Abdul Syafiq
Abdul Syafiq Mahasiswa

Hobi saya membaca, cita cita menjadi penyiar

Selanjutnya

Tutup

Video

Budaya komentar di media sosial dan urgensi akhlakul karimah

16 Desember 2025   22:20 Diperbarui: 16 Desember 2025   22:20 113 0 0

                        Abdul Syafiq (4325017)

    Program studi Komunikasi penyiaran islam

         Fakultas Ushuluddin ,Adab, Dan Dakwah

            Uin Sjech Djamil Djambek Bukittinggi

Media  sosial sekarang sudah tidak asing lagi di telinga kita .Banyak  sekali orang yang berkomentar tanpa memperhatikan baik buruknya  dan menimbang perasaan orang lain. Di media sosial sekarang baik itu di whatshap, facebok ,maupun instagram dan media sosial lainnya menyampaikan /  mengomentar suatu berita tanpa memperhatikan kebenaran dan menverivikasi berita yang mereka ketahui bahkan  ada yang menggunakan media sosial  untuk menipu orang lain.hal ini menunjukkan bahwa media  sosial itu bukan hanya soal teknologi,  tetapoi jugasoal akhlak.

  Di media sosial ,Banyak pengguna berkomentar tanpa mempertimbangkan dampak psikologis, sosial, maupun etis bagi orang lain. Secara psikologis, komentar negatif dapat membuat seseorang merasa tertekan, rendah diri, bahkan trauma. Secara sosial, komentar kasar dapat memicu konflik antarindividu atau kelompok. Dari sisi etika, komentar yang menghina, memfitnah, atau merendahkan jelas bertentangan dengan nilai kesopanan dan moral, termasuk nilai akhlak dalam Islam. Ketika seseorang berkomentar menggunakan akun anonim atau tidak berhadapan langsung dengan lawan bicaranya, rasa tanggung jawab moral cenderung menurun. Orang merasa aman karena tidak melihat reaksi langsung dari pihak yang dikomentari, sehingga lebih berani berkata kasar atau provokatif.

 Akibat dari semua itu, kolom komentar berubah fungsi. Yang seharusnya menjadi ruang diskusi sehat dan pertukaran gagasan, justru menjadi tempat konflik, saling menghujat, dan saling membenarkan diri sendiri. Tujuan berkomentar bukan lagi untuk mencari kebenaran atau solusi, melainkan untuk melampiaskan emosi dan memenangkan ego sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama budaya komentar di media sosial bukan pada teknologinya, melainkan pada sikap dan akhlak penggunanya

 Akhlak karimah menekankan pentingnya menjaga perkataan, karena lisan merupakan cermin hati dan iman seseorang. Di era digital, konsep menjaga lisan tidak hanya berlaku pada ucapan langsung, tetapi juga pada tulisan di media sosial, yang disebut sebagai "lisan digital". Setiap komentar, unggahan, dan balasan yang ditulis memiliki nilai moral dan akan dipertanggungjawabkan. Komentar yang ditulis di media sosial mencerminkan kepribadian dan kualitas iman seseorang. Jika komentar dipenuhi kata-kata kasar, hinaan, atau kebohongan, hal itu menunjukkan lemahnya pengendalian diri dan nilai akhlak. Sebaliknya, komentar yang santun, jujur, dan menyejukkan mencerminkan kedewasaan berpikir serta keimanan yang baik.

 Nilai-nilai seperti kesantunan, kejujuran, kebijaksanaan, dan empati menjadi landasan utama dalam berinteraksi di ruang digital. Kesantunan mencegah seseorang menyakiti orang lain dengan kata-kata. Kejujuran menghindarkan dari hoaks dan fitnah. Kebijaksanaan membuat seseorang mampu menempatkan komentar sesuai situasi, sementara empati menumbuhkan kesadaran bagi manusia itu sendiri.

