-Direktur Forum Reproduksi Gagasan Nasional, -Kaum Muda Syarikat Islam, - Analis Forum Kajian Otonomi Daerah (FKOD), - Pemuda dan Masyarakat Ideologis Pancasila (PMIP), -Penggemar Seni Budaya, Pemikir dan Penulis Merdeka, Pembelajar Falsafah Pancasila
Eksploitasi Sumber Daya Alam di Raja Ampat dan Maluku Utara: "Analisis Dampak Ekonomi, Politik, dan Hukum dari Perspektif Nasional dan Internasional"
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, terutama di wilayah timur seperti Papua Barat dan Maluku Utara. Provinsi-provinsi ini dikenal memiliki cadangan besar nikel, tembaga, emas, serta keanekaragaman hayati laut yang luar biasa. Namun, perhatian publik dan internasional saat ini semakin mengarah pada praktik eksploitasi sumber daya alam di wilayah-wilayah tersebut, khususnya di Raja Ampat dan Halmahera Timur. Investigasi terbaru mengungkap adanya potensi konflik kepentingan di antara pejabat tinggi negara, termasuk mantan Presiden Joko Widodo dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, terkait alokasi konsesi pertambangan (Tempo, 2024; Narasi TV, 2024).
Polemik ini menyingkap pertanyaan mendasar mengenai dampak sistemik dari eksploitasi sumber daya terhadap struktur ekonomi Indonesia, tata kelola sumber daya, keberlanjutan lingkungan, serta interaksi antara kerangka hukum nasional dan internasional. Penelaahan atas kasus Raja Ampat dan Maluku Utara memberikan wawasan penting mengenai tantangan kompleks yang dihadapi negara berkembang yang kaya sumber daya.
Menilik Struktur Kekuasaan dan Konflik Kepentingan, secara prinsip akuntabilitas dan transparansi publik merupakan landasan pemerintahan yang efektif, namun laporan jurnalisme investigatif menunjukkan adanya keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari keluarga mantan Presiden Joko Widodo dalam penguasaan konsesi pertambangan nikel melalui jejaring korporasi. Selain itu, Bahlil Lahadalia, sebagai Menteri Investasi yang berasal dari Papua, dilaporkan memiliki peran ganda dalam regulasi sekaligus pengambilan keputusan investasi tambang di Halmahera Timur (Narasi TV, 2024; Koalisi Masyarakat Sipil, 2023).
Pola ini mencerminkan fenomena "state capture", di mana individu atau kelompok elit mengarahkan kebijakan publik demi kepentingan pribadi, mengorbankan kepentingan masyarakat luas (Kaufmann & Vicente, 2011). Dalam konteks Indonesia, kaburnya batas antara kepentingan publik dan swasta dalam sektor ekstraktif menunjukkan kelemahan struktural dalam tata kelola, serta menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas proses regulasi. Hal ini sejalan dengan temuan teoretis dan empiris mengenai "kutukan sumber daya politik", di mana peningkatan pendapatan sumber daya berkorelasi dengan meningkatnya korupsi dan menurunnya persaingan politik (Jiang, 2024).
Dampak Ekonomi dan Ketimpangan Regional dari Ekstraksi sumber daya di Maluku Utara dan Papua Barat secara agregat telah berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia, khususnya dalam sub-sektor pertambangan. Statistik resmi menunjukkan bahwa Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi provinsi tertinggi secara nasional pada 2023 (BPS, 2023). Namun, pertumbuhan impresif ini menutupi ketimpangan mendasar yang serius. Minimnya bukti bahwa lonjakan pendapatan dari sumber daya diterjemahkan menjadi peningkatan kesejahteraan lokal menandai persoalan akut.
Kondisi ini merupakan ilustrasi nyata dari paradoks "kutukan sumber daya", yaitu fenomena di mana kelimpahan sumber daya alam justru gagal menghasilkan kemakmuran, dan malah memperdalam ketimpangan regional, mendorong ketergantungan ekstraktif, serta memicu konflik sosial (Sachs & Warner, 2001; Feng et al., 2019). Dampak buruk ini juga terlihat di Raja Ampat, di mana izin pertambangan mengancam wilayah yang terkenal dengan potensi ekowisata dan keanekaragaman hayatinya. Penyalahgunaan alokasi tambang di zona dengan nilai biodiversitas tinggi secara langsung menggerus peluang ekonomi berkelanjutan berbasis masyarakat seperti konservasi laut dan ekowisata (The Nature Conservancy, 2022).
