Kaget rasanya kala mendengar berita bangunan tua di jalan Dago 124 terbakar. Bangunan tersebut memang dikabarkan sudah dijual oleh ahli waris pemilik lamanya. Sejak kecil hingga kini, bangunan itu tersebut penuh kesan, dan kenangan. Selain modelnya yang antik.
Orang tuaku tahun 1960 an pernah menyewa kamar kost di bangunan bagian belakang jalan Dago 124 , tentunya bersama aku dan kakak adik juga .Kami menyimpan koleksi album foto jadul saat tinggal di sayap belakang rumah itu.
Album fotonya beberapa bulan lalu , aku upload di Youtube.
Sebelumnya kubuat dulu slide show, buat kenangan, mumpung dokumentasinya masih ada. Simak di YouTubeku saja ya. Tadinya pakai lagu Cinta Sejati nya pernyanyi favoritku, kena teguran copyright. Jadinya, edit ulang, terpaksa pakai vokal suara sendiri, meski tidak pandai bernyanyi, yang penting musik latarnya lagu favoritku.
Tentang rumah itu, aku punya ikatan batin. Karena tahun 1966 , ibu ayah menyewa 2 buah kamar tidur , dan serambinya. Belakangan tahun 2017, aku berkunjung dan napak tilas, dua kamar itu itu sudah menjadi kamar kost kostan
Btw, maafkan kalau YouTubeku menggunakan nama mas srie. Sebetulnya maksudku tadinya pakai nama mamasrie . Hanya kok kesannya emak emak banget. Jadi berubah mas srie. Nah, akun blog kompasianaku mamasrie, jadi mas rierie. Sebetulnya , maksudnya mama (emak emak) sri.
Pemilik rumah tua tersebut , saat kami menyewa, adalah Pak Kadir. Ibuku kenal baik dengan mereka, bahkan setelah ibu pindah rumah ke Gandok, dan akhirnya pindah ke rumah dinas di jalan Progo Kota Bandung.
Masih terbayang kehidupan ibu ayah yang cukup prihatin karena belum punya rumah. Serambi depan kamar di pasang kerai bambu, fungsinya menjadi dapur. Serambi menjadi dapur sekaligus ruang makan dan ruang tamu.
Halaman dan kebun super luas menjadi tempat kami bertumbuh bahagia di masa kecil, meski itu halaman pemilik rumah. Kami hanya menyewa 2 kamar tidur saja di sayap pavilyun belakang rumah tersebut. Sampai tahun 1968 an kami menyewa kamar tersebut.
Ada kolam ikan tempatku pernah tercebur ke dalamnya gegara menangkapi kecebong. Di depan serambi kamar sewaan kami.
Kadang aku suka ikut ibuku sowan ke rumah utama, mengobrol dengan Ibu Kadir. Tapi kok kami lebih suka menyapanya sebagai Ibu Wawan, mungkin karena Ibu Kadir adalah ibunya Wawan, putra buingsu mereka. Jika jelang malam, beruntung bisa ikujt nonton televisi. Tahun 60 an televisi tergolong barang langka dan mewah. Juga kulkas.
Nah ibuku suka bikin es krim alpukat, untuk membekukannya , menumpang di kulkasnya Ibu Kadir. Cerita ibu, ibu Kadir sangat baik. Dulu mobilnya VW kodok . Masih kecil , beberapa kali menumpang.
Halaman super luas jadi favorit kami, dua kakak perempuanku suka berguling-guling sambil koprol di halaman luas itu. Banyak pohon cemara, pinus, kemboja, bunga sepatu. Kadang kami memulungi bunga kemboja putih yang terserak indah.
Kadang di hari minggu kami naik kuda yang suka lewat di pinggir jalan depan. Ibuku yang belum selesai kuliahnya, suka mengajak kami anak-anaknya ke kampus. Ibu praktikum di lab farmasi ITB , kami bermain di kebun dan halaman kampus.
Lucunya kalau ke kampus, ibu suka potong jalan. Menyeberang dulu dari jalan Dago 124, ke satu rumah sahabatnya, Ibu Emi Abu Kasan. Ibu Emi ini kakaknya Bawono Yodo , suami artis lawas Tetty Kadi. Nah. Di halaman belakang rumahnya, ada sebidang kebun dan selokan.
Biasanya ibu menggendong kami menyeberangoi selokan, tada, sudah masuk kampus ITB. Rasanya sangat gembira kala itu bisa berlarian di halaman kampus, sambil memetiki bunga, untuk dibawa pulang, main masak masakan.
Ibu masih sering berkutat dengan urusan kampus, padahal anaknya sudah 4 orang. Kadang belajar bareng ibu Saraswati Suhardjo , sahanbat sekelasnya, sampai jauh malam.
Rumah ini penuh kenangan, ketika ayahku bertugas ke Belanda, kami tinggal bersama ibu saja dan 2 pembantu, serta nenek dari pihak ayah.
Setiap pagi adalah masa masa yang indah. Melihat kabut dan embun, bunga-bunga merekah. Burung-burung berkicau. Sering ketemu bayi burung yang jatuh .
Biasanya di teras rumah induk yang bergaya arsitektur Belanda itu sudah ada roti tawar. Pemilik rumah utama berlangganan roti tawar setiap pagi. Juga ada pengantar susu segar.
Ah, banyak sekali kenangan terukir di rumah tersebut, meski kami hanya penyewa kamar kost.
Ternyata, aku juga sudah menyimpan rekaman cerita masa silam jalan Dago di Kompasiana, dengan bahasa yang cupu. Tahun 2013 kalau tidak salah, menulisnya kurang fokus. Super panjang. Waktu baru memulai ngeblog di Kompasiana. Dan hanya bisa menulis di sisa sisa waktu saja.
nah Tulisan lawas itu ada di sini , MASA SILAM DI BANDUNG (2) JALAN DAGO...