Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Kisah Omjay, kali ini berasal dari artikel "Air Mata di Atas Huruf Braille" karya Budiman Hakim, yang sudah diposting di facebook Om Budiman Hakim ada tambahan komentar reflektif dari Omjay (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd) serta catatan dari komunitas penulis The Writers di bagian akhir. Klik https://www.facebook.com/840735471/videos/pcb.10173226734275472/1287417880096749

Air Mata di Atas Huruf Braille Oleh: Budiman Hakim (Dengan komentar Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd dan komunitas The Writers)
Percaya gak?
Sudah lebih dari dua puluh lima tahun saya berdiri di depan kelas, di panggung, di depan layar proyektor, dan di hadapan ratusan peserta workshop menulis. Tapi hari Sabtu kemarin --- tanggal 1 November 2025, jam 10 pagi di Museum HB Jassin, Taman Ismail Marzuki --- adalah hari yang membuat saya tak mampu berkata-kata.
Hari itu bukan sekadar workshop menulis biasa. Ia menjelma menjadi pelajaran hidup yang tak akan pernah saya lupakan.
Pertemuan yang Mengubah Cara Pandang
Acara ini diprakarsai oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) --- komunitas yang menaungi para penyandang disabilitas dan penyintas gangguan mental. Mereka tengah merencanakan pembuatan buku antologi bersama, dan saya diundang untuk berbagi pengalaman tentang menulis dengan hati.
Awalnya, saya mengira ini akan seperti pelatihan menulis lainnya. Tapi begitu melangkah ke ruangan itu, semua prasangka saya runtuh.
Di depan saya duduk sekitar dua puluh orang peserta. Ada yang mengidap skizofrenia afektif, ada yang berjuang melawan anxiety, ada yang pengidap bipolar, dan lebih dari lima orang adalah tunanetra. Namun wajah mereka tak menampakkan beban. Justru memancarkan ketenangan dan semangat yang tak bisa saya temukan di tempat lain.
Beberapa di antara mereka bahkan berprofesi sebagai pemusik, penyair, pembuat anime, hingga pengacara. Dunia mungkin melihat mereka sebagai "berbeda", tapi saya melihat mereka sebagai manusia-manusia luar biasa.