Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Menciptakan puisi terbaik. Menerbitkannya menjadi buku puisi terbaik. Begitulah Ewith Bahar menantang dirinya. "Menurut saya, Ewith Bahar berhasil. Ia berhasil membangun kesadaran kata pada puisinya," ujar Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.
Kesadaran Kata, Penambahan Makna
Bang Tardji -demikian kami menyapanya- menyebutkan salah satu puisi karya Ewith Bahar Kunjungan Sepintas.

Agaknya, yang menyebut pekuburan adalah universitas masih terbilang langka. Apalagi yang menuliskan tiga suku kata itu ke dalam puisi. Saya mencoba googling tapi tidak menemukannya. Yang saya temukan adalah universitas atau kampus yang didirikan di atas bekas pekuburan atau pemakaman.
Seperti St John's College, yang menjadi bagian dari University of Cambridge, salah satu universitas ternama di Inggris. Kampus itu didirikan pada tahun 1877-1879. Tak banyak yang tahu, kampus itu dibangun di atas pekuburan kuno Abad Pertengahan.
Demikian juga dengan Universitas Sebelas Maret (UNS), yang berada di Jalan Ir. Sutami 36, Surakarta, Jawa Tengah. Sebelum dibangun gedung perkuliahan, area tersebut merupakan pekuburan warga Tionghoa dan keturunan mereka.
Menurut Bang Tardji, pekuburan adalah universitas dalam puisi Ewith Bahar tersebut, menunjukkan bahwa penyair perempuan itu telah berhasil memberikan penambahan makna pada kata yang ia gunakan. Pekuburan tidak lagi bermakna seperti makna yang sudah ada.
Pekuburan adalah universitas, demikian makna baru yang diciptakan Ewith Bahar. Sebagaimana universitas, dengan banyak fakultas dan jurusan, maka pekuburan menjadi tempat manusia belajar tentang banyak hal, segala hal. Bukan hanya tentang kesedihan, kehilangan, air mata, pahala, dan dosa.
Bang Tardji menyebutkan contoh puisi karya Ewith Bahar yang lain, Sauh.
Dalam puisi tersebut, menurut Bang Tardji, Ewith Bahar memberikan pemaknaan baru mengenai persahabatan. Menciptakaan penambahan makna pada kata, dalam konteks nilai-nilai kehidupan. Bahwa kekukuhan persahabatan, bukan ditandai pada perjalanan akbar, tapi tatkala tertambat setelah melempar sauh.
Kunjungan Sepintas adalah puisi ke-220 dan Sauh puisi ke-191 dalam buku puisi Impromptu Terzina karya Ewith Bahar. Buku puisi itu menjadi Juara I Buku Puisi Terbaik tahun 2023, dari Sayembara Buku Puisi yang diadakan oleh Yayasan Hari Puisi (YHP). Itu merupakan sayembara tahunan YHP, dengan tiga Dewan Juri: Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, dan Maman S. Mahayana.
Pada Kamis, 30 November 2023 lalu, buku puisi itu dibedah oleh dua dari tiga Dewan Juri, yaitu Sutardji Calzoum Bachri dan Maman S. Mahayana. Bedah buku itu dilakukan di aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Lantai 4 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Bedah buku tersebut sekaligus menjadi ajang pertanggungjawaban Dewan Juri, yang telah memilih buku puisi Impromptu Terzina karya Ewith Bahar, sebagai Juara I Buku Puisi Terbaik tahun 2023. Buku itu berhasil menyisihkan ratusan buku puisi yang dikirimkan ke panitia sayembara.
Landasan Buku, Tanggung Jawab Estetik
Bang Tardji, antara lain, menjabarkan tentang Kesadaran Kata dan Penambahan Makna dalam karya-karya Ewith Bahar, pada Kamis, 30 November 2023 lalu itu. Sementara, Maman S. Mahayana, antara lain, menyoroti tentang Tanggung Jawab Estetik yang dikemukakan Ewith Bahar dalam Kata Pengantar buku puisi tersebut.
