Ikrom Zain
Ikrom Zain Tutor

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Video Artikel Utama

Terengah dan Tergerus Zaman, Bus Hijau Surabaya-Mojokerto Nyaris Tinggal Kenangan

5 Juni 2024   08:50 Diperbarui: 13 Juni 2024   19:43 1822 13 3

Sopir bus hijau menjalankan armadanya. (Dokumentasi pribadi)
Sopir bus hijau menjalankan armadanya. (Dokumentasi pribadi)

Hari Rabu menjelang libur panjang menjadi hari yang melelahkan bagi saya.

Pasalnya, saya harus mengecek kesiapan bimbel yang saya kelola di daerah Krian, Sidoarjo. Hari itu saya hanya berdua dengan rekan kerja yang tinggal di daerah tersebut. Praktis, mobil jemputan yang biasanya mengantar saya tak bisa melakukan tugasnya karena harus mengantar tenaga pendidik lainnya.

Menjelang zuhur, segala persiapan usai. Saya harus kembali ke Surabaya untuk bertemu rekan di sebuah pusat perbelanjaan sebelum pulang ke Malang. Mulanya, saya ingin naik Trans Jatim Koridor 2 dari Terminal Krian menuju Dukuh Menanggal, Surabaya. 

Sejak perubahan pola BRT ini, praktis penumpang dari arah Krian atau Mojokerto harus transit di tempat tersebut jika ingin naik Suroboyo Bus. Mereka tak bisa lagi turun di Terminal Bungurasih.


Namun, saya berubah pikiran. Jarak tempat les ke Terminal Krian lumayan jauh sekitar 1 kilometer. Opsi naik ojek online juga saya hindari karena jaraknya yang nanggung. Saya pun berinisatif untuk naik bus hijau alias bus bumel relasi Surabaya-Mojokerto.

Bus ini memiliki rute yang hampir sama dengan bus Trans Jatim koridor 2. Bedanya, bus ini tak masuk Terminal Krian. Bus hijau ini juga mengakhiri perjalanan di Terminal Intermoda Joyoboyo (TIJ). 

Sementara, Trans Jatim koridor 2 mengakhiri perjalanan di bundaran Taman Pelangi. Bus tersebut putar balik ke arah selatan menuju Medaeng. Meski demikian, rute kedua bus ini sepanjang Taman-Krian-Balongbendo hingga Mojokerto sama persis dan beririsan.

Persamaan rute inilah yang sempat menimbulkan pro kontra dan friksi diantara keduanya. Beberapa bulan lalu, sempat ada insiden berupa aksi para sopir bus hijau yang memarkirkan kendaraannya sepanjang jalur Halte Dukuh Menanggal. Alhasil, para penumpang Trans Jatim koridor 2 yang akan transit ke Suroboyo Bus pun menjadi terhambat.

Bus yang berjalan pelan.(Dokumentasi pribadi)
Bus yang berjalan pelan.(Dokumentasi pribadi)

Makanya, saya ingin mengetahui bagaimana kondisi bus ini sekarang apakah memang semakin sepi atau masih ramai penumpang. Saya menunggu di dekat perempatan Pasar Baru Krian. Di sini memang menjadi tempat untuk menunggu bus hijau. Uniknya, di tempat ramai ini malah tidak ada halte Trans Jatim koridor 2. Halte terdekat adalah di Terminal Krian dan Klenteng Krian. Bisa jadi, tidak adanya halte di area tersebut untuk mengurangi friksi yang ada.

Saya harus menunggu sekitar 20 menit hingga ada bus yang tiba. Bus tersebut adalah bus milik PO Hilkmah Jaya tentunya dengan warna livery dominasi hijau tua denga cat yang sudah mulai kusam. Saya masuk dan di sana ternyata sudah ada sekitar 4 penumpang. Tiga diantara penumpang tersebut adalah anak sekolah dan seorang bapak tua.

Bus pun melaju pelan tetapi kemudian berhenti cukup lama di persimpangan Pasar Lama Krian yang juga menjadi tempat Terminal Krian berada. Saya hitung, ada kurang lebih 30 menit bus ini ngetem untuk menunggu penumpang. 

Sang sopir pun turun dan mulai ngopi sambil merokok. Jangan ditanyakan bagaimana hawa panas yang saya rasakan. Untung saja, saya sudah siap dengan air mineral dingin yang saya beli di minimarket sebelum naik bus.

Sepanjang waktu ngetem tersebut, hanya ada dua orang yang naik. Itu pun mereka kebanyakan warga sekitar Krian yang naik untuk jarak dekat. Bukan seperti saya yang naik hingga ke Surabaya. Artinya, mereka memang juga niat naik bus ini karena tidak ada halte Trans Jatim koridor 2 di sepanjang daerah rumah mereka. 

