Angkot! Satu kata ini sepertinya sudah jarang ditemukan di jalan desa Kabupaten Madiun Selatan, tepatnya angdes kalau di sini. Angkutan perdesaan, karena berada di desa. Krisis angkutan publik sudah lama terjadi, bukan baru sekarang.
Pertama kali tinggal di pelosok Kabupaten Madiun awal tahun 1997, setelah menikah di akhir tahun 1996, Angdes, angkudes, atau angkutan perdesaan masih menjadi transportasi publik primadona karena relatif murah dibanding delman atau ojek yang menjadi alternatif transportasi jika tidak memiliki kendaraan pribadi. Tapi kini angdes sudah lama tidak beroperasi sebagai akibat krisis Transportasi Publik.
Tapi saat booming sepeda motor pada sekitar tahun 2000-an, banyak transportasi publik yang kehilangan pelanggan. Hal ini menjadi salah satu penyebab Krisis tranportasi publik.
Sebenarnya apakah penyebab Krisis tranportasi publik semata-mata banyak nya sepeda motor di jalan?
Secara random saya bertanya pada Priya Santosa(61 thn), kenapa tidak suka menggunakan transportasi publik?
"Penuh sesak!" Jawabnya mantap.
" Tapi kan sekarang justru transportasi publik seperti angkot, bis mini, itu kan cenderung sepi dengan terjadinya krisis Transportasi publik, Pak?"
"Kalau itu rutenya biasanya tidak menjangkau tujuan yang saya inginkan. Seperti misalnya kalau ke stasiun, dari sini tidak ada transportasi publik yang langsung menuju stasiun. Ribet, harus sering berganti transport kalau memaksa naik transportasi publik. Lebih nyaman dan mudah naik motor atau mobil."
"Kalau jarak jauh, misal nya saat lebaran biasanya penuh sesak. Kecuali kereta yang mengharuskan penumpang mempunyai kursi. Tapi itupun biasanya karcis cepat habis!" Lanjutnya lagi berapi-api.
Mungkin itu beberapa alasan, kenapa transportasi publik mulai jarang peminat, sehingga terjadi krisis Transportasi Publik.
Lalu, apa saja penyebab Krisis tranportasi publik?
Krisis angkutan publik bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: