Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Info pgri kali ini omjay tuliskan setelah membaca informasi di facebook. NR Daeng menulis di facebook dengan judul Gegara Uang 20 Ribu, Dua Guru di PTDH: Sebuah Luka Batin di Dunia Pendidikan. Inilah kisah Omjay di kompasiana tercinta.
Kisah ini bukan fiksi. Ia nyata, terjadi di tanah Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Hanya karena uang Rp20.000 per orang tua siswa, dua guru yang puluhan tahun mengabdi di sekolah negeri kini harus menanggung pil pahit: diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH).
Nama mereka adalah Drs. Rasnal, M.Pd dan Drs. Abd. Muis --- dua pendidik senior di SMAN 1 Luwu Utara, yang dulu disegani murid dan dicintai rekan sejawat.

Semua bermula lima tahun lalu.
Ketika itu, sepuluh guru honorer datang mengadu kepada kepala sekolah. Mereka belum menerima gaji honor selama sepuluh bulan karena nama mereka belum terdaftar di Dapodik (Data Pokok Pendidikan).
Aturan memang jelas: yang tidak terdaftar, tidak bisa menerima dana BOS. Tapi apakah nurani manusia bisa diam melihat rekan seprofesi hidup tanpa penghasilan sepuluh bulan lamanya?
Atas dasar keprihatinan bersama, kepala sekolah menggelar rapat dengan Komite Sekolah. Dari rapat itu disepakati solusi sederhana namun bermakna: setiap orang tua siswa yang mampu akan berurunan Rp20.000, bagi yang punya dua anak cukup bayar satu, dan bagi yang tak mampu---tak perlu ikut.
Semua dilakukan terbuka, tanpa paksaan. Niatnya hanya satu: menolong sesama guru.
Namun niat baik itu berubah menjadi bencana.
Sebuah LSM melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib. Polisi memeriksa empat guru dan menetapkan dua orang sebagai tersangka. Kejaksaan sempat mengembalikan berkas karena tidak ditemukan unsur pidana. Tapi proses hukum berjalan kembali, dengan keterlibatan inspektorat daerah yang menyimpulkan adanya "kerugian negara".
Perkara itu pun berujung ke meja Pengadilan Tipikor Makassar, di mana kedua guru akhirnya dinyatakan bebas --- tidak terbukti melakukan korupsi. Mereka lega, masyarakat lega, dan nama baik mereka dipulihkan.
Namun ternyata, jaksa melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Putusan MA pun keluar: kedua guru dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Setelah menjalani hukuman dan kembali ke masyarakat dengan kepala tegak, datanglah surat keputusan dari gubernur atas usulan berjenjang dari Dinas Pendidikan dan BKD:
Kedua guru itu diberhentikan tidak dengan hormat.

Tangisan di Tengah Teriakan Keadilan
Kemarin, ratusan guru di Luwu Utara turun ke jalan.
Mereka melakukan aksi damai di depan Kantor DPRD dan Kantor Bupati, menolak keputusan PTDH terhadap dua guru yang dianggap menjadi korban dari sistem yang kaku dan tanpa hati.
Bapak Prameswara R R Pgri mrmberikan komentarnya. Semoga ada pendampingan dari para pihak sampai titik keberhasilan dan solidaritas tanpa batas... Dan benar adanya perlindungan guru dari segala ancaman..
Hidup guru!!! Hidup
Hidup Pgri!!! Hidup
https://www.facebook.com/share/r/1CxjF8shUX/
Seorang guru senior berteriak dalam orasinya:
"Mereka bukan koruptor! Mereka hanya menolong sesama guru yang tidak digaji. Kalau itu salah, maka yang paling salah adalah sistem yang membiarkan guru hidup tanpa gaji selama berbulan-bulan!"
Teriakan itu menggema. Menembus hati siapa pun yang masih punya nurani.
Apakah adil memenjarakan dan memecat dua guru karena uang Rp20.000, sementara kasus korupsi miliaran rupiah sering berujung ringan bahkan tanpa sanksi berat?
Apakah hukum sudah kehilangan rasa kemanusiaannya?
Apakah birokrasi sudah lupa bahwa di balik setiap nomor Dapodik, ada manusia yang punya keluarga, perut yang lapar, dan hati yang ingin mengabdi?
Komentar Omjay: Hukum yang Kering dari Nurani
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay), Guru Blogger Indonesia dan pejuang literasi guru nasional, mengaku terenyuh membaca kasus ini.
"Sebagai guru, saya menangis dalam hati. Dua rekan kita dihukum bukan karena mereka korup, tapi karena mereka punya hati. Hukum di negeri ini sering kali kering dari nurani. Saya berharap pemerintah dan aparat hukum lebih bijak melihat konteks moral dan kemanusiaan di balik setiap kebijakan sekolah."
Omjay menegaskan, kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa sistem pendidikan dan birokrasi keuangan perlu disederhanakan dan dimanusiakan.
> "Guru yang berbuat baik jangan dihukum. Yang korup dan menyalahgunakan jabatanlah yang seharusnya dipenjarakan. Mari kita perjuangkan keadilan bagi Pak Rasnal dan Pak Abd. Muis," tegasnya.
Suara Ketua Umum PB PGRI: Keadilan Harus Ditegakkan dengan Nurani
Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, Ketua Umum PB PGRI, menilai kasus ini sangat memprihatinkan dan mencederai rasa keadilan bagi profesi guru.
"PGRI selalu menegaskan: kami menghormati hukum, tetapi hukum harus ditegakkan dengan hati nurani. Bila seorang guru dihukum karena tindakan kemanusiaan, itu artinya kita telah gagal memahami makna pendidikan yang sesungguhnya."
Beliau menambahkan, PGRI akan terus mengawal dan memperjuangkan agar putusan PTDH ini dikaji ulang.
"Negara harus hadir, bukan untuk menghukum guru, tapi melindungi mereka dari ketidakadilan," ujar Prof. Unifah dengan nada prihatin.
Dr. Sumardiansyah: Ini Luka Kolektif Dunia Pendidikan
Dr. Sumardiansyah Perdana Kusumah, M.Pd, Ketua APKS PGRI (Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis), menyebut kasus ini sebagai "luka kolektif dunia pendidikan."
"Ketika guru yang menolong sesama justru dihukum, maka sesungguhnya kita sedang kehilangan arah moral dalam menegakkan aturan. Apakah nilai-nilai kemanusiaan sudah kalah oleh birokrasi?"
Beliau menegaskan, APKS PGRI akan mendorong advokasi lanjutan dan meminta Gubernur Sulawesi Selatan meninjau ulang keputusan PTDH tersebut.
"Negara harus hadir untuk guru, bukan malah menelantarkannya."
Guru Juga Manusia
Guru bukan malaikat. Mereka manusia. Mereka butuh hidup, makan, dan dihormati.
Mereka bukan mesin pengajar, tapi penjaga masa depan bangsa.
Bila hukum tak lagi bisa membedakan mana kejahatan dan mana kemanusiaan, maka bangsa ini sedang kehilangan arah moralnya.
Bila birokrasi menindas ketulusan, maka pendidikan tak lagi menjadi jalan pembebasan, tapi penjara bagi hati nurani.
Mari kita serukan bersama:
Save Pak Guru Drs. Rasnal, M.Pd dan Drs. Abd. Muis.
Pulihkan martabat mereka.
Karena menghukum orang yang berbuat baik adalah tanda bahwa hati bangsa ini mulai mati.
Ditulis oleh: Tim Kampung Berkah Luwu Utara
Dengan komentar dari:
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia