Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.
Berikut ini adalah artikel kisah Omjay dengan judul "Jika Iran Dihantam Amerika, Apakah Akan Kalah?" Ayo ikuti kisah Omjay kali ini dengan bantuan kecerdasan buatan.
Jika Iran Dihantam Amerika, Apakah Akan Kalah?
Pertanyaan ini seolah menggambarkan skenario perang terbuka antara dua negara dengan sejarah panjang konflik dan saling curiga: Amerika Serikat dan Republik Islam Iran. Ketegangan antara keduanya bukan hal baru. Namun, jika suatu saat Iran benar-benar dibombardir oleh kekuatan militer Amerika Serikat, apakah Iran akan kalah?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana "ya" atau "tidak", karena konflik modern melibatkan berbagai dimensi: militer, ekonomi, politik, psikologis, hingga informasi. Untuk menjawabnya, kita perlu menimbang beberapa aspek strategis yang menentukan siapa sebenarnya yang akan unggul, atau justru, siapa yang akan lebih menderita kerugian.
Superioritas Militer Amerika
Tak bisa dipungkiri, Amerika Serikat adalah kekuatan militer paling dominan di dunia. Dengan anggaran militer lebih dari US$ 800 miliar per tahun, negeri Paman Sam memiliki armada kapal induk, ratusan jet tempur siluman, drone bersenjata, satelit pengintai, dan pasukan khusus yang tersebar di seluruh dunia.
Iran, meski disebut sebagai kekuatan regional, memiliki keterbatasan dalam hal teknologi militer. Jet-jet tempur Iran masih banyak yang berasal dari era 70-an, bahkan beberapa suku cadangnya dipertahankan dengan kanibal mesin. Namun, Iran tidak sepenuhnya tanpa kekuatan. Mereka telah mengembangkan sistem rudal balistik jarak menengah, drone kamikaze, dan pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) yang sangat loyal dan terlatih dalam perang asimetris.
Namun, secara konvensional, jika Amerika menyerang dengan kekuatan penuh, Iran akan sangat kewalahan. Instalasi militer, jaringan listrik, pangkalan udara, dan fasilitas nuklir akan menjadi target utama. Serangan semacam ini bisa melumpuhkan kemampuan militer Iran secara drastis dalam hitungan minggu.
Tapi Iran Tak Akan Diam
Sejarah menunjukkan bahwa Iran bukanlah negara yang mudah tunduk, apalagi menyerah. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran telah membangun jaringan milisi dan sekutu di berbagai kawasan, dari Lebanon (Hizbullah), Suriah, Irak, hingga Yaman (Houthi). Jika Amerika membombardir Iran, bukan tidak mungkin serangan balasan datang dari berbagai arah.
Rudal-rudal Iran bisa menghantam pangkalan militer AS di Irak, Kuwait, Bahrain, dan Qatar. Hizbullah di Lebanon bisa meluncurkan ribuan roket ke Israel. Kelompok Houthi bisa menyerang kapal-kapal Saudi dan sekutu AS di Laut Merah. Bahkan jalur strategis seperti Selat Hormuz---yang menjadi jalur 20% pasokan minyak dunia---dapat ditutup Iran, mengguncang ekonomi global.
Perang ini bisa menjelma menjadi perang regional besar-besaran.
Perang Asimetris dan Propaganda
Iran sangat ahli dalam perang asimetris---bukan berhadap-hadapan langsung, tapi melalui taktik gerilya, cyberwarfare, dan perang informasi. Serangan siber Iran pernah menargetkan sistem perbankan AS dan infrastruktur Israel. Mereka juga aktif dalam memproduksi narasi tandingan di dunia maya untuk mempengaruhi opini publik global.
Dalam hal ini, Amerika mungkin unggul secara militer, tapi Iran bisa memenangkan "perang citra" dan moral. Serangan Amerika bisa dianggap sebagai agresi terhadap negara berdaulat dan memperkuat simpati global kepada Iran, apalagi jika korban sipil meningkat.
Akankah Iran Kalah?
Secara militer, ya---jika yang dimaksud adalah pertempuran terbuka dengan kekuatan penuh. Tapi Iran tidak akan "kalah" dalam arti tunduk dan menyerah begitu saja. Iran memiliki sejarah panjang ketahanan nasional, identitas ideologis yang kuat, dan rakyat yang siap mati untuk membela negaranya.
Bahkan, serangan terhadap Iran bisa jadi malah memperkuat legitimasi rezim dan mempersatukan rakyat di tengah tekanan luar. Justru, ketegangan semacam ini bisa menyulut api nasionalisme dan memperluas konflik ke kawasan regional.
Dunia Tidak Menginginkan Perang Ini
Serangan Amerika terhadap Iran tidak hanya berdampak pada kedua negara, tapi juga mengancam stabilitas global. Harga minyak akan melonjak drastis. Pasar saham dunia akan berguncang. Negara-negara sekutu AS bisa terseret dalam konflik yang tidak mereka inginkan. Bahkan China dan Rusia---yang punya hubungan dekat dengan Iran---bisa mengambil keuntungan dari instabilitas ini.
Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam salah satu pernyataannya tahun 2007, pernah mengingatkan bahwa perang bukan solusi jangka panjang, tapi justru menciptakan luka yang lama sembuhnya. Kini, di era Presiden Prabowo Subianto, kebijakan luar negeri Indonesia pun tetap pada prinsip non-intervensi dan diplomasi aktif, menyerukan perdamaian daripada permusuhan.
Kesimpulan
Jika Iran dibom Amerika, Iran bisa kalah dalam aspek militer, tapi belum tentu kalah dalam arti politik dan moral. Sebaliknya, kemenangan Amerika pun bisa jadi hanya kemenangan semu jika konflik menjalar dan menciptakan instabilitas global.
Perang modern bukan sekadar soal senjata, tapi soal siapa yang mampu bertahan secara strategi, moral, dan dukungan publik. Dan dalam hal ini, Iran telah lama menyiapkan diri untuk skenario terburuk.
Penulis:
Wijaya Kusumah (Omjay), Guru Blogger Indonesia, pemerhati pendidikan dan politik global.