Berbeda dengan pandangan deterministik terhadap kutukan sumber daya, analisis data panel terbaru menunjukkan bahwa hasil akhirnya sangat bergantung pada diversifikasi ekspor dan kualitas tata kelola negara (Mapon & Tsasa, 2019). Negara-negara dengan kelembagaan yang kuat dan ekonomi yang terdiversifikasi seperti Norwegia atau Kanada cenderung mampu menghindari kutukan tersebut. Namun, bagi Indonesia, lemahnya pemisahan kekuasaan, rendahnya transparansi regulasi, serta praktik rente elit memperbesar risiko bahwa ekstraksi sumber daya akan memperdalam kerentanan struktural.
Dimensi Lingkungan dan Ekologis Raja Ampat diakui secara luas sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia, sebagaimana diakui dalam kebijakan nasional dan komitmen konservasi internasional. Namun, aktivitas ekstraktif di dalam dan sekitar kawasan konservasi telah menyebabkan degradasi lingkungan: kerusakan hutan mangrove, peningkatan sedimentasi perairan, dan kerusakan terumbu karang, yang merupakan habitat penting bagi spesies endemik dan migrasi (WWF Indonesia, 2023).
Perkembangan ini bertentangan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dan secara langsung melanggar komitmen Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional seperti Perjanjian Paris dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) (UNFCCC, 2021; CBD, 2020). Penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan sumber daya yang besar dapat melemahkan penghalang institusional terhadap mismanajemen lingkungan, memperbesar risiko penangkapan regulasi dan menunda investasi konservasi demi keuntungan jangka pendek (Jiang, 2024; Pappyrakis & Parcero, 2022). Lebih jauh, studi psikologi dan sosiologi menyoroti peran harapan kolektif dan optimisme sumber daya dalam mengubah persepsi publik. Narasi berlebihan mengenai manfaat kekayaan sumber daya sering mendorong tuntutan populis untuk konsumsi segera ketimbang investasi jangka panjang, sehingga melemahkan perlawanan terhadap proyek yang merusak lingkungan (Pappyrakis & Parcero, 2022).
Dalam hukum nasional Indonesia, praktik pertambangan di kawasan konservasi laut jelas melanggar berbagai ketentuan yang ada. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di zona konservasi laut. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan studi AMDAL secara ketat. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang melarang konflik kepentingan di antara pejabat publik. Selain itu, UU Minerba (UU No. 3 Tahun 2020) menegaskan bahwa wilayah dengan nilai ekologis tinggi tidak dapat dijadikan area tambang kecuali melalui prosedur perubahan zona yang transparan dan partisipatif. Pelanggaran yang melibatkan manipulasi zonasi, alih izin secara ilegal, atau perilaku tidak etis oleh pejabat dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana (UU No. 28 Tahun 1999).
Pelanggaran hukum ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan indikator kegagalan institusional yang lebih dalam. Studi komparatif menegaskan bahwa institusi hukum dan tata kelola yang kuat memiliki peran penting dalam menangkal dampak buruk kutukan sumber daya (Mapon & Tsasa, 2019). Ada Perikatan terkait Kewajiban dan Sanksi Hukum Internasional. Dalam kerangka hukum internasional, Indonesia terikat oleh berbagai perjanjian dan prinsip seperti "Convention on Biological Diversity" (CBD) mengharuskan perlindungan kawasan konservasi laut seperti Raja Ampat. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) memutuskan untuk mewajibkan tindakan eksplisit melawan praktik kolusif dan konflik kepentingan dalam tata kelola sumber daya. Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) berdasarkan UNDRIP yang mensyaratkan persetujuan masyarakat adat sebelum kegiatan ekstraksi dilakukan di wilayah tradisional. Kemudian Perjanjian Paris telah mewajibkan pengurangan emisi melalui konservasi ekosistem karbon tinggi termasuk wilayah pesisir dan laut (UNFCCC, 2021).
