Aku berjalan sendiri di lorong-lorong doa,
Menutup luka yang tak pernah diminta.
Mencintai dia seperti mencintai cahaya,
Namun cahaya itu jauh... terlalu jauh untuk kusentuh jiwa.
Ada mereka yang datang dengan harta dan kuasa,
Sedang aku hanya membawa doa dan air mata.
Air mata ini, Bunda...
Hanya isyarat bahwa aku kalah,
Bukan menyerah---hanya tak mampu melawan takdir yang pasrah.
Maafkan aku, Bunda,
Yang harus kalah dalam memperjuangkan cinta.
Aku tak pernah menyalahkan kemiskinan,
Hanya bertanya pada Tuhan:
Mengapa cinta dan cita harus dibenturkan
Dengan mereka yang punya dunia dalam genggaman?
Aku anak yatim,
Belajar kuat dari malam yang panjang,
Belajar ikhlas dari perut yang sering menahan lapar,
Belajar berharap saat harapan sendiri gamang.
Tapi tentang cinta...
Aku tak mampu, Bunda, aku tak mampu.
Biarkan cintaku kembali pada Tuhan,
Di ujung subuh yang dingin dan pelan.
Biarkan rasa ini tidur dalam pelukan langit,
Hingga suatu hari,
Saat mataku menutup untuk selamanya,
Cinta ini tetap suci---meski tak pernah kumiliki.
Maafkan aku, Bunda,
Jika perjuanganku tak sampai ke pintu bahagia.
Aku kalah,
Tapi bukan karena aku berhenti percaya...
Hanya karena takdir lebih kuat dari doa.
Biarkan cintaku
Menjadi bisik yang pulang pada Tuhan,
Di ujung subuh,
Sebelum fajar memaafkan aku
Yang mencintai, tapi tak bisa memiliki