Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.
Kisah Omjay kali ini ketika guru dianggap beban negara. Ketika Guru Diangggap Beban Negara, Pajak Naik, dan Sahroni Bilang Tolol: Bubarkan DPR? Inilah pemicu kemarahan rakyat Indonesia. Semalam kami belajar bagaimana menulis biografi bersama pakarnya di PGRI.
Jujur Guru bukan Beban, kalau DPR Beban?
Guru katanya beban negara. Padahal gaji mereka kadang cuma Rp400 ribu. Sementara DPR tiap bulan bisa kantongi lebih dari Rp100 juta. Kalau ada yang pantas disebut beban, rakyat jadi bingung: guru yang bikin anak bangsa bisa baca tulis, atau DPR yang bikin rakyat naik tensi? Inilah ketidakadilan di negeri ini yang harus diperbaiki.
Ketika Pajak Naik, Rakyat Teriak
PPN naik jadi 12%, tarif tol merayap naik, sembako makin mahal. Rakyat disuruh sabar, katanya demi pembangunan.
Tapi pembangunan apa? Jalan mulus ke kantong DPR, atau jalan buntu buat rakyat kecil?
Sahroni: Bilang Tolol Sedunia
Ahmad Sahroni bilang:
"Orang yang bilang bubarin DPR itu tolol sedunia."
Pak Sahroni, hati-hati. Di zaman Raja Louis XVI dulu, rakyat Prancis juga dibilang remeh. Pajak dinaikkan, rakyat lapar, sementara bangsawan pesta pora. Hasilnya? Revolusi Prancis 1789. Inilah sejarah yang tidak boleh terjadi di Indonesia.
Belajar dari Revolusi Prancis
Sedikit kilas balik:
Bangsawan hidup mewah di Versailles, rakyat makan roti keras.
Pajak terus dinaikkan, sementara raja dan elit pesta anggur.
Rakyat marah, menyerbu penjara Bastille, lalu lahirlah Revolusi.
Slogan yang lahir: "Libert, galit, Fraternit" (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan).
Pelajarannya jelas: kalau rakyat terus ditekan, kritik dibungkam, pajak dinaikkan, dan pejabat pesta tunjangan yang akhirnya rakyat menjadi marah.
Sejarah mengajarkan, ketika kesabaran habis, yang runtuh bukan guru, tapi singgasana para penguasa. Hati-hati wahai pejabat negeri dan jangan berani melawan guru.
Satir Penutup: Bastille ala Senayan?
Kita tentu tak mau Indonesia mengulang sejarah berdarah. Tapi suara rakyat jangan dianggap angin lalu. Kalau rakyat teriak "Bubarkan DPR!", itu tanda bahaya.
Bukan berarti rakyat tolol, tapi mungkin DPR yang terlalu pintar membodohi rakyat. Mereka menganggap kita ini rakyat jelata yang tak selevel dengan anggota DPR.
Sejarah sudah menulis: dari Versailles ke Bastille, jaraknya cuma kesabaran rakyat. Dari Senayan ke "Revolusi", jaraknya juga bisa cuma satu kata: cukup!
Maka sebelum rakyat benar-benar marah, lebih baik DPR bercermin. Jangan sampai anak-anak guru honorer yang lapar hari ini, besok tumbuh jadi generasi yang meneriakkan revolusi.
Karena kalau guru dianggap beban, rakyat dianggap tolol, pajak terus naik, jangan salahkan rakyat kalau belajar dari Revolusi Prancis: membuang beban adalah langkah awal menuju kemerdekaan.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com