Kutulis surat ini di malam paling sunyi,
di saat luka kembali berdetak seperti jam rusak.
Setiap kalimat kubuat perlahan, hati ikut robek,
seakan setiap huruf adalah rindu yang tak pernah kau balik.
Besok akan kukirim surat itu,
bersama air kebahagiaan yang sebenarnya adalah sisa tangisku.
Aku pura-pura kuat agar dunia tak bertanya,
padahal separuh jiwaku runtuh setiap mengingat namamu.
Aku berharap engkau mengerti,
bahwa aku menulis ini sambil menahan gemetar.
Bahwa cintaku bukan sekadar ingin dimengerti
tapi ingin kau lihat betapa aku hancur memendam sendiri.
Supaya engkau paham,
bahwa aku menunggumu bukan sehari dua hari.
Aku menunggu sampai malam kehabisan hujan,
sampai hatiku sendiri takut dengan kesepiannya.
Walaupun cinta ini akhirnya menjadi air mata,
aku tetap merawatnya seperti luka yang tak bisa sembuh.
Setiap tetesnya jatuh membawa namamu,
dan aku tak bisa menghentikannya, walau aku sudah terlalu lelah.
Aku kirim surat itu bukan karena ingin dikenang,
tapi karena aku tak sanggup menyimpannya sendirian.
Jika hati ini terus kupendam tanpa kau tahu,
aku takut suatu hari ia pecah tanpa suara.
Dan kan kujaga cinta ini bersama mendung dan hujan,
meski hujan kadang terasa seperti ejekan takdir.
Jika suatu saat engkau membaca surat yang basah ini,
ketahuilah: aku pernah mencintaimu sampai aku sendiri tak sanggup lagi bernapas.