Arina, Aku Menulis dengan Tangan Gemetar, namamu kupanggil lirih dalam hujan,
di balik jendela malam yang basah oleh kerinduan.
Kupintal kata yang tak pernah sampai,
seperti doa yang terbang lalu patah di langit.
Aku menulis dengan tangan gemetar,
menata luka agar tampak seperti sabar.
Sebab mencintaimu adalah perjalanan panjang,
yang tak pernah mengizinkan aku pulang.
Lelaki mana yang tak mendamba wanita surga?
Namun surga itu terlampau jauh dari daya hamba.
Kau bersandar pada dunia yang megah,
sedang aku hanyalah angin yang lewat tanpa suara.
Orang tuamu telah memilihkan takdirmu,
sedang aku hanya bisa menatap dari jauh.
Seperti bulan pada laut yang tak bisa disentuh,
namun tetap setia mengirim cahaya yang rapuh.
Bait ini kutulis dengan hati yang retak,
namun kupaksa agar tampak tenang dan tegak.
Karena mencintaimu berarti belajar hening,
meski dada ini terus bergetar seperti petir mendesing.
Aku mengakhiri suratku dengan pasrah,
biar luka ini mengalir tanpa arah.
Cukup aku yang mengelana dalam bayangmu,
tanpa perlu engkau tahu betapa dalam rinduku.
Suatu saat kelak, ketika waktu membuka rahasia,
kau akan mengerti arti cinta yang tak meminta apa-apa.
Cinta yang tak perlu memiliki,
hanya ingin melihat engkau tetap bahagia.
Biarkan takdir berjalan seperti arus hujan,
jatuh dari langit menuju tanah tanpa keluhan.
Aku hanyalah setitik pada derasnya deras,
namun tetap jatuh dengan ikhlas.
Arina, jika kelak engkau membaca lagu ini,
ingatlah ada seseorang yang pernah menantimu dalam sunyi.
Bukan untuk meminang, bukan untuk memiliki,
hanya untuk mencintai...
dengan cara paling sepi.