-Direktur Forum Reproduksi Gagasan Nasional, -Kaum Muda Syarikat Islam, - Analis Forum Kajian Otonomi Daerah (FKOD), - Pemuda dan Masyarakat Ideologis Pancasila (PMIP), -Penggemar Seni Budaya, Pemikir dan Penulis Merdeka, Pembelajar Falsafah Pancasila
Dalam hukum nasional Indonesia, praktik pertambangan di kawasan konservasi laut jelas melanggar berbagai ketentuan yang ada. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di zona konservasi laut. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan studi AMDAL secara ketat. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang melarang konflik kepentingan di antara pejabat publik. Selain itu, UU Minerba (UU No. 3 Tahun 2020) menegaskan bahwa wilayah dengan nilai ekologis tinggi tidak dapat dijadikan area tambang kecuali melalui prosedur perubahan zona yang transparan dan partisipatif. Pelanggaran yang melibatkan manipulasi zonasi, alih izin secara ilegal, atau perilaku tidak etis oleh pejabat dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana (UU No. 28 Tahun 1999).
Pelanggaran hukum ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan indikator kegagalan institusional yang lebih dalam. Studi komparatif menegaskan bahwa institusi hukum dan tata kelola yang kuat memiliki peran penting dalam menangkal dampak buruk kutukan sumber daya (Mapon & Tsasa, 2019). Ada Perikatan terkait Kewajiban dan Sanksi Hukum Internasional. Dalam kerangka hukum internasional, Indonesia terikat oleh berbagai perjanjian dan prinsip seperti "Convention on Biological Diversity" (CBD) mengharuskan perlindungan kawasan konservasi laut seperti Raja Ampat. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) memutuskan untuk mewajibkan tindakan eksplisit melawan praktik kolusif dan konflik kepentingan dalam tata kelola sumber daya. Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) berdasarkan UNDRIP yang mensyaratkan persetujuan masyarakat adat sebelum kegiatan ekstraksi dilakukan di wilayah tradisional. Kemudian Perjanjian Paris telah mewajibkan pengurangan emisi melalui konservasi ekosistem karbon tinggi termasuk wilayah pesisir dan laut (UNFCCC, 2021).
Pelanggaran atas komitmen ini dapat memicu berbagai respons internasional, mulai dari sanksi reputasional seperti pencabutan dana iklim, pengucilan dari pasar karbon, hingga gugatan di forum hukum internasional (CBD, 2020; UNFCCC, 2021). Studi terkini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dan tekanan internasional dalam kondisi tertentu dapat mengurangi risiko konflik berbasis sumber daya dan memperkuat tata kelola di wilayah kaya sumber daya (Qi, 2024).
Kutukan Politik atas Sumber Daya sebagai Literatur klasik dan kontemporer mengenai ekonomi politik memperingatkan bahwa masuknya rente sumber daya dapat merusak perilaku negara melalui berbagai mekanisme dengan meningkatnya korupsi, penguatan elit rente, melemahnya akuntabilitas, dan penurunan kualitas institusi sebagaimana terlihat dalam sektor pertambangan Indonesia (Jiang, 2024; Kaufmann & Vicente, 2011).
Namun, studi empiris dan perilaku semakin menekankan peran mediasi institusi, kepemimpinan, dan psikologi kolektif. Misalnya, narasi sumber daya memang dapat menciptakan harapan yang berlebihan dan mendorong tekanan populis, namun kepemimpinan yang transparan dan komunikasi publik yang efektif dapat menggeser prioritas kebijakan ke arah investasi dan ketahanan (Pappyrakis & Parcero, 2022; Mapon & Tsasa, 2019). Selain itu, nilai strategis dari mineral transisi seperti nikel dan kobalt juga dapat memicu intervensi negara yang intensif, terkadang justru mengurangi konflik dengan peningkatan pengamanan (Qi, 2024). Pada akhirnya, hasil akhir bukan sesuatu yang pasti, melainkan ditentukan oleh interaksi antara kekuatan institusi, kepatuhan hukum, dan tata kelola yang partisipatif.
Menanggapi konflik dan tantangan sistemik yang terus meningkat seputar eksploitasi sumber daya alam di Raja Ampat dan Maluku Utara, diperlukan respons Negara yang untuk melakukan Audit atas Konsesi Sumber Daya untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap semua izin ekstraksi, terutama yang diterbitkan pasca-2019 dan di wilayah yang bernilai ekologis maupun budaya tinggi. Reformasi Sistem Perizinan dan Pengawasan untuk memperkuat digitalisasi, keterbukaan data, dan partisipasi publik wajib dalam proses perizinan guna mengurangi opasitas dan konflik kepentingan.
Pastikan Pemerintah tegas melaksanakan Penegakan Hukum dan menerapkan sanksi hukum yang adil terhadap pejabat yang terbukti melanggar peraturan tata kelola, lingkungan, atau anti-korupsi. Segera lakukan Moratorium Tambang di Ekosistem Kritis dengan memberlakukan larangan terhadap aktivitas tambang baru di wilayah sensitif ekologis seperti Raja Ampat dengan penilaian dampak lingkungan dan sosial yang ketat. Waspada dengan Pengawasan Internasional dorong mekanisme pemantauan dan pelaporan internasional di bawah kerangka CBD, UNCAC, dan Perjanjian Paris untuk memastikan kepatuhan Indonesia dan memfasilitasi tindakan korektif. Kekayaan alam Indonesia seharusnya menjadi sumber kemakmuran berkelanjutan bagi rakyat, bukan kutukan yang berulang. Untuk dapat mewujudkan transformasi ini, diperlukan komitmen pada tata kelola yang kuat transparan, inklusif, dan visioner, serta tangguh terhadap godaan masyarakat investasi dunia karena untuk keuntungan jangka pendek. Hanya dengan demikian, janji kekayaan sumber daya dapat diwujudkan demi kesejahteraan masa kini dan hak generasi yang akan datang dengan mempertimbangkan keseimbangan alam tanpa kebijakan yang rakus memperkaya diri.