KS Story
KS Story Petani

Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)

Selanjutnya

Tutup

Video

Pejuang Mimpi Episode 83 Berjuang Tak Sebercanda Itu

14 Mei 2025   19:35 Diperbarui: 14 Mei 2025   19:56 181 2 0

Sayangnya, nggak semua orang bisa menulis cerita romantis. 

Saya mau ceritakan manfaat yang saya rasakan dari hobi menulis. Pertama menikah, ternyata saya baru tau pernah menulis ini di diary. "Diburu-buru nikah dengan alasan "expired" itu nggak enak. Saya bukan susu formula! Di depan saya masih banyak tantangan. Bagaimana mengatur cash flow keuangan agar seluruh tagihan peralatan rumah tangga ini lunas terbayar. Ini terlalu memberatkan. Bagaimana bisa berbincang tentang apa yang harus dilakukan di akhir pekan..., supaya ikatan ini jauh dari kata membosankan. Saya tak keberatan berjuang sepenuh hati. Tapi untuk hal-hal yang lebih penting dari ini. Meminta pergi hanya untuk dicari tentunya sangat dangkal sekali. Berjuang tak sebercanda itu".

Kemudian ada lagi nemu tulisan gini, gaees!

"Jika memang bersama saya, kamu mau menjalani, bolehkah saya minta agar kamu tak labil lagi? Saya suka pria saya yang apa adanya, lumayan blak-blakkan meskipun kadang melukai saya, apalagi pria yang mapan, berpengetahuan luas, serba bisa, bisa diandalkan, bisa memahami saya dalam segi apapun, dewasa..., dan banyak hal lain yang bisa dibanggakan". Tulisan itu, setelah kami menikah hampir dua tahun. Ia masih tetap sama. Tidak ada perubahan dari kami. Yang berubah hanya kalau dulu pulang kencan ia anterin saya ke rumah orangtua, sekarang ia langsung bawa saya pulangnya ke rumah hahahaha. Semoga tidak akan ada perubahan sampai kami sama-sama lanjut usia dan di panggil yang kuasa. Amin!

Terus kan gaees, saya nemu lagi tulisan yang super duper panjang. Padahal buat saya ini menggelikan, xixixi. Agak lebih terbuka aja sekarang, ceritanya. Pake di publish segala, karena ini rekomended banget nget nget. Begini ceritanya kalo saya sedang momen konslet itu;

"Mungkin kamu lupa. Kuatnya cinta tidak menjamin hati tak luka. Buktinya sama sekali tak pernah kamu pikirkan perasaan saya. Setiap pertikaian memenuhi kepala, dengan ringan saja kata ini menguar ke udara. Sudah. Saya mau pergi. Toh nanti saya pasti kembali.

Buatmu mungkin cinta seperti tisu sekali pakai, yang bisa dibuang kapan saja. Atau bisa jadi kamu menganggap saya punya kesabaran yang berlebih jumlahnya. Sampai-sampai komitmen bisa kamu permainkan seenaknya. Memang, saya mencintaimu. Tak perlu meragukan lagi fakta itu. Tapi jangan seenaknya meminta pergi agar saya berjuang mencari. Asal kamu tahu, berjuang seharusnya tidak sebercanda ini. Kita ini punya komitmen. Tapi kamu malah main keluar-masuk seperti orang tanpa preseden. Jika memang kamu menganggap sakral apa yang kita punya, kamu tak akan main masuk dan keluar seenaknya. Mati-matian kita bangun komunikasi dan rasa saling percaya. Kamu membawa saya ke keluarga. Saya pun mengenalkanmu ke Ayah, Ibu, dan adik lelaki satu-satunya. Sekarang kita bahkan punya hewan peliharaan bersama. Buat saya jelas hubungan ini investasi. Sejak bersamamu, tak lagi saya mau peduli pada godaan di kanan-kiri. Cuma kamu yang signifikan di otak dan hati. Ah, tapi cinta bukan neraca pendapatan yang mesti seimbang 'kan? Tak bijak rasanya jika sekarang kita duduk berhadapan hanya untuk saling menghitung kebaikan. Mari kita buat ini sederhana saja! Sementara saya mengerahkan semua upaya, kamu malah melengos acuh pada kata 'kita'. Kata 'pergi' buatmu setara dengan harga diri. Bagi saya, lama-lama permainan ini terasa membosankan sekali. Buatmu ini harga diri. Buat saya, ah saya bisa menguap bosan sekali. Pernah sekali saya bertanya. Harusnya kamu belum lupa. Sore itu termasuk dalam salah satu senja terbaik kita. Sementara tanganmu merengkuh lengan saya, pelan-pelan saya bisikkan di telinga:

"Tolong. Jangan lagi pergi seenaknya."

Kamu tertawa. Renyah sekali bunyinya. Jawabanmu masih meninggalkan gaung perih yang sama. 'Saya pergi karena kesal sekali. Juga agar kamu mencari. Saya tak mau perjuanganmu berhenti'. Kalau tidak ingat kesopanan dan harga penggantian gelas yang mahal, ingin rasanya meja di depan kita saya balikkan. Buatmu, kata pergi ternyata setara dengan permainan. Demi melihat saya memperjuangkanmu mati-matian. Mewah sekali ya hak yang kamu dapatkan? Sementara saya mesti pontang-panting untuk mempertahankan. Tidak sedangkal itu perjuangan saya untukmu. Diam-diam sudah saya siapkan sepetak masa depan bersamamu. Jika buatmu diperjuangkan hanya berarti mati-matian dicari saat meninggalkan, maka selamat, kamu sudah membuat saya sangat terkesan. Sementara ada begitu banyak hal lain sebagai pembuktian, kamu malah memilih melihat hal yang kurang signifikan. Kenapa alismu meninggi sangsi? Mau saya jelaskan?

Sebutlah bagaimana gaya hidup berubah belakangan. Saat saya merayumu mengurangi nongkrong cantik demi penghematan. Diam-diam saya mulai berhitung bagaimana 2-3 tahun lagi kita sudah punya uang muka untuk rumah masa depan. Supaya kelak kita bisa move on dari cicilan tempat tinggal ke cicilan kendaraan. Dengan level hubungan kita, bukankah itu harusnya definisi perjuangan? Menggabungkan visi bersama demi masa depan yang lebih nyaman. Tapi sudahlah, barangkali kamu memang masih suka berlama-lama dalam hubungan yang dramanya berlebihan. Padahal buat saya ini menggelikan".

Demikianlah suara yang muncul di dalam benak perempuan-perempuan yang sebetulnya sedang kekurangan cinta, namun menutupinya dengan memanfaatkan orang lain untuk menutupi "vakum cinta" yang sudah lama terkubur di dalam jiwa mereka. Ternyata, mereka baru menemukan bahwa di balik segala sedementasi rasa romansa yang telah lama dipupuk hanyalah sebuah kekosongan belaka yang mereka coba tutupi dengan kehadiran seorang pacar/pasangan. Cinta seperti ini bukanlah cinta antara manusia yang saling berkorban untuk yang lain tetapi adalah bentuk simbiotik-mutualisme seperti vampir. Jangan mau kek gitu, duhai perempuan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5