Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Kisah Omjay atau Wijaya Kusumah kali ini tentang Tangis yang Tak Terdengar dari Ujung Barat Negeri. Ketika Aceh, Medan, dan Sumatera Barat Mengajarkan Kita Arti Kemanusiaan. Atisa cucu kakeknya sedang asyik naik ke punggung keponakan yang sayang kepadanya. Sementara anak lainnya mungkin sedang bersedih di tempat penampungan warga yang terkenal bencana.
Pagi itu, bulan Desember sebuah video singkat menghentikan langkah banyak orang. Layar gawai menampilkan puing-puing rumah, tangisan anak kecil yang kehilangan pelukan ibunya, dan wajah-wajah lelah yang mencoba tegar di tengah duka.
https://www.youtube.com/live/hm3vNGN-kaM?si=LJKrpLEY1zoZixGA
Video itu bukan rekayasa. Ia nyata. Ia datang dari Aceh, Medan di Sumatera Utara, dan Sumatera Barat---tiga wilayah yang kembali diuji oleh musibah.
Tidak ada teriakan, tidak ada drama berlebihan. Justru kesunyian itulah yang paling menyakitkan. Kesunyian orang-orang yang kehilangan rumah, sanak saudara, dan harapan, namun tetap berdiri karena hidup harus terus berjalan.
Aceh kembali berduka. Negeri yang pernah luluh lantak oleh tsunami kini kembali diuji dengan bencana alam yang merenggut rasa aman warganya.
Rumah-rumah yang dibangun bertahun-tahun runtuh dalam hitungan menit. Anak-anak kehilangan tempat bermain, orang tua kehilangan mata pencaharian, dan banyak keluarga kehilangan anggota tercinta.
Lalu Di Medan, Sumatera Utara, kisahnya tak jauh berbeda. Hujan yang tak kunjung reda, banjir yang datang tanpa ampun, dan longsor yang menyapu pemukiman warga.
Banyak yang hanya sempat menyelamatkan diri dengan pakaian di badan. Harta benda, ijazah, kenangan indah semuanya hanyut bersama arus.
Hingga Sumatera Barat pun tak luput dari derita. Daerah yang dikenal dengan keindahan alam dan kekuatan adatnya kini harus menelan pil pahit.
Jalan terputus, rumah roboh, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Di balik keindahan alamnya, tersimpan air mata yang tak sempat ditangiskan.
Dan hal yang paling menyayat hati bukan hanya kerusakan fisik, tetapi ketidakpastian hidup setelah bencana.
"Besok kami makan apa?"
"Anak saya sekolah di mana?"
"Apakah rumah ini masih bisa diperbaiki?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana bagi kita yang aman di rumah, namun bagi mereka adalah soal hidup dan mati.
Ironisnya, di saat para korban bertahan dengan seadanya, dunia kita terus berputar. Timeline media sosial bergerak cepat.
Berita bencana hari ini bisa tenggelam oleh hiburan esok pagi. Padahal, penderitaan mereka tidak ikut tenggelam.

Di sinilah peran kemanusiaan diuji.
Komunitas penulis, termasuk para penulis hebat di KBMN PGRI, sejatinya tidak hanya menulis kata-kata indah, tetapi juga memiliki nurani yang hidup.
Pena bukan sekadar alat berkarya, melainkan jembatan empati. Kata-kata bisa menjadi doa. Tulisan bisa menjadi ajakan. Dan solidaritas bisa menjadi pertolongan nyata.
Kami ikut serta mengumpulkan dana kemanusiaan. Hal itu bukan soal besar atau kecilnya nominal. Bukan tentang siapa paling dermawan. Ini tentang kepedulian kolektif.
Tentang membuktikan bahwa para korban tidak sendirian. Bahwa di luar sana, ada saudara-saudara yang peduli, meski tak pernah saling mengenal.
Seribu rupiah mungkin tidak berarti bagi kita, tetapi bagi mereka bisa menjadi sebungkus nasi. Sepuluh ribu rupiah bisa menjadi obat. Seratus ribu rupiah bisa menjadi selimut hangat di malam pengungsian. Yang lebih mahal dari uang adalah rasa diperhatikan.
Bencana alam memang tidak memilih korban. Ia datang tanpa izin. Namun kepedulian selalu bisa kita pilih. Kita bisa memilih untuk menutup mata, atau memilih untuk membuka hati.
Tulisan kisah Omjay ini bukan untuk mengeksploitasi kesedihan. Bukan pula untuk mencari simpati murahan.
Artikel kisah Omjay ini adalah undangan sunyi bagi hati-hati yang masih berdenyut rasa kemanusiaannya. Kami ikut merasakan empati dan merasakan derita saudara kita.
Mari kita bantu Aceh.
Mari kita ulurkan tangan untuk Medan.
Mari kita kuatkan Sumatera Barat.
Jika tidak bisa datang langsung, doa dan donasi adalah langkah nyata. Jika tidak besar, biarlah ikhlas. Jika hanya sedikit, biarlah tulus. Karena dalam musibah, yang dibutuhkan bukan jumlah, melainkan kebersamaan.
Semoga dari tangan-tangan para penulis, guru, dan pembaca yang peduli, lahir harapan baru bagi mereka yang hari ini masih berjuang di tenda-tenda pengungsian.
Karena sejatinya, kemanusiaan adalah karya paling indah yang bisa kita tulis bersama. Mulailah dengan kata dan kemudian tindakan nyata. Mari kita bantu saudara kita di Sumatera.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com
