Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1
Capung (Orthetrum sabina) atau masyarakat Jawa biasa menyebutnya dengan istilah kinjeng sebenarnya merupakan sejenis serangga (anisoptera) yang biasa kita temukan di halaman rumah, di kebun, atau di pekarangan.
Kita mungkin juga sering melihat seekor atau bahkan sekelompok capung melayang-layang di atas permukaan air. Mengapa demikian? Ternyata di permukaan air itulah capung menaruh telur-telurnya yang kemudian akan menetas menjadi larva dan selanjutnya tumbuh menjadi capung dewasa.
Dan seolah-olah dia menceburkan bagian kepalanya ke air lalu terbang kembali, mungkin ia sedang minum selain meletakkan telurnya.
Siklus hidup capung, dari telur hingga mati bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam atau tujuh tahun.
Ada jenis capung yang senang dengan air menggenang, tetapi ada pula jenis yang senang menaruh telurnya di air yang agak deras. Setelah menetas, tempayak (larva) capung hidup dan berkembang di dasar perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa dan selanjutnya keluar dari air sebagai capung dewasa.