Dua tahun lalu mata saya tak berkedip menyaksikan hutan mangrove hijau di Karangsong. Saya tidak hanya takjub dengan keindahannya tapi kisah perjuangan mereka yang menjaga keanekaragaman hayati dengan menghijaukan hutan mangrove yang nyaris hilang tergerus air laut. Sejak tahun 1938, Sungai Cimanuk dibelokan ke arah Waledan-Lamarantarung membuat Karangsong mengalami abrasi.
Melalui program CSR bekelanjutan sebuah perusahaan bidang energi, kini Karangsong kini tak hanya menghijau tapi menjadi produktif dan salah satu destinasi wisata andalan kota Indramayu. Melalui rumah Rukari (Rumah Berdikari) beragam produk olahan tumbuhan mangrove, seperti Jackie Gold, minuman segar yang berasal dari buah pidada atau kecap yang terbuat kacang kerandang serta peyek gurih dari daun wrakas. Jika dihitung ada sekitar 20 jenis makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan mangrove. Itu belum termasuk kerajinan apik yang dari dahan tumbuhan mangrove yang patah dan jatuh alami.
“Sengaja kami membuat aneka produk dari tumbuhan mangrove agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan”, ujar Abdul Latief, pria paruh baya yang dikenal sebagai pejuang mangrove.
Dari bangunan sederhana berukuran 7 x 13 meter, Abdul Latief mendapat banyak inspirasi tentang hutan Mangrove. Ia berharap masyarakat yang biasa menebang hutan mangrove untuk dimanfaatkan kayunya memiliki kemampuan mengolah makanan dan minuman dari tumbahan mangrove. Dari sini mereka berpikir jika menginginkan bahan baku lebih maka harus menanam tumbuhan lebih banyak dan menjaga mangrove.
Tidak mengherankan kini luas mangrove di Karangsong menjadi 69 hektar dengan 23 jenis tumbuhan. Ternyata dengan membaiknya ekosistem, mangrove Karangsong menjadi tempat persinggahan burung-burung migrasi. Tercatat sekitar 37 jenis burung menempati hutan mangrove dan menjadikannya sebagai rumah sementara yang pada akhirnya memperkaya keanekaragaman hayati.
Keprihatinan Hutan Mangrove
Sejak tujuh tahun lalu mutasi kerja di Batam, saya semakin dengan laut dan pulau. Kebetulan salah satu tugas saya menginpeksi pipa bawah laut dan fasilitasnya di Kepulauan Riau. Saya prihatin dengan banyaknya hutan mangrove meranggas akibat pembalakan liar. Bagaimana dengan generasi mendatang jika semua hutan di propinsi kepulauan menghilang.
Tidak mudah bagi saya, seorang pendatang untuk melakukan edukasi kepada warga betapa pentingnya pelestarian lingkungan. Karena jika mangrove rusak, tidak hanya tumbuhan mangrove yang punah tapi juga biota laut yang ada di dalamnya. Jika hal ini terjadi terus menerus maka bumi akan kehilangan keanekaragaman hayati.
Setelah berkomunikasi dengan teman-teman di departemen CSR tepat saya bekerja, akhirnya kami bersepakat untuk membuat program budidaya dan pemanfaatan mangrove.
Program ini ditautkan dengan penanaman mangrove di Pantai Ketapang, Teluk Sepaku bersama masyarakat peduli mangrove KBR – Karya Bersinar di bulan Februari 2019. Program dilanjutkan dengan pelatihan dan budidaya tanggal 28 dan 29 Agustus 2019 dengan mengundang Abdul Latief sebagai trainer.
Pelatihan Budidaya Mangrove Pulau Buluh
Hari yang dinanti itu tiba, pejuang mangrove Abdul Latief datang ke pulau Buluh yang berjarak 1 kilometer dari Batam. Saya tidak pernah menyangka antusias warga mengikuti pelatihan ini begitu besar.
Sebelum pelatihan dimulai peserta diajak menyusuri hutan mangrove di Pantai Ketapang untuk mengenal aneka tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai produk olahan.
Kapal yang kami tumpangi merapat di salah satu sisi pantai, dengan cekatan Abdul Latief memungutip buah pidada.
“Buah ini hanya bisa masak ketika sudah jatuh ke tanah”, ujarnya seraya menunjukan buah berkelopak lima.
Sonneratia caseolaris atau pidada salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling mudah ditemukan di pantai pesisir Indonesia. Bentuknya hampir mirip buah delima dengan kelopak besar mencuat di bawahnya. Rasa kelat dan asam membuat buah ini tidak terlalu diminati untuk dikonsumsi langsung.
“Wah sayang di sini nggak ada daun api-api lanang (Avicennia marina), kalau ada kita bisa buat urap. Tapi nggak apa nanti kita buat peyek dari ini”, Abdul Latief mengutip beberapa pucuk daun api-api.
“Beberapa species tumbuhan mangrove di sini berbeda dengan yang ada kampung saya tapi tetap mangrove di sini bisa dimanfaatkan”, urai Abdul Latief.
Bagai anak-anak yang akan bermain masak-masakan, kami kembali ke pulau buluh dengan aneka buah dan daun tumbuhan mangrove.
Sesi pertama, Abdul Latief mengajarkan bagaimana membuat peyek dari tumbuhan mangrove. Pucuk muda daun api-api yang sudah dicuci dibalurkan ke dalam adonan tepung dan telur yang sudah dibumbui lalu digoreng. Cara pembuatannya tidak berbeda jauh dengan cara membuat peyek kacang atau kedelai.
Berikutnya buah Rhizophora yang kaya akan zat tepung direbus di air panas. Setelah direndam air panas dan kulitnya dikupas maka buah ini dapat dimanfaatkan untuk membuat tape dan kek.
“Rhizophora mucronata ini memiliki antikosidan tinggi, buah ini dapat digunakan untuk obat liver”, jelas Abdul Latief sembari menguliti buah kehijauan berbentuk panjang.
Selain membaca selera pasar, Abdul Latief juga menjelaskan kepada warga bahwa packaging adalah hal yang penting dari pemasaran produk. Beliau berkisah bagaimana peyek daun api-apinya bisa laris hingga seribu kantung setelah berganti desain.
Produk olahan mangrove kini tersaji di atas meja, ternyata tidak sulit membuatnya. Warga pulau tidak menyangka bahwa hutan mangrove bisa memberikan manfaat lebih dari yang mereka kira. Bayangkan jika produk ini dijual, bukan hanya laut yang menjadi sumber kehidupan tapi juga mangrove.
“Bu jangan lupa, besok datang lebih pagi lagi. Agar lebih banyak yang dapat kita buat”, Abdul Latief menutup sesi pelatihan hari ini.
Wajah-wajah sumringah itu pulang dengan sebuah harapan, esok bisa belajar membuat beragam olahan mangrove.
Bagai energi baik, Impian Abdul Latief 19 tahun lalu untuk memulihkan ekosistem mangrove di kampungnya kini menyebar hingga ke Kepulauan Riau.
#DanoneDigitalAcademy
#Danonedigitalacademy2021