"Eh, bungkus saja, Pak!"
"Pakai lontong, Bu?"
"Nggak usah, Pak!" Tadinya kalau makan di sini aku pengin pakai lontong. Tapi kalau dibawa pulang, kayaknya nggak usah. Di rumah aku ada persediaan lontong.
Kuangsurkan selembar uang biru, dan dikasih kembalian. Selembar uang oranye dan beberapa receh. Delapan ribu? Berapa harga satenya? Tadinya aku berharap kembaliannya ada uang hijau, paling tidak ungu, lah!
"Mas, satenya berapa?" Sebagai emak-emak, tentunya aku tidak bisa berdiam diri saat merasakan sesuatu yang tidak wajar.
"Tiga puluh enam ribu, Bu!" Aku kaget. Kenapa lebih mahal dari sate kambing?Kubuka sate dan kuhitung jumlah tusuknya. Jangan-jangan dikasih 20 atau bahkan 30 tusuk sehingga harganya semahal itu. Ternyata tetap saja 10 tusuk.
"Ini, Bu!" Masnya kasir menunjukkan kalkulator yang tertera angka 42 ribu, karena tadi aku tambah es jeruk.
"Oh ya sudah, Mas kalau sudah betul. Terima kasih ya!"
"Sama2, Bu!" Aku segera menyeberang jalan. Ternyata ayah sudah selesai makan hidangan favorit nya. Nasi pecel lauk bacem lidah sapi.
Sampai di rumah segera kupanasi lontong dan kutinggal menata barang -barang yang sudah dikeluarkan ayah dari mobil.
Setelah selesai menata bawaan, lontong nya sudah hangat, siap dinikmati.