wkwka. Justru ada orang yang emang di hitam itu, manisnya. Kalo dia putih, dan dipaksain putih gitu, juga belum tentu pas cantiknya. Ya kan?
Kalau laki-laki, saya lihat lebih ke arah intelektual. Ia ingin kelihatan lebih pintar, smart. Justru laki-laki tu cakep nya disitu. Orang biasa aja karena berprestasi pasti keren. Ya kan? Liat aja pemain bola. Banyak aja tu yang idolain mereka. Liat aja pelawak, justru karena lucunya banyak yang gemes. Slogannya kan, biar jelex yang penting ngangenin ahaha. Kan gitu yah, laki-laki tuh. Oh dia ga cakep..., tapi tajir. Istri nya cantik-cantik malah, banyak pulak. Jadi ya, hidup orang tu ga usah dikomentarin apalagi yang berbau privasi. Kita tu fokus aja..., pada kelebihan seseorang.
Saya, karena terlalu beragam hal kemungkinan yang ditolak, saya harus menerima diri saya secara menyeluruh. Caranya bagaimana? Ya, terima saja. Misalnya, kulit saya hitam, ya sudah terima saja bahwa kulit saya hitam. Ada ungkapan populer, "Anda harus mengikhlaskan diri anda!". Mengikhlaskan dalam hal apa? Semuanya! Mengapa harus semuanya? Karena kalau tidak, selamanya saya akan selalu bertanya-tanya kenapa saya hitam. Tidak akan ada habisnya, seperti ada lubang, tidak bulat, dan utuh. Jadi intinya, penerimaan diri. Self acceptance.
*Bagaimana gambaran orang-orang sebelum dan sesudah berdamai dengan diri mereka?*
Hidup orang itu lebih damai. Kalau kita perhatikan auranya pun berubah. Air muka berubah, keliatan lebih tenang. Jadi, ada yang unik. Orang yang dulunya pemarah jadi sabar, sementara yang sabar jadi tegas. Jadi mereka yang memiliki The Power of Deal With itu, menemukan formulanya. Ia merasa dirinya berharga. Ia hanya terkondisi. Akhirnya ia bisa merasa bahwa ia itu berharga. Ketika ia memperoleh freedom, ia tidak merasa seperti yang orang katakan. Ia cuek dan relaks, apapun kata orang.
Sikap itu tertanam dan mempengaruhi nilai diri. Itulah The Power of Deal With. Saya merasa bebas dari dulu dan nyaman dengan diri saya. Saya tidak memakai topeng. Tidak bermulut manis, ga ada tu menyeh-menyeh. Tiba ketus ya ketus. Tiba diam ya diam aja. Sesuai kondisi aja. Kadang mendadak aja romantis, marah sekedarnya aja. Saya mudah memaklumi orang lain. Orang yang memakai topeng itu ada kecenderungan ingin kelihatan dirinya hebat..., ingin keliatan pintar, dan ingin kelihatan cantik. Padahal lebih natural dan apa adanya, itu semacam terapi lho... Saya merasa relaks dengan style saya, termasuk menertawakan diri sendiri.
Saya sering melemparkan joke tentang ketololan diri saya sebagai bentuk kesehatan jiwa yang tidak ada duanya. Sekarang saya cuma mau bilang..., "It's me! Mulai menikmati my comeback era, ketika anak-anak ga ada yang kecil lagi. Bisa dandan cantik lagiii, pake outfit baguuus..., bisa me time..., dan ngopi-ngopi bareng mantan pacar". Memang benar kata orang, kalau kita lagi happy, kita bisa tersenyum. Efeknya juga bisa dibalik, kalau kita tersenyum kita happy. Ini saya mencoba berjalan lebih tegap dan duduk lebih tegak. Saya lebih percaya diri, itu benar. Itulah sebabnya, saya kurang setuju dengan manipulasi otak. Walau otak kita bersedia di manipulasi. Kalau dalam public speaking, saya mengatakan grogi kalau memang masih grogi karena baru pertama kali bicara. Setelah mengatakannya, tiba-tiba grogi saya hilang, dan saya mulai bicara lancar. Kalau saya, lebih baik kita ya kita. Bukan berarti kalau saya malas, ya saya tampilkan malasnya. Bukan dalam arti negatif seperti itu.
Justru dengan menjadi diri sendiri, saya menjadi lebih kuat. Yang penting saya merasa nyaman dengan diri saya. Setelah nyaman, dengan diri sendiri, saya dapat belajar apa saja dengan baik. Dan mengatakan hal apa saja yang baik-baik. Saya menceritakan hal-hal di masa lalu itu , tentang hal yang membuat saya kecewaa, maraah, maluu, menyesaal, dan lain sebagainya. Saya ingin, saya menjadi manusia yang seutuhnya. Kenapa mesti takut mengungkapkan ini dengan jujur? Saya selalu meusahakan tampil natural, apa adanya. Saya merasa aman aja menunjukkan, "Ini lho saya!".
Proses deal with saya dimulai secara mandiri dengan membuat daftar kekurangan saya dan mengkomunikasikannya ke dalam diri. Ha. Saya menulis di diary biru saya, ketika body shaming itu terjadi hiiks. Tema; "It's me!"
Saya bagi daftar ke dalam empat kolom. Kolom pertama saya isi dengan segala hal positif menurut penilaian saya sendiri. Setelah kolom pertama macet, saya mengisi kolom yang kedua dengan keistimewaan diri. Keistimewaan dalam arti sesuatu yang istimewa yang saya memiliki, tetapi tidak dimiliki semua orang. Misalnya, jago nulis fiksi atau nulis berita dan artikel yang tak semua orang bisa. Namun jangan dibandingkan dengan yang profesional. Nah, di kolom yang ketiga, saya mengisi kelebihan diri. Kelebihan maksudnya keistimewaan saya yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang saya kagumi, idolakan dan hormati. Apa kelebihan yang mereka tidak miliki tetapi saya miliki, saya tulis aja. Saya menuliskan kelebihan dengan bersemangat ha-ha-ha. Di kolom ke empat baru saya menuliskan hal-hal negatif yang ada dalam diri saya. Misalnya, jelex, item ga putih-putih, tiang listrik, kutilang dara ahaha. Cepat muak dan mudah eneg.
Ternyata menulis juga merupakan terapi diri xixixi. Cara ini cukup efektif untuk membuat orang merasa berharga. Tidak ada masalah dalam diri kita, karena setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Orang lain mau ngomongin apaa, berkomentar apaa, biar aja orang lain.
*Apakah hasil dari terapi ini adalah penerimaan diri yang lebih utuh?* Benar, seperti itu output-nya. Omong-ngomong, yang paling penting dari self acceptance, sebetulnya citra diri. Isu terbesar dalam hidup kita adalah citra diri, bukan percaya diri, bukan keyakinan. Itu semua prosesnya., tetapi yang dikejar adalah citra diri. Kita bisa menilai diri kita berharga dan istimewa. Hidup itu hanya jadi impact. Kita akan bahas lebih jauh nanti. Saya selalu menerima pengalaman buruk. Ikhlas menerima kenyataan. Menerima kekalahan atau pengalaman buruk, itu mahal harganya. Sehingga, bahagia jauh lebih murah bahkan gratis. Hidup bahagia itu, jauh lebih murah dibanding hidup senang. Hidup senang butuh duit. Untuk bisa diakui orang lain saja kadang kita butuh banyak uang. Tetapi untuk bahagia tidak perlu modal sama sekali. Kita hanya perlu menerima atau deal with. Kalau toh dikatakan itu suatu modal untuk bahagia, modal cuma satu, yaitu sikap yang benar.
Sikap yang benar? Mengapa? Karena terlalu banyak hal yang perlu kita terima dalam hidup ini. Ketika orang meremehkan kita, kita bisa terima tidak? Ketika orang mempertanyakan kemampuan kita, kita bisa terima tidak? Minimal kita harus bisa menerima, karena ini yang membuat kita tetap damai dan bahagia. Sebab..., kebahagiaan itu bisa hilang dan bisa direnggut. Tapi kita akan kembali bahagia kalau kita bisa deal with, bisa mengikhlaskan.
Begitulah sentral peran deal with untuk tetap membuat kita damai dan bahagia. Selama kita paham bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam hidup ini, pasti kita akan menemukan pesan di balik kejadian. Di balik musibah selalu ada hikmah. Sikap menyadari itu seperti kita punya satu senjata atau pendekatan supaya mempermudah dan mempercepat untuk deal with.
Sekian The Power of Deal With. Episode ini tu ibarat ramuan sukses yang telah teruji secara teoritis dan empiris. Kita seperti dipertontonkan sebuah playback yang tinggal diikuti jika ingin menggapai hasil serupa. Baca..., dan raihlah kesuksesanmu sekarang juga!
#KSStory #KSGarden
#PejuangMimpi #Episode82
#ThePowerOfDealWith