Maksudnya, Ewith Bahar menjelaskan dalam buku puisinya, kenapa ia menuliskan puisi tiga baris. Ia terinspirasi untuk menciptakan Puisi Tiga Baris, setelah mencermati ragam puisi tiga baris di berbagai negara di dunia. Antara lain, haiku, hokku, dan katauta dari Jepang. Juga, sijo di Korea dan terza rima di Italia. Dan, puisi tiga baris tidak dikenal dalam sejarah perpuisian Indonesia.
"Tanggung Jawab Estetik yang demikian, tentu saja penting. Ke-228 Puisi dengan 22 Sub-Tema di buku tersebut, dicermati Dewan Juri satu per satu. Mulai dari relevansi tiap puisi dengan Tema yang membingkainya, sampai ke konsistensi Ewith Bahar sebagai penyairnya," tutur Maman S. Mahayana.
Dalam sub-tema Corona misalnya, Ewith Bahar menampilkan 10 puisi. Dalam sub-tema Memoria, ia menampilkan 7 puisi. Jumlah puisi di tiap sub-tema, berbeda-beda. Nah, Dewan Juri menelusuri, tiap puisi dengan sub-tema yang membingkainya.
Tapi, apa sebetulnya Impromptu? Ini adalah istilah dalam dunia musik, yang berasal dari bahasa Prancis, yang berarti improvisasi. Dengan landasan improvisasi itulah, Ewith Bahar mengolah peristiwa banjir, misalnya, ke dalam puisi tiga baris. Demikian pula dengan wabah Corona, yang melanda dunia.
"Kepaduan seluruh puisi dengan tema improvisasi yang menjadi tema utama buku tersebut, sangat mengesankan. Tentu tidak mudah mengelola konsistensi dari 228 Puisi dengan 22 sub-tema tersebut. Ewith Bahar berhasil menjaga konsistensi serta kepaduannya," ujar Maman S. Mahayana lebih lanjut.
Maman S. Mahayana menyebutkan contoh puisi ke-209 karya Ewith Bahar, Kemenangan dalam sub-tema Diri.
Menurut Maman S. Mahayana, puisi tersebut sangat filosofis. "Bila mengacu ke budaya Jawa, dibandingkan dengan perang secara makro, perang mikro tentulah lebih dahsyat," paparnya. Dan, Ewith Bahar dengan lugas mengguratkannya dalam tiga baris. Tajam, sangat menohok diri.
Apresiasi untuk Komunitas TISI
Sastrawan Kurnia Effendi yang menjadi moderator bedah buku tersebut, mengapresiasi Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), yang menginisiasi acara itu. Menurutnya, dalam setiap lomba atau sayembara, sudah sepatutnya Dewan Juri memaparkan pertanggungjawaban kepada publik. Ini adalah untuk pertama kalinya Yayasan Hari Puisi (YHP) melakukannya.
Octavianus Masheka selaku Ketua Umum Komunitas TISI, berharap, bedah buku serta penjelasan Dewan Juri tersebut, akan memberi pencerahan kepada para peminat sastra. Dengan demikian, kualitas puisi yang sudah dibukukan, yang dikirimkan ke panitia Sayembara Buku Puisi di masa-masa mendatang, akan lebih baik lagi.
Di kesempatan itu, Octavianus Masheka membacakan dua puisi Ewith Bahar. Puisi ke-218 Ajal dan Puisi ke-226 Secercah Mimpi.
Selain Octavianus Masheka, deklamator Ilhamdi Sulaiman juga membacakan beberapa puisi Ewith Bahar. Yang tak kalah serunya, Ewith Bahar membacakan puisi-puisinya, berduet dengan Imam Ma'arif. Secara keseluruhan, bedah buku ini bukan hanya ajang apresiasi, tapi penuh dengan edukasi.
Jakarta, 2 Desember 2023