Anda bangun pagi, buka TikTok, dan langsung disambut oleh video-video yang membuat mata Anda tak berkedip. Ada seorang gadis Gen Z berusia 18 tahun yang memakai crop top dan celana cargo oversized, berpose di depan cermin sambil diiringi dengan musik viral yang berputar. Dalam komentar, ribuan orang bilang, "Ini look-nya keren banget!" Lalu, Anda lihat teman Anda di sekolah atau kampus pakai outfit serupa. Tiba-tiba, Anda merasa ketinggalan. itu dia, Fear Of Missing Out atau FOMO, yang membuat jantung berdegup kencang. Tren fashion di TikTok bukan lagi sekadar hiburan, tetapi telah mengubah cara Gen Z berpakaian secara drastis. Generasi ini, yang lahir di era di mana smartphone adalah teman sejati, kini melihat fashion sebagai bagian dari identitas digital mereka. Apa yang dulu dianggap sebagai pilihan pribadi kini dipengaruhi oleh algoritma yang tak pernah tidur, mendorong mereka untuk selalu update agar tidak terasing. Apakah ini evolusi yang menyenangkan, atau jebakan yang membuat mereka kehilangan diri? Dalam artikel ini, saya akan berbagi pandangan saya tentang bagaimana tren fashion TikTok, melalui FOMO, telah membentuk ulang gaya berpakaian Gen Z, mulai dari kreativitas spontan hingga tekanan sosial yang tak terlihat.
Gen Z, Mereka bukan lagi anak-anak yang pakai seragam sekolah polos. Mereka eksperimental, tapi sering kali karena takut ketinggalan. FOMO ini seperti virus yang menyebar cepat. jika Anda tidak ikut, rasanya seperti dunia berjalan tanpa Anda. Ini mengubah cara berpakaian, dari sesuatu yang nyaman dan autentik, menjadi kompetisi untuk tampil "in" di layar. Dan ini bukan hanya tentang pakaian, tetapi ini tentang bagaimana Gen Z mendefinisikan diri di dunia yang penuh filter dan like. Mari kita dalami lebih dalam, karena fenomena ini lebih kompleks daripada yang terlihat.
Dalam pandangan saya, tren fashion di TikTok telah merevolusi cara Gen Z berpakaian, tapi dengan konsekuensi yang mendalam, FOMO yang memicu konsumsi impulsif dan erosi keaslian. Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan akses tak terbatas ke informasi, dan TikTok adalah jendela utamanya. Mereka melihat fashion bukan sebagai kebutuhan dasar, melainkan sebagai alat untuk berkomunikasi. Tapi FOMO membuat mereka berpakaian bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk diterima oleh komunitas online. Ini mengubah pola, dari berpakaian yang reflektif dan personal, menjadi reaktif terhadap tren yang datang dan pergi seperti angin. Akibatnya, Gen Z sering kali terlihat homogen, semua pakai yang sama, dari sneakers hingga hoodie oversized karena takut dikucilkan. Ini bukan lagi tentang kreativitas, ini tentang survival sosial di dunia digital.
Saya percaya ini dimulai dari bagaimana TikTok dirancang. Platform ini mendorong konten pendek dan menarik, di mana fashion menjadi bagian dari narasi harian. Gen Z, yang rata-rata menghabiskan waktu berjam-jam di aplikasi ini, terpapar tren setiap detik. Misalnya, jika satu influencer pakai "outfit kalcer" look outfit dengan menggunakan celana baggy dan baju oversize, maka ribuan video serupa muncul. FOMO muncul ketika Anda lihat teman-teman Anda "ikut", dan Anda merasa harus beli juga. Ini mengubah cara berpakaian, dari sesuatu yang tahan lama, menjadi cepat ganti. Gen Z kini lebih konsumtif, mereka beli barang murah dari fast fashion hanya karena viral, tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Dan keaslian? Itu sering hilang. Mereka pakai outfit yang sama seperti orang lain, bukan yang mencerminkan kepribadian. Ini membuat saya agak prihatin, apakah Gen Z masih punya ruang untuk menjadi diri sendiri, atau mereka hanya tiruan dari algoritma?
Coba kita uraikan logikanya secara sederhana. Pertama, TikTok adalah mesin tren. Setiap video fashion mendapat jutaan view dalam hari, dan algoritma mendorong konten serupa. Gen Z, yang aktif di platform ini, melihat ini sebagai sumber inspirasi utama. Kedua, FOMO masuk ke dalamnya. Ketika tren viral, seperti "outfit kalcer" dengan celana gombrong dan berbagai aksesoris yang menempel, Gen Z merasa harus ikut agar tidak ketinggalan. Ini bukan hanya tentang pakaian; ini tentang validasi sosial. Ketiga, perubahan cara berpakaian terjadi, mereka mulai belanja impulsif, sering kali online, dan ganti outfit lebih sering. Keempat, ini berdampak pada keaslian dan mereka kurang bereksperimen dengan gaya pribadi, karena takut salah. Akhirnya, ini menciptakan siklus tren baru, FOMO naik, konsumsi meningkat, dan begitu seterusnya.
