Di subuh dingin kau terbangun lagi, Ibu...
Dengan tangan lelah yang tetap kau angkatkan doa.
Langit belum terang, tapi langkahmu sudah jauh
Menggenggam harapan di antara luka yang tak pernah kau cerita.
Suamimu pergi, meninggalkan sunyi panjang,
Empat anak yatim menunggu di balik pintu kayu reyot.
Namun senyummu tak pernah padam barang sehari,
Kau tutup segala sedihmu dengan doa yang terus merayap ke langit.
Ibu... oh Ibu...
Kau simpan luka di balik senyum yang rapuh.
Di meja makan hanya tersisa nasi aking yang kau bagi,
Tapi hatimu lebih kaya dari seluruh harta bumi.
Ibu... oh Ibu...
Tuhan mendengar tiap patah doamu.
Meski hari ini gelap dan penuh kekurangan,
Pelukan Tuhan akan membuka jalan
Untuk empat anakmu yang kau sayangi dalam kelaparan.
Kadang malam datang terlalu cepat, Ibu...
Dan lampu minyak hampir padam kehabisan nyala.
Namun kau tetap merapikan rambut anakmu satu persatu,
Sambil berkata, "Nak... besok pasti Tuhan beri cahaya."
Pakaianmu lusuh oleh debu pasar dan peluh,
Tapi lima hati dalam rumah itu tetap bisa bertahan.
Tak ada yang mengerti berat yang kau pikul sendirian,
Bahkan dunia seolah tuli pada jerit perjuanganmu.
Ibu... oh Ibu...
Langkahmu gemetar tapi semangatmu tak pernah roboh.
Makan nasi keras sisa kemarin tak pernah membuatmu malu,
Karena kau yakin: doa lebih lezat daripada jamuan raja.
Ibu... oh Ibu...
Walau tiada yang memerhatikan perihmu,
Kau titipkan masa depan pada Yang Maha Perkasa,
Agar suatu hari anakmu menjadi aparatur negara---
Mengabdi, berdiri tegak, dan membanggakanmu di hari tua.
Dan bila dunia tak memberi jalan,
Kau percaya Tuhan akan membuka lorong rahasia-Nya.
Dari pintu yang tak disangka,
Dari langit yang dulu tampak gelap,
Dari tangis yang kau simpan,
Dari sabar yang kau jaga...
Akan lahir takdir yang indah.
Ibu, di balik kain sarungmu ada mimpi yang kau sembunyikan,
Tentang anak-anakmu yang tak lagi mencium bau nasi aking.
Tentang pagi yang damai tanpa lapar,
Tentang rumah kecil yang tak lagi bocor ketika hujan turun.
Kau tak meminta kaya... hanya ingin melihat mereka hidup layak,
Berdiri sebagai orang baik yang dihormati,
Menghapus air mata yang sudah terlalu lama menempel di pipimu.
Ibu... oh Ibu...
Doamu melayang tinggi melewati awan yang tak bersahabat.
Hari ini memang pedih, tapi besok akan ada cahaya lain,
Sebab Tuhan tak pernah meninggalkan hati sekuat milikmu.
Ibu... oh Ibu...
Peganglah sedikit lagi sabar itu,
Anak-anakmu akan tumbuh, bangkit, dan mengangkat namamu,
Menjadi aparatur negara yang jujur dan mulia,
Menjadikan peluhmu saksi perjuangan...
Dan pelukan Tuhan sebagai bukti
Bahwa cinta seorang Ibu tak pernah sia-sia.