Maafkan aku, Bunda...
Aku tak kuat mengejar mimpi
yang sejak kecil kupeluk sendiri.
Setiap langkah terasa berat,
kemiskinan seperti tangan gelap
yang menarikku jatuh berulang kali.
Cinta yang ingin kuperjuangkan
perlahan mati tanpa kuberikan.
Bukan karena hatiku tak ingin,
tapi hidup sebagai anak yatim
sering menuntutku memilih---
antara lapar... atau harapan yang hilang lagi.
Namun dalam segala kekurangan,
kau tetap tersenyum menenangkan.
Senyummu yang penuh luka
mengajariku menerima dunia.
Bunda...
Jika dunia menutup pintu untukku,
jika setiap cita berdarah di bahuku,
aku rela jadi anak miskin yang terluka
asal mataku masih bisa melihatmu.
Bunda...
Jika suatu hari lapar membunuhku,
biarkan aku pergi tanpa tangis siapa pun,
sebab lebih baik aku mati sebagai yatim
daripada hidup jauh dari pelukanmu.
Kita makan dari sisa orang lain,
namun engkau selalu berkata, "Tenang, Nak,
Allah tak pernah salah memberi jalan."
Tapi aku melihat jarimu gemetar,
aku tahu hatimu lebih lapar
daripada tubuhmu yang kau tutupi sabar.
Bunda...
Kadang aku ingin menyerah saja,
membiarkan malam menelan semua asa,
namun suaramu menahan langkahku,
mengikatku pada hidup yang berat itu.
Meski aku sering bertanya dalam jiwa,
"Kenapa kita harus menanggung ini semua?"
Bunda...
Jika aku pergi sebelum waktuku,
jangan salahkan dirimu,
aku hanya lelah jadi kuat tanpa siapa pun.
Dan bila nafasku habis di pangkuanmu,
itu sudah lebih dari surga bagiku.
Karena aku... aku tak sanggup hidup
di dunia yang tak memberiku ruang
untuk membahagiakanmu.
Maafkan aku, Bunda...
Bila aku tak bisa membawa cahaya,
bila aku hanya menjadi luka
yang bertahan sebentar di dunia.
Tapi ingatlah, Bunda...
Aku bangga menjadi anakmu---
meski miskin, meski lapar,
meski harus mati