Ambil contoh dari kehidupan sehari-hari. Bayangkan seorang remaja Gen Z bernama Mamat. Dia biasa pakai kaos polos dan jeans, tapi setelah lihat tren "outfit kalcer" di TikTok, dengan celana baggy dan segala perintilan yang menempel, dia langsung beli. Mengapa? Karena teman-temannya di kampus ikut, dan dia takut dikucilkan. Sekarang, Mamat pakai itu setiap hari, tapi dia merasa bosan. Ini logis, FOMO membuat mereka berpakaian untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Dan ini bukan kasus langka, banyak Gen Z mengalami ini. Mereka lebih fokus pada "apa yang viral" daripada "apa yang cocok denganku". Ini mengubah fashion dari ekspresi seni menjadi tugas sosial.
Untuk membuatnya lebih mudah dipahami, coba bayangkan analogi ini. TikTok sebagai kereta cepat di Jepang. Efisien, cepat, dan membawa Anda ke berbagai tujuan dalam sekejap. Gen Z naik kereta ini untuk tren fashion, tapi FOMO adalah tiketnya yang mahal. Jika Anda ketinggalan satu stasiun. misalnya, tren "casual" dengan jaket stoneisland yang mahal dan sepatu puma speed cat, rasanya seperti tertinggal kereta selanjutnya. Anda harus buru-buru beli tiket baru, yang berarti belanja impulsif. Bayangkan analogi lain, TikTok seperti supermarket raksasa, di mana semua produk fashion ditampilkan di rak depan. Gen Z push cart-nya, tapi FOMO membuat mereka ambil segala yang terlihat menarik, tanpa daftar belanja. Akibatnya, keranjang penuh barang yang tidak dibutuhkan, dan dompet kosong. Ini persis bagaimana tren mengubah cara berpakaian, dari berbelanja bijak, menjadi impulsif. Gen Z kini lebih konsumtif, dan ini bukan hanya tentang uang, tetapi ini tentang waktu dan energi yang terbuang untuk mengikuti sesuatu yang sementara.
Untuk dampaknya lebih luas daripada apa yang kita lihat sekarang. Tren fashion di TikTok melalui FOMO mengubah Gen Z dari generasi kreatif menjadi yang tertekan. Dulu, fashion adalah tentang subkultur. seperti punk dengan jaket kulit atau hippie dengan kaos tie-dye. Sekarang, ia dikendalikan oleh algoritma yang mendorong duplikasi. Gen Z merasa harus update outfit setiap bulan, yang berdampak pada kesehatan mental. Mereka merasa tertinggal jika tidak ikut, dan ini bisa berujung pada stres atau bahkan depresi ringan.
Semisal ada influencer unboxing belanjaan baru. Gen Z menonton ini dan langsung beli, karena FOMO membuat mereka takut ketinggalan. Ini mengubah cara berpakaian, dari sustainable, menjadi cepat rusak. Mereka pakai barang murah yang hancur dalam sebulan, lalu beli lagi. Ini buruk untuk lingkungan, tapi juga untuk dompet mereka. Di sisi positif, TikTok membuka akses untuk remaja dari daerah terpencil bisa viral dengan gaya lokal, seperti batik modern atau fashion etnik. Tapi risikonya besar yakni homogenisasi. Semua Gen Z terlihat sama, karena FOMO mendorong mereka ikut arus.
Saya juga melihat dampak sosial. Gen Z kini lebih terhubung, tapi kurang autentik. Mereka berpakaian untuk like, bukan untuk kenyamanan. Ini juga mengubah dinamika pertemanan. Teman-teman saling bandingkan outfit, dan siapa yang tidak ikut tren dianggap "outdated". Ini tekanan yang tak sehat, terutama untuk remaja yang sedang membentuk identitas. Bagaimana mereka bisa menemukan gaya pribadi jika selalu dikejar FOMO?
Untuk melawan ini, Gen Z perlu strategi. Pertama, batasi waktu di TikTok, jangan biarkan algoritma kontrol hidup. Kedua, Modifikasi outfit viral dengan sentuhan unik, seperti apa yang mencerminkan diri anda. Ketiga, fokus pada fashion berkelanjutan. Beli barang tahan lama, bukan murah. Keempat, bicara dengan teman tentang FOMO dan bagikan pengalaman agar tidak sendirian. Ini akan mengubah cara berpakaian dari impulsif, menjadi bermakna.