Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Terharu dan ingin menangis.
Itulah yang bisa saya rasakan seminggu kemarin. Saat masa penantian panjang selama bertahun-tahun akhirnya datang juga. Tak lain dan tak bukan adalah peresmian operasional Trans Jatim Koridor 1 Malang Raya (Koridor 8).
Haru, bangga, senang, sekaligus tak menyangka. Betapa mimpi untuk menghadirkan moda Bus Raya Terpadu (BRT) di Malang Raya akhirnya terwujud. Setelah melalui berbagai lika-liku hambatan, bus ini resmi mengaspal di jalanan Malang Raya tepat pada Kamis, 20 November 2025.
Bus-bus berwarna biru dengan gambar Candi Badut dan bernama Gajayana sudah siap melayani penumpang di wilayah Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Masyarakat pun mulai antusias untuk mencoba bus yang baru ini. Lantas, mengapa diberi nama Gajayana?
Walau ada tokoh lain seperti Ken Arok, Ken Dedes, dan beberapa tokoh lainnya, nama Gajayana seakan tepat digunakan sebagai nama bus ini. Ia adalah raja Kerajaan Kanjuruhan, sebagai awal mula peradaban di Malang Raya. Gajayana adalah sosok yang cukup berjasa dalam membangun peradaban dan budaya baru di Malang sehingga masyarakat Malang bisa lebih maju.
Spirit ini akan diteruskan oleh Trans Jatim Malang Raya koridor 1. Spirit membangun peradaban dan budaya transportasi umum masyarakat Malang. Harus diakui, masyarakat Malang cukup tertinggal soal tramsportasi umum dibandingkan kota lain. Di saat kota lain sudah sangat mantap dengan sistem moda BRT, Malang masih mengandalkan angkot yang kian usang. Makanya, beroperasinya Trans Jatim Koridor 1 ini menjadi babak baru dalam membangun budaya bertransportasi umum.
Lantaran ingin sekali naik, maka saya datang ke Terminal Hamid Rusdi Malang tepat pukul 5 pagi pada hari kedua pengoperasian. Saya ingin memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya sebelum kembali bekerja di Surabaya. Kalau sedikit siang, maka saya takut akan ramai penumpang.

Saya naik bus dengan jadwal pertama. Ternyata, sudah ada 3 orang penumpang di sana yang menjajal bus ini. Mereka juga penasaran akan keberadaan bus ini sehingga menjadi pengalaman baru bagi mereka.
Bus berangkat tepat pukul 5 menembus dinginnya udara Kota Malang. Beberapa jalan utama pun dilalui, seperti Jalan Mayjend Sungkono, Jalan Ki Ageng Gribig, Jalan Danau Toba, dan beberapa jalan utama di Kota Malang. Sayangnya, jarak antar satu halte ke halte lain cukup berjauhan. Bisa jadi, jauhnya jarak antar halte ini untuk menghindari gesekan dengan jalur angkot yang masih beroperasi.
Bagi saya tak masalah karena nantinya angkot direncanakan berperan sebagai feeder atau pengumpan Trans Jatim ini. Syukur-syukur jika Pemkot Malang mau meremajakan angkot seperti mikrotrans.

Bus pun melaju ke arah Dau, wilayah eksklave Kabupaten Malang dan memasuki Kota Batu. Ternyata, bus ini tidak melewati jalan utama seperti yang diberitakan sebelumnya. Bus melewati kawasan Tlekung dan Junrejo sebelum sampai di Terminal Batu. Lagi-lagi, langkah ini digunakan agar tidak bergesekan dengan jalur angkot yang masih eksis. Bagi saya tak mengapa, karena pemandangan jalan di daerah Tlekung sangatlah indah dengan Gunung Panderman.
Bus sampai di Terminal Batu sekitar pukul 06.30. Jika tidak macet seperti itu, maka perjalanan membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Namun, jika kemacetan melanda bus saat perjalanan, bisa saja waktu perjalanan memakan waktu 2 jam lebih.

Sepanjang perjalanan, ada hal menarik yang terjadi. Rupanya, kondektur bus berasal dari bus Trans Jatim K1 rute Porong-Gresik. Mereka masih belum paham dan hafal jalanan Kota Malang. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pemberhentian yang belum terpasang rambu. Alhasil, mereka harus menepatkan posisi bus dengan posisi di aplikasi Trans Jatim.

Pengalaman ini menjadi catatan penting. Seharusnya, sebelum resmi beroperasi, bus dan kondektur mencoba dulu bus berjalan sambil menghafalkan rute. Bagaimanapun, penumpang sangat bertumpu pada mereka. Jika mereka tidak begitu hafal, bagaimana bus bisa berjalan dengan baik?
Selain itu, alangkah lebih baik kondektur diambil dari warga Malang yang sudah mengenal jalanan di Malang. Mereka sudah terbiasa dengan ritme jalanan Malang. Tentu, dengan training lebih dahulu dan langkah ini sebaiknya dilakukan sebelum bus beroperasi. Memang, Trans Jatim sudah baik dengan merekrut sopir angkot di Malang sebagai sopir Trans Jatim. Mereka juga sudah lumayan menguasai medan jalanan Malang yang sempit dan berliku.

Jalanan yang sering dikambinghitamkan oleh warga Malang sendiri. Jalanan yang dianggap penghambat bus-bus tidak bisda dijadikan angkutan. Namun, beroperasinya Trans Jatim ini mematahkan semua. Bus bisa berjalan di jalanan yang sempit itu.
Kini, tugas rumah selanjutnya adalah membangun halte yang lebih layak. Sosialisasi kepada masyarakat soal aturan di dalam bus seperti tidak boleh makan dan minum juga harus terus dilakukan. Walau terlambat dan masih banyak kekurangan, dengan melihat antusiasme masyarakat yang ingin naik di banyak pemberhentian, rasanya peradaban baru dalam bertransportasi di Malang sudah mulai berjalan baik.