Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Penulis

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Video

Pengunjung Berebut "Gunungan" di Halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta

5 September 2025   21:21 Diperbarui: 5 September 2025   21:21 130 2 1

Pengunjung Berebut "Gunungan" di Halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta


Acara puncak sekatenan di Yogyakarta adalah "membagikan" Gunungan yang ditempatkan di halaman masjid Gede Kauman, Yogyakarta. Lokasi masjid tidak jauh dari Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.

Pengunjung menanti bagian gunungan (dokpri)
Pengunjung menanti bagian gunungan (dokpri)

Arak-arakan prajurit Keraton Yogyakarta mengiringi Gunungan yang berjumlah delapan buah. Setiap Gunungan memiliki nama. Kemudian, setiap Gunungan akan ditujukan atau diarahkan ke mana, sudah ada ketentuannya.

Panitia mengumumkan di halaman masjid Gede Kauman bahwa hanya beberapa saja Gunungan yang isinya akan dibagikan kepada para pengunjung.

Sejak pagi, sebelum pukul 08.00 WIB (5/9/25) sudah banyak pengunjung yang memenuhi tepi halaman masjid Gede Kauman. Mereka rela duduk di pinggir bangunan dengan menggelar tikar atau duduk tanpa alas apa pun.

Dari dialog dengan beberapa pengunjung, terbukti bahwa asal daerah mereka bervariasi. Bukan hanya warga Yogyakarta. Ada warga dari Wonosobo, Magelang, dan kota-kota lain di Jawa Tengah.     

Tradisi Grebeg Setahun Tiga kali

Tradisi Gunungan yang dibagikan kepada masyarakat dalam satu tahun dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama, pada saat Idul Fitri, yaitu pada tanggal 1 Syawal. Acara tersebut terkenal dengan istilah Grebeg Syawal.

Kedua, Grebeg Besar yang dilaksanakan pada saat Idul Adha. Ketiga, Grebeg Maulud, dilaksanakan pada saat memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW.

Pada setiap acara Grebeg, selalu ada Gunungan yang diarak. Gunungan adalah sekumpulan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung (berbentuk kerucut) atau seperti bentuk tumpeng berukuran besar. Selain hasil bumi, ada makanan berupa wajik (terbuat dari ketan) yang ikut disusun dalam Gunungan.

Gunungan diusung dari Keraton Yogyakarta menuju masjid Gede Kauman. Iring-iringan Gunungan diikuti oleh prajurit yang sebagian kelompoknya (peletonnya) ada yang membawa bunyi-bunyian seperti drum band.

Para prajurit sebagian membawa tombak yang cukup panjang. Setiap kelompok atau peleton menggunakan pakaian seragam yang berbeda-beda. Berbeda peleton berbeda pula seragam yang dikenakan. Ada nama-nama khusus setiap barisan (peleton).

Berangkat Pagi-Pagi demi Menyaksikan Gunungan

Sebelum pukul 06.00 WIB saya sudah berada di stasiun kereta api (KA) Klaten. Dari rumah ibunda di Dukuh Ketinggen, Desa Karanglo, Kecamatan Klaten Selatan, saya menaiki mobil yang dipesan secara daring.

Biaya atau ongkos realtif terjangkau, yaitu Rp 13.500 (tiga belas ribu lima ratus rupiah). Jarak dari rumah ibunda ke stasiun Klaten sekitar empat kilometer.

Setelah tiba di stasiun KA Klaten, saya segera ikut antre untuk naik KRL Commuterline jurusan Solo-Yogyakarta. Biaya atau tarif KRL sebesar Rp 8.000 (delapan ribu rupiah). Turun di stasiun mana pun (sebelum stasiun terakhir/stasiun Tugu Yogya) biaya sama.

Tiba di stasiun KA Tugu Yogyakarta, saya segera keluar untuk selanjutnya berjalan kaki menuju arah selatan. Saya memang berencana jalan kaki sejauh kurang lebih tiga kilometer dari stasiun KA Tugu menuju masjid Gede Kauman. 

Namun, beberapa kali saya berhenti untuk sekadar berswafoto di tempat-tempat yang saya inginkan. Pertama, saya berswafoto di dekat papan nama bertuliskan Jalan Maliboro.

Berswafoto dekat tulisan Jalan Malioboro (dokpri)
Berswafoto dekat tulisan Jalan Malioboro (dokpri)

Berkunjung ke Yogyakarta belum resmi atau belum sah rasanya jika belum berfoto di dekat tulisan Jalan Malioboro. Saya tidak menghiraukan orang yang berada di belakang saya. Tidak mungkin saya menyuruh mereka menepi atau minggir. Biarlah wajah mereka terikut dalam gambar yang saya abadikan.

Selesai berswafoto saya melanjutkan perjalanan (tetap dengan berjalan kaki). Keringat mulai membasahi badan. Kaos dalam (singlet) terasa basah. Meskipun demikian, saya tetap melangkah. 

Ada satu tujuan yang sudah saya rencanakan sebagai tempat persinggahan. Ya. Saya perlu singgah untuk mencari sarapan. Meskipun dari rumah saya sudah menyantap satu bungkus bubur nasi hangat, rasanya belum kenyang.