Bus Trans Jatim koridor 2 memang tidak memiliki halte sepanjang daerah Geluran hingga Taman. Padahal, konsentrasi para pekerja dan penduduk cukup banyak di sana. Banyak pabrik berskala besar terdapat di sana dan rata-rata mereka adalah pekerja dari luar wilayah tersebut.

Bangku bus yang kosong. (Dokumentasi pribadi)
Bangku bus yang kosong. (Dokumentasi pribadi)

Atas alasan itu, bus hijau ini masih dibutuhkan karena masih dapat menjangkau wilayah yang tidak terdapat halte Trans Jatim. Pemberhentian yang lebih fleksibel semacam inilah yang menjadi daya tarik bus ini walau semakin lama tentunya jumlah penumpang terus menurun. Tentu, keberadaan bus Trans Jatim bukan menjadi alasan turunnya jumlah penumpang bus ini. jumlah kendaraan pribadi yang semakin berkembang pesat adalah biangnya.

Bagaimana tidak, orang-orang butuh kecepatan untuk berpindah tempat. Jika naik bus ini yang berjalan pelan tentu tidak akan keburu. Saya sendiri berangkat ke tempat les di Krian dengan naik Trans Jatim dan lanjut naik ojek online. Barulah saat pulang yang tidak membutuhkan ketepatan waktu saya mau naik bus hijau ini.

Bus kembali berangkat dengan kecepatan yang sangat pelan. Sang sopir mengendari bus sembari menelepon dengan suara kencang. Tak lupa, batang demi batang rokok ia isap yang tampak terasa nikmat. Semetara saya masih setia dengan air mineral karena dahaganya luar biasa. Saya bersyukur bus ini masih memberikan kelonggaran untuk makan dan minum. Tak seperti Trans Jatim yang melarang keras kegiatan tersebut.

Baru beberapa menit berajalan, bus berbelok menuju SPBU untuk isi solar. Aduh, saya mulai was-was takut kalau teman saya menunggu lama. Sempat terpikir untuk turun saja di sebuah halte Trans Jatim tetapi niat itu saya urungkan. Saya sudah kadung membayar tarif sebesar 10 ribu rupiah ke sopir bus. Sayangkan kalau saya harus oper lagi?

Penumpang yang kian sepi. (Dokumentasi pribadi)
Penumpang yang kian sepi. (Dokumentasi pribadi)

Saya lihat sopir bus mengeluarkan uang 50 ribu rupiah untuk mengisi solar. Entah apakah jumlah tersebut cukup yang jelas saya hitung sepanjang jalan tadi total hanya ada 8 penumpang termasuk saya. 

Mungkin jika dari Mojokerto ada sekitar 10an penumpang. Itu pun tak semua penumpang naik untik jarak jauh. Untuk jarak dekat, tarif bus ini hanya 5 ribu rupiah. Ah sudahlah, saya hanya ingin duduk santai sambil menikmati deru suara bus yang khas.

Bus yang berusia lebih dari 25 tahun tersebut masih bisa saya rasakan kegarangannya menembus batas Sidoarjo-Surabaya. Beberapa kali sang sopir melakukan atraksi yang sering disebut busmania "mosak-masik" atau menyalip dari sebelah kiri saat terjebak kemacetan. Walau berbahaya, tetapi harus saya akui keahlian sopir bus dalam mengendarai bus sangat iihai.

Beberapa kali bus ini disalip oleh Bus Trans Jatim koridor 2 yang penuh penumpang. Sang sopir tampak santai karena mungkin ia yakin sudah punya pangsa pasar sendiri. Benar saja, di daerah Galuran ternyata ada satu penumpang naik. Inilah penumpang terakhir yang didapatkan oleh bus tersebut.

Saya menatap nanar kondisi bus yang semakin sepi dan menyisakan dua orang penumpang termasuk saya karena para penumpang sebelumnya sudah turun. Saya lihat bangku-bangku kosong berwarna pelangi seakan sudah lelah dengan kondisi bus. Saat ini hanya tersisa sekitar 20 armada bus hujau yang beroperasi dari sebelumnya 60 armada.

Sebanyak 4 buah bus milik PO Karya Bintang Mandiri, 6 bus milik PO Joko Kendil, dan sisanya sebanyak 10 bus milik PO Hikmah Trans Jaya seperti yang saya naiki. Jumlah tersebut akan terus menyusut karena beberapa waktu lau PO Bagong ternyata juga mulai menjalankan busnya di rute ini. PO Bagong memang cukup kuat melakukan ekspansi rute Jawa Timur.

Saya tak tahu sampai kapan bus ini akan bertahan. Yang jelas, bus ini akan menjadi legenda masyarakat Surabaya, Krian, dan Mojokerto. Pernah berjaya di masanya tetapi kini harus rela ditinggalkan para penumpangnya. Saya pun turun di pusat perbelanjaan yang saya tuju dan melihat bus mengeluarkan asap tebal hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3