Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.
Garis Finis Kehidupan: Dunia yang Fana, Akhirat yang Kekal. Inilah kisah Omjay yang dituliskan Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay) untuk kompasiana tercinta. Semoga bermanfaat buat pembaca kompasiana.
Setiap pagi selalu membawa pesan baru untuk direnungkan. Dua hari terakhir ini, saya mendapatkan dua inspirasi yang begitu dalam maknanya. Pertama, bahwa kesehatan adalah sesuatu yang tidak bisa diwakilkan --- hanya kita sendiri yang bisa menjaganya melalui olahraga, pola hidup sehat, dan pikiran yang tenang. Kedua, bahwa dalam hidup ini janganlah kita bersaing untuk urusan dunia, karena garis finisnya adalah kematian. Tapi bersainglah untuk urusan akhirat, karena garis finisnya adalah surga.
Dua nasihat sederhana ini tampak sepele, tapi sejatinya adalah peta kehidupan yang bisa menuntun kita menuju kebahagiaan sejati.
Ketika Dunia Jadi Arena Perlombaan yang Salah Arah
Kita hidup di zaman di mana banyak orang sibuk berlari --- bukan untuk kesehatan jasmani, tapi untuk mengejar dunia yang tak pernah cukup. Ada yang berlari mengejar jabatan, harta, atau popularitas. Dalam setiap perlombaan dunia, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Namun sayangnya, banyak yang lupa bahwa garis finis dari semua perlombaan dunia itu sama: kematian.
Betapa sering kita mendengar seseorang berkata, "Aku harus lebih sukses dari dia."
Padahal, ukuran kesuksesan di dunia sering kali menipu. Rumah besar, mobil mewah, dan saldo yang tebal tak menjamin hati yang damai. Kita sering lupa, semua itu hanya titipan sementara. Begitu napas terhenti, semua yang kita banggakan akan tertinggal, bahkan baju terbaik pun hanya selembar kain kafan.
Seorang bijak pernah berkata,
"Kemenangan dunia hanya bertahan sementara, tapi kemenangan di akhirat adalah abadi."
Maka, mengapa kita tidak memindahkan fokus perlombaan kita? Bersainglah dalam hal kebaikan, bukan kemewahan. Berlomba-lombalah dalam sedekah, dalam menolong sesama, dalam berbuat jujur, dalam mendidik anak-anak bangsa dengan hati.
Kesehatan: Amanah yang Tak Bisa Diwakilkan
Inspirasi pagi pada Ahad, 9 November 2025 juga mengingatkan kita tentang hal penting: kesehatan. Banyak orang mau berkorban untuk orang lain, tapi lupa berkorban untuk dirinya sendiri. Padahal tubuh ini adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga.
Kesehatan tidak bisa diwakilkan. Tidak bisa kita menyuruh orang lain berolahraga untuk menggantikan tubuh kita yang lemah. Tidak bisa pula kita meminta orang lain minum obat atas nama kita. Hanya kita sendiri yang bisa menjaga tubuh ini.
Berapa banyak orang yang menyesal setelah sakit, berkata, "Andai dulu aku lebih peduli dengan kesehatan." Padahal, menjaga kesehatan bukan hanya soal jasmani, tapi juga soal rohani. Jiwa yang tenang akan menumbuhkan tubuh yang kuat.
Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda,
"Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah."
Artinya, kekuatan bukan hanya fisik, tapi juga kekuatan iman dan semangat hidup. Maka, olahraga bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk rasa syukur kita atas nikmat tubuh yang masih bisa bergerak dan bernapas.
Menemukan Keseimbangan: Dunia Dijalani, Akhirat Dituju
Bukan berarti kita harus meninggalkan dunia sepenuhnya. Dunia tetap penting sebagai ladang amal. Kita bekerja, menuntut ilmu, mencari nafkah, dan berprestasi --- semua itu bisa menjadi ibadah bila diniatkan karena Allah.
Namun, kita harus bijak menempatkan prioritas. Dunia dijadikan jalan, bukan tujuan. Dunia adalah kendaraan, bukan tempat tinggal abadi. Seperti halnya lomba lari, kita harus tahu ke mana arah finis yang sebenarnya. Bila arah kita hanya menuju dunia, maka kita berhenti di liang lahat. Tapi bila arah kita menuju akhirat, maka setiap langkah di dunia menjadi pahala.
Saya sering mengingatkan para guru dan murid, bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari seberapa tinggi jabatan atau nilai rapor yang didapat, tetapi seberapa tulus kita berbuat baik dan memberi manfaat. Itulah bekal yang tidak akan hilang bahkan setelah kita tiada.
Bersainglah dalam Kebaikan
Di dunia pendidikan, kita juga sering melihat persaingan: siapa yang paling pintar, siapa yang paling cepat naik jabatan, siapa yang paling dikenal. Tapi alangkah indahnya bila kita bersaing dalam hal kebaikan --- siapa yang paling jujur dalam mengajar, siapa yang paling sabar membimbing siswa, siapa yang paling rendah hati dalam menuntut ilmu.
Dr. Sumardiansyah Perdana Kusumah, Ketua APKS PGRI, pernah berkata dalam satu kesempatan,
"Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tapi pahlawan sejati justru yang tetap berjuang dengan hati, bukan karena pujian atau penghargaan."
Kalimat itu mengingatkan kita bahwa nilai sejati seseorang bukan pada gelar dan statusnya, tetapi pada niat dan manfaat yang ditinggalkannya.
Penutup: Mari Menang dengan Cara yang Benar
Hidup memang perlombaan, tapi kita berhak memilih arena mana yang ingin kita menangkan.
Jika kita memilih dunia, maka kemenangan itu akan berakhir ketika napas terakhir terhembus.
Namun bila kita memilih akhirat, maka kemenangan itu abadi --- sampai surga menjadi garis finis kita.
Jaga tubuhmu, karena itu kendaraan menuju akhirat.
Jaga hatimu, karena itu kompas menuju surga.
Dan tetaplah semangat, karena setiap langkah kecil menuju kebaikan akan dicatat sebagai kemenangan besar di sisi Tuhan.
Barakallah fiikum.
Semoga kita semua dimampukan untuk menjaga kesehatan dan bersaing hanya dalam kebaikan. Karena pada akhirnya, kemenangan sejati bukanlah siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling ikhlas.
(Artikel ini ditulis untuk Kompasiana dalam rangka Inspirasi Pagi: Ahad--Senin, 9--10 November 2025)
Salam Blogger Persahabatan
Omjay/Kakek Jay