Energi telah banyak berkurang sejak berangkat dari stasiun Klaten. Apalagi, saya berdiri agak lama di dalam KRL. Tenaga benar-benar sudah banyak digunakan.

Tiba di samping Pasar Beringharjo saya memilih tempat makan yang agak nyaman. Sebuah warung yang menjual nasi gudeg saya pilih. Ada gerobak berisi makanan yang dijual.

Sarapan nasi gudeg (dokpri)
Sarapan nasi gudeg (dokpri)

Satu porsi nasi gudeg pun saya pesan. Untuk minuman-- seperti biasa-- saya memesan minuman teh panas manis. Dalam sekejap hidangan yang saya pesan ludes. Saya tidak bisa berlama-lama karena pembeli lain sudah antre untuk makan. Sementara, tempat duduk sangat terbatas.

Berapa harus saya bayar? Untuk satu porsi nasi gudeg plus sayur krecek dengan lauk satu butir telur rebus, saya diminta membayar Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah). Itu sudah termasuk harga segelas minuman teh panas manis.

Mengeringkan Keringat

Keringat di tubuh kian membanjir. Minuman teh panas manis telah menambah suhu badan meningkat. Peluh bertambah banyak keluar dari dalam tubuh. Saya perlu beristirahat sejenak di bangku yang kosong dekat Titik Nol Yogyakarta.

Berswafoto di Titik Nol Yogyakarta (dokpri)
Berswafoto di Titik Nol Yogyakarta (dokpri)

Keadaan sekitar tempat saya duduk cukup ramai. Sinar matahari pagi tidak dihiraukan oleh pengunjung atau wisatawan. Mereka cukup santai berswafoto atau berfoto bersama dengan latar kantor bank BNI, Kantor Besar Pos Indonesia, dan papan penunjuk arah. Papan penunjuk arah itu meliputi beberapa tujuan. Ada papan penunjuk ke Keraton Yogyakarta dan ke tempat-tempat lain. 

Ada papan penunjuk arah ke Pasar Beringharjo (260 m). Ada papan penunjuk arah ke Taman Parkir Ngabean (1 km). Ada pula papan penunjuk arah ke Benteng Vredeburg yang hanya 150 meter dari Titik Nol Yogyakarta tersebut.

Suasana pagi yang hangat itu memang cukup ramai. Kendaraan roda dua, roda tiga, dan roda empat yang lewat tiada henti. Demikian pula para pejalan kaki. Dengan santai mereka melangkah ke berbagai arah.

Terlanjur Masuk Halaman masjid, Tidak Bisa Keluar

Satu kebutuhan yang tidak dapat saya tunda adalah buang air kecil. Saya tidak dapat menunda terlalu lama. Untuk itu, saya segera menuju masjid Gede Kauman agar dapat ke toilet.

Pada saat saya berjalan menuju ke sana keadaan masih normal. Para pengunjung bebas keluar masuk halaman masjid. Saya agak lama berada di toilet. Selain buang air kecil, saya juga buang air besar sehingga perlu waktu agak lama.

Pada saat saya kembali ke halaman masjid Gede, ternyata pengunjung atau wisatawan sudah diminta menepi. Ada tali pembatas dipasang. Tampak petugas berjaga-jaga di dekat tali pembatas. Bagian tengah halaman dikosongkan. Di sanalah nanti Gunungan akan diletakkan.

Saya merasa terkurung. Keinginan saya untuk menyaksikan iring-iringan prajurit yang di antaranya ada pasukan gajah terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Tidak mungkin pasukan gajah akan dibawa masuk ke halaman masjid. Pasukan gajah hanya akan melewati jalan di luar halaman masjid. Hanya pasukan atau prajurit Keraton Yogyakarta yang akan memasuki halaman masjid.

Sebenarnya saya bisa saja keluar halaman masjid tetapi tentu tidak dapat masuk lagi. Pintu sudah ditutup, kecuali pintu untuk lewat iring-iringan Gunungan.

Panitia mengumumkan bahwa Gunungan akan dibagikan di halaman masjid itu. Jika saya keluar dari halaman masjid, tentu tidak dapat menyaksikan prosesi Gunungan dibagi-bagikan. Kalau sudah keluar halaman masjid, tentu tidak boleh masuk lagi. Penjagaan cukup ketat. 

Pengunjung Tidak sabar Mendapatkan Bagian

Pada praktiknya, petugas yang membagikan Gunungan tidak sebanding dengan jumlah pengunjung yang memadati pada sisi utara dan selatan halaman masjid.

Akibatnya, pengunjung tidak sabar. Mereka berlari menuju Gunungan berada. Petugas yang berjumlah terbatas tidak sanggup menghalau pengunjung yang mulai antusias untuk mendapatkan bagian dari Gunungan itu. Ada bilah-bilah bambu yang di ujungnya ada makanan wajik. Bagian dari Gunungan seperti itu yang sempat saya saksikan dari pengunjung yang sudah berhasil mendapatkan bagian.

Terik matahari tidak menghalngi para pemburu Gunungan. Saya pribadi cukup menyaksikan dan merekam suasana yang terjadi di sana. Tidak ada niat sedikit pun untuk mendapatkan bagian dari Gunungan. Saya tidak tahu apa manfaat dari Gunungan itu.

Ditulis di Klaten, 5 September 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5