Ikrom Zain
Ikrom Zain Tutor

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Video Artikel Utama

Jalan Kaki dari Simpang Lima ke Stasiun Tawang, Penutup Akhir Tahun yang Menyedihkan di Kota Semarang

2 Januari 2023   09:47 Diperbarui: 2 Januari 2023   11:10 5383 24 15


Saya tidak akan pernah melupakan akhir tahun 2022 kemarin. Betapa tidak, rencana menutup tahun baru dengan liburan manis dan sampai ke kota tujuan dengan tepat waktu akhirnya gagal. 

Pasalnya, kereta api yang saya naiki dari Semarang harus terlambat beberapa jam. Itu pun saya harus melewati berbagai rintangan sebelum sampai di Stasiun Tawang. 

Semua bermula pada Sabtu (31/12/2022) dini hari. Hujan turun amat deras di Kota Semarang. Saya menikmati tidur malam menjelang subuh dan berharap hujan akan reda ketika matahari terbit. Sama dengan apa yang terjadi hari sebelumnya. 

Kondisi jalanan Semarang saat banjir. - Dokumentasi pribadi
Kondisi jalanan Semarang saat banjir. - Dokumentasi pribadi

Hujan ternyata tak reda hingga subuh dan matahari terbit. Bahkan, air yang turun semakin deras. Begitu pula dengan angin kencang dan petir yang menyambar. Beberapa tamu yang ada di penginapan yang saya singgahi mulai was-was. Beberapa diantara mereka ada yang harus segera ke stasiun saat itu juga dan ada yang berencana jalan-jalan ke sekitar Bandungan. 

Namun, jangankan keluar ke jalan raya, keluar dari penginapan saja susah karena air mulai merendam jalan kompleks tempat penginapan tersebut. Kebetulan, penginapan saya berada di belakang Mall Simpang Lima yang memang langganan banjir. Waktu pun terus berputar. Saya sudah punya firasat buruk bahwa Stasiun Tawang akan banjir. 

Pesan kepada PT KAI pun saya kirim sejak pukul 6 pagi. Saya menanyakan kondisi stasiun Tawang dan perjalanan kereta api saat itu. Apakah normal atau ada kendala. Sejam belum juga dibalas.

Pada pukul 8 pagi, saya kembali mengirim pesan dan tak jua dibalas. Padahal, kereta Ambarawa Ekspres yang saya naiki sedianya akan berangkat pukul 12 siang. Mereka baru membalas pesan saya sekitar pukul 9 pagi lebih beberapa menit. 

Dalam pesan tersebut, perjalanan kereta api tidak mengalami masalah. Hanya saja, akses menuju Stasiun Tawang banjir sehingga penumpang diimbau untuk datang lebih awal. 

Pesan pada KAI. - Dokumentasi pribadi
Pesan pada KAI. - Dokumentasi pribadi

Membaca pesan tersebut, saya pun bergegas keluar penginapan. Tujuan yang saya tuju pertama kali adalah Halte BRT di Simpang Lima. Namun, semua bus Trans Semarang sudah tak beroperasi karena tidak memungkinkan untuk jalan. 

Genangan air di Simpang Lima saat itu sudah sangat tinggi. Banyak pemotor yang jatuh dan ditolong petugas kepolisian yang berjaga. Saya pun mencoba mengorder taksi dan ojek online tetapi gagal. Tak satu pun driver yang merespon pesanan saya. 

Akhirnya, saya memutuskan untuk berjalan kaki dari Simpang Lima ke Stasiun Tawang. Seorang polisi pun menyarankan saya hal yang sama. Ia meminta saya berhati-hati dan meminta bantuan petugas jika kesulitan berjalan. 

Entah dari polisi, TNI, BPBD, atau siapapun pokoknya jika menemukan arus sungai yang mengalir sebaiknya segera meminta pertolongan. 

Saya pun berjalan kaki pelan-pelan sambil membawa barang bawaan yang banyak dari Simpang Lima. Rute yang saya lalui adalah Jalan Gajah Mada, Jalan Pemuda, Pasar Johar, Kota Lama, dan berakhir di berakhir di Stasiun Semarang Tawang. Sepanjang perjalanan, saya mengoptimalkan trotoar jalan yang lebih tinggi dibandingkan jalan raya. 

Rute yang saya naiki. - Dokumentasi pribadi
Rute yang saya naiki. - Dokumentasi pribadi

Keputusan saya tepat karena air menggenangi jalan raya setinggi lutut di Jalan Gajah Mada. Padahal, jalan ini menjadi salah satu jalan penting di Semarang karena berdiri banyak hotel berbintang. 

Beberapa tamu hotel juga tampak kebingungan karena mobil yang akan mereka naiki kesusahan keluar hotel. Pun demikian dengan para ojol yang bingung mencari akses masuk hotel saat para tamu memesan makanan. 

Banyak motor yang mogok. - Dokumentasi pribadi
Banyak motor yang mogok. - Dokumentasi pribadi

Ada seorang driver ojol yang sudah hampir sejam duduk di dekat trotoar karena mesinnya mogok terkena banjir. Padahal, ia harus mengantarkan makanan di sebuah hotel di sana. 

Saya pun terus berjalan menuju Jalan Pemuda. Di sini banjir semakin parah. Bus-bus Trans Semarang berjajar di perempatan jalan tak bisa lewat. Beberapa mobil juga harus menepi dengan sopir dan penumpangnya yang mukanya kusut. Belasan pengendara motor bersusah payah mengetrap mesin motornya yang mogok. Hari itu Semarang benar-benar lumpuh. 

Saya melanjutkan perjalanan menuju Pasar Johar. Kondisi di sana semakin parah karena ada sungai yang mengalir di sisi utara pasar tersebut. Beberapa pedagang mencoba menyelamatkan dagangan mereka. Saya takjub melihat baju-baju yang dijual basah kuyup dan beberapa barang pecah belah juga terendam. 

Jalan di sini amat berbahaya karena airnya mengalir cukup deras. Saya pun mengikuti seorang pedagang yang akan pulang dengan berjalan kaki ke arah Kota Lama. Untung saja, saya bisa melewati sungai di sekitar Pasar Johar dengan selamat. 

Meski begitu, saat melewati Kota Lama, ujian sebenarnya baru dimulai. Air setinggi pinggang harus saya lalui. Kota Lama seperti Venezia. Saya tak sempat mengambil foto karena di pikiran saya adalah saya segera sampai. Saya juga mencari trotoar agar bisa lebih tinggi dari jalan. 

Namun, ketika sampai di persimpangan jalan, mau tak mau saya harus menenggelamkan diri menyeberang jalan yang sudah jadi sungai. Saya sempat hampir terjatuh dan terseret arus di sekitar Jalan Branjangan atau dekat dengan Gereja Blenduk. 

Untung saja, ada seorang anggota polisi yang sigap dan meminta saya berjalan kaki di belakangnya. Ia mengantarkan saya sampai Semarang Art Galery. Kota Lama saat itu bak kota mati. 

Dari bangunan ikonik menuju Stasiun Semarang Tawang adalah perjalanan paling berat. Lantaran, saya harus melewati jalan di sekitar polder atau kolam besar yang ada di stasiun dan dekat parkiran. Batas antara jalan dan polder tak begitu jelas. 

Saya takut kalau salah jalan dan saya bisa saja tenggelam di dalam polder. Lagi-lagi, saya diselamatkan oleh ibu pemilik warung yang meminta saya menuju warungnya. Dari warungnya, saya diminta berjalan mengikuti bollard atau pembatas jalan di trotoar. 

Bollard ini ternyata berfungsi sebagai penanda bahwa di sekitar benda itu adalah jalan. Padahal, biasanya saya misuh-misuh jika bertemu benda tersebut karena saya pikir bisa menghalangi jalan orang yang melintas.

Selain jatuh, saya takut kalau tiba-tiba ada ular, buaya, atau hewan melata lain tiba-tiba saja muncul di dekat saya. Wong di Surabaya saja saat perumahan saya banjir muncul nyambik atau biawak air. 

Saat tiba di Tawang stasiunnya tenggelam. - Dokumentasi pribadi
Saat tiba di Tawang stasiunnya tenggelam. - Dokumentasi pribadi

Akhirnya, saya sampai di pelataran Stasiun Tawang yang teenggelam dan disambut dengan ikan-ikan kecil dari polder yang keluar dari habitatnya. Saya segera duduk di kursi dan melihat update di emdia sosial. Dugaan saya benar, perjalanan kereta api sementara dihentikan. 

Saya melihat sekeliling tak ada kegiatan apapun di stasiun selain di loket costumer service. Mesin pencetak tiket tenggelam. Kios penjual makanan juga tenggelam. Saya pun mencari informasi ke penumpang lain dan mereka mengatakan bahwa ada desas-desus bahwa kereta tidak jalan.

Saya langsung lemas mengingat perjuangan jalan kaki tidak semudah membuka gerai es krim di ruko yang kosong. 

Kekacauan di loket CS. - Dokumentasi pribadi
Kekacauan di loket CS. - Dokumentasi pribadi

Bertanya pada petugas kebersihan juga saya lakukan dan mereka mengarahkan saya ke costumer service. Saya juga sempat bertanya kepada dua orang petugas di depan loket CS dan mereka juga tidak tahu. 

Saat saya bertanya ke CS, saya diminta menunggu dan ia tak tahu kapan kereta bisa jalan lagi. Waktu tunggu adalah 2 jam jika tidak bisa, maka tiket akan dikembalikan. Kondisi mulai panik. Para calon penumpang mulai datang. 

Mereka kepayahan masuk Stasiun Tawang dan mulai bimbang harus melakukan apa. Alasannya begini. Kalau perjalanan kereta dibatalkan, mereka akan kesulitan naik transportasi lain menuju kota tujuan. Jangankan mencari transportasi lain, keluar dari Stasiun Tawang saja rasanya mustahil. 

Namun, kalau menunggu di stasiun, sampai kapan ada kepastian? Situasi semakin kacau karena beberapa penumpang KA Ambarawa pagi yang gagal berangkat berebut mencari tiket KA Ambarawa siang sepeti yang akan saya naiki. 

Mereka ada ngotot agar bisa naik tanpa bayar lagi tetapi akhirnya harus menerima kenyataan membeli lagi. Ada juga desas-desus bahwa KA Ambarawa baru berangkat selepas maghrib. Saat kondisi masih kalut, penumpang KA Kamandakan tujuan Tegal dan Purwokerto bingung akan nasib mereka. 

Informasi demi informasi yang tidak jelas berseliweran. Saya kembali mengontak KAI melalui media sosial tetapi nihil. Semua panik, capai, dan lapar karena tak ada satu pun tempat makan yang buka. 

Beberapa orang mulai marah-marah di loket CS karena kesemerawutan ini. Saya jadi bertanya mengapa tidak ada petugas yang stand by di sekitar kerumunan penumpang melakukan update kondisi. Paling tidak, penumpang ditenangkan dan diberi kepastian apakah jalan atau tidak. Kalau seperti itu, penumpang akan was-was dengan nasib mereka. 

Untung saja, selepas pukul 12 siang, kami penumpang KA Ambarawa Ekspres tujuan Surabaya dipersilakan masuk melalui ruang VIP dan jembatan darurat. Kami check-in manual hanya menunjukkan tiket dan KTP.

Saat masuk, kondisi peron stasiun benar-benar parah. Air menenggelamkan kios di dalam stasiun setinggi 1 meter lebih. Barang penting dari kantor stasiun dikeluarkan begitu saja di peron. 

Penumpang masuk peron dengan jembatan darurat. - Dokumentasi pribadi
Penumpang masuk peron dengan jembatan darurat. - Dokumentasi pribadi

Untung saja, peron stasiun ini lebih tinggi dibandingkan ruang tunggu sehingga tidak tenggelam. Beberapa saat kemudian, KRD Kedung Sepur tiba di stasiun ini setelah tertahan lama di Stasiun Alastua. 

Lalu, KA Ambarawa Ekspres dari Surabaya datang dengan lokomotif khusus. Kereta ini yang akan saya naiki tetapi harus menuju Stasiun Poncol dulu untuk bergnati loko dan menurunkan penumpang. 

Akhirnya, setelah menunggu 3 jam lebih, saya bisa naik ke dalam kereta. Para penumpang langsung menyerbu kereta makan dan hanya menemukan mie instan. Pengalaman ini sangat berkesan dan bisa jadi pelajaran bahwa manajemen krisis saat bencana sangat penting. 

Kondisi ruang tunggu Stasiun Tawang. - Dokumentasi pribadi
Kondisi ruang tunggu Stasiun Tawang. - Dokumentasi pribadi

Kios makanan yang tenggelam. - Dokumentasi pribadi
Kios makanan yang tenggelam. - Dokumentasi pribadi

Barang-barang yang dikeluarkan. -Dokumentasi pribadi
Barang-barang yang dikeluarkan. -Dokumentasi pribadi

Pihak KAI harus mengevaluasi kejadian ini yang ternyata berdampak pada perjalanan KA lain. Daripada sibuk membuat branding dengan KA Panoramic yang tiketnya tak terjangkau, lebih baik mereka sibuk mengupayakan bagaimana Stasiun Tawang tidak lagi tenggelam. 

Entah meninggikan rel, memindahkan ruang tunggu dan boarding, atau yang paling ekstrem memindahkan stasiun. Apapun itu, keinginan para penumpang hanya satu yakni naik kereta api tepat waktu dan nyaman. 

Tidak hanya itu, informasi yang jelas kepada penumpang juga sangat penting agar penumpang tidak seperti bola pingpong yang bingung harus ke mana dan berbuat apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5