Islam juga memberikan prinsip yang sangat jelas dalam berkomunikasi, yaitu berkata baik atau diam. Jika seseorang tidak mampu menyampaikan komentar yang membawa kebaikan, manfaat, dan tidak melukai orang lain, maka memilih untuk diam adalah sikap yang lebih utama dan terpuji. Prinsip ini menjadi pengingat bahwa tidak semua hal harus dikomentari, dan menahan diri sering kali merupakan bentuk akhlak yang paling mulia. Dengan demikian, akhlak karimah berfungsi sebagai pengendali moral dalam bermedia sosial agar ruang digital tetap menjadi tempat yang sehat, bermartabat, dan bernilai ibadah.

Pembentukan budaya komentar yang berakhlak tidak bisa dibebankan hanya kepada individu semata. Meskipun setiap orang bertanggung jawab atas komentarnya sendiri, lingkungan sosial juga sangat berpengaruh dalam membentuk cara seseorang berkomunikasi. Oleh karena itu, institusi pendidikan, keluarga, dan tokoh masyarakat memiliki peran penting sebagai penanam nilai dan teladan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penggunaan media sosial.

Institusi pendidikan berperan melalui pembelajaran yang menanamkan etika berkomunikasi dan tanggung jawab digital. Sekolah dan perguruan tinggi tidak cukup hanya mengajarkan keterampilan teknologi, tetapi juga harus membekali peserta didik dengan nilai moral agar mampu menggunakan media sosial secara bijak. Keluarga menjadi tempat pertama pembentukan karakter, di mana orang tua memberi contoh cara berbicara yang santun dan menghargai orang lain, baik secara langsung maupun di ruang digital. Sementara itu, tokoh masyarakat dan tokoh agama berfungsi sebagai panutan yang sikap dan ucapannya sering ditiru oleh masyarakat luas.Hal ini menekankan bahwa literasi digital harus sejalan dengan pendidikan akhlak. Kemampuan menggunakan teknologi tanpa disertai kematangan moral berpotensi melahirkan penyalahgunaan media sosial, seperti ujaran kebencian dan perundungan digital. Sebaliknya, generasi muda yang paham tentang teknologi dan matang secara akhlak akan mampu menggunakan media sosial sebagai sarana kebaikan dan kemanfaatan. Dalam konteks dakwah dan penyiaran Islam, media sosial seharusnya dimanfaatkan sebagai ruang edukasi akhlak, tempat menyebarkan nilai kesantunan, persaudaraan, dan hikmah. Media sosial bukanlah arena pertikaian dansaling menyalahkan melainkan sarana dakwah yang menyejukkan dan membangun peradaban. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi alat strategis untuk membentuk masyarakat digital yang berakhlak mulia.

Budaya komentar di media sosia adalah cermin kondisi akhlak seseorang karena cara seseorang berkomentar menunjukkan nilai moral, etika, dan kepribadian yang ia miliki. Jika kolom komentar dipenuhi ujaran kebencian, hinaan, dan kata-kata kasar, hal itu menandakan adanya krisis akhlak dalam menggunakan media sosial. Sebaliknya, komentar yang santun dan membangun mencerminkan seseorang yang beradab dan beretika. 

kebebasan berekspresi tanpa akhlak karimah sangat berbahaya. Kebebasan yang seharusnya digunakan untuk menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab dapat berubah menjadi kebebasan untuk menyakiti, merendahkan, dan menyerang orang lain. Artinya, masalah utama bukan pada kebebasan itu sendiri, melainkan pada ketiadaan pengendalian moral dalam penggunaannya. Karena itu, penanaman nilai akhlak mulia dalam setiap komentar menjadi kebutuhan di era digital saat ini . Setiap individu perlu menyadari bahwa komentar bukan sekadar rangkaian kata, tetapi memiliki dampak nyata bagi orang lain. Akhlak mulia berfungsi agar seseorang berpikir sebelum menulis, mempertimbangkan manfaat dan mudarat dari komentarnya. media sosial itu adalah ladang amal. Setiap komentar yang baik dapat bernilai pahala, sedangkan komentar yang buruk berpotensi menjadi dosa. Dalam perspektif Islam, tidak ada satu kata pun yang luput dari pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, setiap tulisan di media sosial akan dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan manusia melalui dampak sosialnya, maupun di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Dengan demikian, hal ini menegaskan bahwa bermedia sosial bukan hanya aktivitas komunikasi, tetapi juga ujian akhlak dan keimanan di era digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2