Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.
Sepotong lirik dari Iwan Fals tersebut, berkelebat di ingatan. Di depan saya, melintas anak kecil. Benar-benar anak kecil. Tubuhnya dibungkus oleh plastik, agar tak kuyup oleh hujan. Ia melangkah tergesa, di aspal jalanan yang basah. Tanpa alas kaki. Ia memegang payung besar, sangat besar bila dibanding ukuran tubuhnya.
Meski badannya dibungkus plastik, meski ia memegang payung, sesungguhnya ia sudah kuyup oleh hujan. Payung yang ia bawa, bukan untuknya. Tapi, untuk siapa saja yang membutuhkannya. Dan, atas dasar itu, ia mendapatkan uang sewa payung tersebut. Sekali jalan dari stasiun ke jalan raya, ia dapat Rp 5.000.-
Dari jalan raya, ia kembali bergegas ke stasiun, berharap ada lagi orang yang menyewa payungnya. Ia tentu saja tak sendiri. Ada anak-anak lain, yang juga menjadi penyedia jasa sewa payung. Ada sekitar 10 orang anak yang menyewakan payung, di pintu timur Stasiun Depok, Jawa Barat, tersebut.
Secara usia, mereka tentulah anak-anak sekolah. Pada Rabu, 8 Januari 2025 lalu itu, hari sudah cukup larut untuk ukuran anak-anak. Sudah lewat pukul 10 malam. Padahal besok pagi mereka harus ke sekolah. Namun, malam itu, mereka masih sangat bersemangat berburu penyewa payung. Berharap dapat uang lebih banyak. Mumpung musim hujan.
Bagi mereka, hujan adalah berkah. Aktivitas musiman yang mendatangkan uang. Orang tua mereka tinggal di seputar stasiun, di sejumlah petak kontrakan. Area stasiun adalah kawasan tempat mereka bermain sehari-hari. Karena itu, mereka enjoy saja berlari-lari tanpa menggunakan alas kaki.
Saya bangga dengan anak-anak tersebut. Di usia yang masih sangat dini, mereka sudah menemukan jalan yang produktif, yang bisa menghasilkan pendapatan. Jalan produktif itu ada di sekitar mereka, hingga mereka tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengeksplorasi peluang.
Sejak usia dini, mereka sudah ditempa oleh kehidupan. Langsung bertarung dengan realitas. Mereka secara langsung paham, bahwa untuk mendapatkan uang ya harus berbuat, bekerja. Dengan menyewakan payung, mereka mendapatkan uang yang lebih, lebih banyak dari uang jajan yang mereka peroleh dari orang tua masing-masing.
Bahwa untuk itu harus berhujan-hujan. Bahwa karena itu mereka kedinginan. Semua itu adalah risiko dari suatu aktivitas. Di usia dini, mereka secara langsung sudah belajar menghadapi risiko. Setidaknya, mereka sudah mengenal segala risiko, dari aktivitas yang mereka lakukan.
Capek, tentu iya. Berlari dari stasiun ke jalan raya, bolak-balik berkali-kali. Juga, berdiri kehujanan untuk mendapatkan penyewa. Andai mereka adalah anak-anak yang lembek, yang gampang mengeluh, tentu mereka tak akan menyewakan payung di musim hujan.