ADI PUTRA (Adhyp Glank)
ADI PUTRA (Adhyp Glank) Seniman

-Direktur Forum Reproduksi Gagasan Nasional, -Kaum Muda Syarikat Islam, - Analis Forum Kajian Otonomi Daerah (FKOD), - Pemuda dan Masyarakat Ideologis Pancasila (PMIP), -Penggemar Seni Budaya, Pemikir dan Penulis Merdeka, Pembelajar Falsafah Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Video

Dalang dibalik kerusakan Raja Ampat Papua

9 Juni 2025   12:17 Diperbarui: 9 Juni 2025   12:32 161 1 0

Raja Ampat, sumber : Kompas
Raja Ampat, sumber : Kompas

Eksploitasi Sumber Daya Alam di Raja Ampat dan Maluku Utara: "Analisis Dampak Ekonomi, Politik, dan Hukum dari Perspektif Nasional dan Internasional"


Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, terutama di wilayah timur seperti Papua Barat dan Maluku Utara. Provinsi-provinsi ini dikenal memiliki cadangan besar nikel, tembaga, emas, serta keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Namun, perhatian publik dan internasional saat ini semakin mengarah pada praktik eksploitasi sumber daya alam di wilayah-wilayah tersebut, khususnya di Raja Ampat dan Halmahera Timur. Investigasi terbaru mengungkap adanya potensi konflik kepentingan di antara pejabat tinggi negara, termasuk mantan Presiden Joko Widodo dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, terkait alokasi konsesi pertambangan (Tempo, 2024; Narasi TV, 2024).

Polemik ini menyingkap pertanyaan mendasar mengenai dampak sistemik dari eksploitasi sumber daya terhadap struktur ekonomi Indonesia, tata kelola sumber daya, keberlanjutan lingkungan, serta interaksi antara kerangka hukum nasional dan internasional. Penelaahan atas kasus Raja Ampat dan Maluku Utara memberikan wawasan penting mengenai tantangan kompleks yang dihadapi negara berkembang yang kaya sumber daya.

Menilik Struktur Kekuasaan dan Konflik Kepentingan, secara prinsip akuntabilitas dan transparansi publik merupakan landasan pemerintahan yang efektif, namun laporan jurnalisme investigatif menunjukkan adanya keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari keluarga mantan Presiden Joko Widodo dalam penguasaan konsesi pertambangan nikel melalui jejaring korporasi. Selain itu, Bahlil Lahadalia, sebagai Menteri Investasi yang berasal dari Papua, dilaporkan memiliki peran ganda dalam regulasi sekaligus pengambilan keputusan investasi tambang di Halmahera Timur (Narasi TV, 2024; Koalisi Masyarakat Sipil, 2023).

Pola ini mencerminkan fenomena "state capture", di mana individu atau kelompok elit mengarahkan kebijakan publik demi kepentingan pribadi, mengorbankan kepentingan masyarakat luas (Kaufmann & Vicente, 2011). Dalam konteks Indonesia, kaburnya batas antara kepentingan publik dan swasta dalam sektor ekstraktif menunjukkan kelemahan struktural dalam tata kelola, serta menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas proses regulasi. Hal ini sejalan dengan temuan teoretis dan empiris mengenai "kutukan sumber daya politik", di mana peningkatan pendapatan sumber daya berkorelasi dengan meningkatnya korupsi dan menurunnya persaingan politik (Jiang, 2024).

Dampak Ekonomi dan Ketimpangan Regional dari Ekstraksi sumber daya di Maluku Utara dan Papua Barat secara agregat telah berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia, khususnya dalam sub-sektor pertambangan. Statistik resmi menunjukkan bahwa Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi provinsi tertinggi secara nasional pada 2023 (BPS, 2023). Namun, pertumbuhan impresif ini menutupi ketimpangan mendasar yang serius. Minimnya bukti bahwa lonjakan pendapatan dari sumber daya diterjemahkan menjadi peningkatan kesejahteraan lokal menandai persoalan akut.

Kondisi ini merupakan ilustrasi nyata dari paradoks "kutukan sumber daya", yaitu fenomena di mana kelimpahan sumber daya alam justru gagal menghasilkan kemakmuran, dan malah memperdalam ketimpangan regional, mendorong ketergantungan ekstraktif, serta memicu konflik sosial (Sachs & Warner, 2001; Feng et al., 2019). Dampak buruk ini juga terlihat di Raja Ampat, di mana izin pertambangan mengancam wilayah yang terkenal dengan potensi ekowisata dan keanekaragaman hayatinya. Penyalahgunaan alokasi tambang di zona dengan nilai biodiversitas tinggi secara langsung menggerus peluang ekonomi berkelanjutan berbasis masyarakat seperti konservasi laut dan ekowisata (The Nature Conservancy, 2022).

Berbeda dengan pandangan deterministik terhadap kutukan sumber daya, analisis data panel terbaru menunjukkan bahwa hasil akhirnya sangat bergantung pada diversifikasi ekspor dan kualitas tata kelola negara (Mapon & Tsasa, 2019). Negara-negara dengan kelembagaan yang kuat dan ekonomi yang terdiversifikasi seperti Norwegia atau Kanada cenderung mampu menghindari kutukan tersebut. Namun, bagi Indonesia, lemahnya pemisahan kekuasaan, rendahnya transparansi regulasi, serta praktik rente elit memperbesar risiko bahwa ekstraksi sumber daya akan memperdalam kerentanan struktural.

Dimensi Lingkungan dan Ekologis Raja Ampat diakui secara luas sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia, sebagaimana diakui dalam kebijakan nasional dan komitmen konservasi internasional. Namun, aktivitas ekstraktif di dalam dan sekitar kawasan konservasi telah menyebabkan degradasi lingkungan: kerusakan hutan mangrove, peningkatan sedimentasi perairan, dan kerusakan terumbu karang, yang merupakan habitat penting bagi spesies endemik dan migrasi (WWF Indonesia, 2023).

Perkembangan ini bertentangan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dan secara langsung melanggar komitmen Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional seperti Perjanjian Paris dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) (UNFCCC, 2021; CBD, 2020). Penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan sumber daya yang besar dapat melemahkan penghalang institusional terhadap mismanajemen lingkungan, memperbesar risiko penangkapan regulasi dan menunda investasi konservasi demi keuntungan jangka pendek (Jiang, 2024; Pappyrakis & Parcero, 2022). Lebih jauh, studi psikologi dan sosiologi menyoroti peran harapan kolektif dan optimisme sumber daya dalam mengubah persepsi publik. Narasi berlebihan mengenai manfaat kekayaan sumber daya sering mendorong tuntutan populis untuk konsumsi segera ketimbang investasi jangka panjang, sehingga melemahkan perlawanan terhadap proyek yang merusak lingkungan (Pappyrakis & Parcero, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2