Pelanggaran atas komitmen ini dapat memicu berbagai respons internasional, mulai dari sanksi reputasional seperti pencabutan dana iklim, pengucilan dari pasar karbon, hingga gugatan di forum hukum internasional (CBD, 2020; UNFCCC, 2021). Studi terkini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dan tekanan internasional dalam kondisi tertentu dapat mengurangi risiko konflik berbasis sumber daya dan memperkuat tata kelola di wilayah kaya sumber daya (Qi, 2024).
Kutukan Politik atas Sumber Daya sebagai Literatur klasik dan kontemporer mengenai ekonomi politik memperingatkan bahwa masuknya rente sumber daya dapat merusak perilaku negara melalui berbagai mekanisme dengan meningkatnya korupsi, penguatan elit rente, melemahnya akuntabilitas, dan penurunan kualitas institusi sebagaimana terlihat dalam sektor pertambangan Indonesia (Jiang, 2024; Kaufmann & Vicente, 2011).
Namun, studi empiris dan perilaku semakin menekankan peran mediasi institusi, kepemimpinan, dan psikologi kolektif. Misalnya, narasi sumber daya memang dapat menciptakan harapan yang berlebihan dan mendorong tekanan populis, namun kepemimpinan yang transparan dan komunikasi publik yang efektif dapat menggeser prioritas kebijakan ke arah investasi dan ketahanan (Pappyrakis & Parcero, 2022; Mapon & Tsasa, 2019). Selain itu, nilai strategis dari mineral transisi seperti nikel dan kobalt juga dapat memicu intervensi negara yang intensif, terkadang justru mengurangi konflik dengan peningkatan pengamanan (Qi, 2024). Pada akhirnya, hasil akhir bukan sesuatu yang pasti, melainkan ditentukan oleh interaksi antara kekuatan institusi, kepatuhan hukum, dan tata kelola yang partisipatif.
Menanggapi konflik dan tantangan sistemik yang terus meningkat seputar eksploitasi sumber daya alam di Raja Ampat dan Maluku Utara, diperlukan respons Negara yang untuk melakukan Audit atas Konsesi Sumber Daya untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan terhadap semua izin ekstraksi, terutama yang diterbitkan pasca-2019 dan di wilayah yang bernilai ekologis maupun budaya tinggi. Reformasi Sistem Perizinan dan Pengawasan untuk memperkuat digitalisasi, keterbukaan data, dan partisipasi publik wajib dalam proses perizinan guna mengurangi opasitas dan konflik kepentingan.
Pastikan Pemerintah tegas melaksanakan Penegakan Hukum dan menerapkan sanksi hukum yang adil terhadap pejabat yang terbukti melanggar peraturan tata kelola, lingkungan, atau anti-korupsi. Segera lakukan Moratorium Tambang di Ekosistem Kritis dengan memberlakukan larangan terhadap aktivitas tambang baru di wilayah sensitif ekologis seperti Raja Ampat dengan penilaian dampak lingkungan dan sosial yang ketat. Waspada dengan Pengawasan Internasional dorong mekanisme pemantauan dan pelaporan internasional di bawah kerangka CBD, UNCAC, dan Perjanjian Paris untuk memastikan kepatuhan Indonesia dan memfasilitasi tindakan korektif. Kekayaan alam Indonesia seharusnya menjadi sumber kemakmuran berkelanjutan bagi rakyat, bukan kutukan yang berulang. Untuk dapat mewujudkan transformasi ini, diperlukan komitmen pada tata kelola yang kuat transparan, inklusif, dan visioner, serta tangguh terhadap godaan masyarakat investasi dunia karena untuk keuntungan jangka pendek. Hanya dengan demikian, janji kekayaan sumber daya dapat diwujudkan demi kesejahteraan masa kini dan hak generasi yang akan datang dengan mempertimbangkan keseimbangan alam tanpa kebijakan yang rakus memperkaya diri.