Institusi pendidikan berperan melalui pembelajaran yang menanamkan etika berkomunikasi dan tanggung jawab digital. Sekolah dan perguruan tinggi tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknologi, tetapi juga harus membekali peserta didik dengan nilai moral agar mampu menggunakan media sosial secara bijak. Keluarga menjadi tempat pertama pembentukan karakter, di mana orang tua memberi contoh cara berbicara yang santun dan menghargai orang lain, baik secara langsung maupun di ruang digital. Sementara itu, tokoh masyarakat dan tokoh agama berfungsi sebagai panutan yang sikap dan ucapannya sering ditiru oleh masyarakat luas.Hal ini menekankan bahwa literasi digital harus sejalan dengan pendidikan akhlak. Kemampuan menggunakan teknologi tanpa disertai kematangan moral berpotensi melahirkan penyalahgunaan media sosial, seperti ujaran kebencian dan perundungan digital. Sebaliknya, generasi muda yang paham tentang teknologi dan matang secara akhlak akan mampu menggunakan media sosial sebagai sarana kebaikan dan kemanfaatan. Dalam konteks dakwah dan penyiaran Islam, media sosial seharusnya dimanfaatkan sebagai ruang edukasi akhlak, tempat menyebarkan nilai kesantunan, persaudaraan, dan hikmah. Media sosial bukanlah arena pertikaian dansaling menyalahkan melainkan sarana dakwah yang menyejukkan dan membangun peradaban. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi alat strategis untuk membentuk masyarakat digital yang berakhlak mulia.
Budaya komentar di media sosia adalah cermin kondisi akhlak seseorang karena cara seseorang berkomentar menunjukkan nilai moral, etika, dan kepribadian yang ia miliki. Jika kolom komentar dipenuhi ujaran kebencian, hinaan, dan kata-kata kasar, hal itu menandakan adanya krisis akhlak dalam menggunakan media sosial. Sebaliknya, komentar yang santun dan membangun mencerminkan seseorang yang beradab dan beretika.
kebebasan berekspresi tanpa akhlak karimah sangat berbahaya. Kebebasan yang seharusnya digunakan untuk menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab dapat berubah menjadi kebebasan untuk menyakiti, merendahkan, dan menyerang orang lain. Artinya, masalah utama bukan pada kebebasan itu sendiri, melainkan pada ketiadaan pengendalian moral dalam penggunaannya. Karena itu, penanaman nilai akhlak mulia dalam setiap komentar menjadi kebutuhan di era digital saat ini . Setiap individu perlu menyadari bahwa komentar bukan sekadar rangkaian kata, tetapi memiliki dampak nyata bagi orang lain. Akhlak mulia berfungsi agar seseorang berpikir sebelum menulis, mempertimbangkan manfaat dan mudarat dari komentarnya. media sosial itu adalah ladang amal. Setiap komentar yang baik dapat bernilai pahala, sedangkan komentar yang buruk berpotensi menjadi dosa. Dalam perspektif Islam, tidak ada satu kata pun yang luput dari pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, setiap tulisan di media sosial akan dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan manusia melalui dampak sosialnya, maupun di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Dengan demikian, hal ini menegaskan bahwa bermedia sosial bukan hanya aktivitas komunikasi, tetapi juga ujian akhlak dan keimanan di era digital.