Isson Khairul
Isson Khairul Jurnalis

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Industri Pers Vs Janda Wartawan

25 Agustus 2020   10:50 Diperbarui: 25 Agustus 2020   12:46 419 8 1


Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun, mengutip Bung Karno: vivere pericoloso. Hendry menyebut, tahun ini merupakan vivere pericoloso (hidup berbahaya) bagi media. Itu diungkapkan Hendry saat pembukaan Kongres Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), pada Sabtu (22/08/2020). Kita tahu, istilah vivere pericoloso dilontarkan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1964.

Pelik Sesama Saudara

Hendry menggambarkan, saat ini perusahaan media tengah berusaha bertahan hidup di masa krisis, akibat pandemi Covid-19. Kondisi "berusaha bertahan hidup di masa krisis" menurut saya, bukan hanya dialami perusahaan media, tapi juga oleh para wartawan.

Juga, dialami keluarga wartawan. Nah, bagaimana kondisi keluarga wartawan, yang "sang wartawan" sudah wafat? Pada Selasa (18/08/2020) lalu, saya singgah ke rumah Wiwiek Dwiyati, janda almarhum Djoko Yuwono, wartawan senior Pos Kota.

Pertikaian antar keluarga memang kerap terjadi. Sayangnya, meski berkeluarga dan bersaudara sedarah, tak mudah untuk berlapang jiwa demi menjaga kerukunan. Ini salah satu contohnya. Foto: isson khairul
Pertikaian antar keluarga memang kerap terjadi. Sayangnya, meski berkeluarga dan bersaudara sedarah, tak mudah untuk berlapang jiwa demi menjaga kerukunan. Ini salah satu contohnya. Foto: isson khairul
Belum lagi sempat bertanya, Wiwiek Dwiyati langsung bercerita tentang situasi pelik yang tengah ia hadapi kini. Rumahnya di kawasan Cempaka Baru Kemayoran, Jakarta Pusat, dalam waktu dekat akan tertutup rapat oleh tembok sekolah.

Ia tak diizinkan oleh pemilik sekolah, melewati jalan ke rumahnya, yang sudah bertahun-tahun ia lewati. Akibatnya, untuk keluar-masuk rumah, ia harus berkelok-kelok melalui gang sempit. Bahkan, pemilik sekolah memaksanya untuk memindahkan saluran air dari rumahnya ke arah lain. Saluran air yang sudah bertahun-tahun ia gunakan, ditutup oleh pihak pemilik sekolah.

Padahal, pemilik sekolah tersebut adalah saudaranya, sedarah dengannya. Wiwiek Dwiyati dan pemilik sekolah itu sama-sama memanfaatkan lahan warisan dari kakek-nenek mereka. Karena pemilik sekolah mendapat warisan lahan di tepi jalan, sementara lahan bagian Wiwiek Dwiyati berada di tengah, maka janda Redaktur Senior Harian Pos Kota itu, tidak bisa berkutik.

Wiwiek Dwiyati mengaku tengah berjuang untuk bisa menggunakan jalan keluar-masuk rumah, sebagaimana yang sudah bertahun-tahun ia lewati. Tapi, belum ada titik-temu. Pemilik sekolah bersikeras, menggembok pagar besi. Wiwiek Dwiyanti terpaksa harus berkelok-kelok melalui gang sempit.

Pihak kelurahan beserta aparat setempat sudah mendatangi lokasi. Wiwiek Dwiyati pun sudah mendatangi kelurahan. Kedua pihak yang sesungguhnya adalah saudara sedarah itu pun, sudah bertemu. Tapi, belum ada titik-temu. Menurut Wiwiek Dwiyati, pihak kelurahan meminta agar "urusan tersebut" diselesaikan secara kekeluargaan.

Pertanyaan Warga Biasa

Pertanyaan saya, karena urusan tersebut sudah masuk ke "wilayah" kelurahan, apakah wartawan Pos Kota tidak mengendusnya? Wiwiek Dwiyati menuturkan, pembangunan gedung tambahan sekolah tersebut, beberapa waktu lalu pernah dihentikan, karena belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Kini, kabarnya, IMB-nya sudah ada. Pembangunan pun dilanjutkan. Sebagai warga biasa, Wiwiek Dwiyati mengaku tidak pernah menandatangani surat apa pun terkait IMB tersebut. Padahal, posisi rumah Wiwiek Dwiyati sangat-sangat dekat dengan bangunan itu. Bukankah persetujuan tetangga, menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan IMB?

Itu pertanyaan Wiwiek Dwiyati sebagai warga biasa. Saya pikir, wartawan Pos Kota tentu lebih paham mengenai hal tersebut. Dan, tentu tak ada salahnya, jika wartawan Pos Kota menyempatkan diri mampir ke rumah Wiwiek Dwiyati. Ya, sekalian menjenguk istri rekan seprofesi, meski Djoko Yuwono sudah almarhum.

Oh, ya, Djoko Yuwono terakhir tercatat sebagai Redaktur Senior Pos Kota. Ia wafat di Jakarta pada 21 April 2018, pukul 20.45 WIB, kemudian esoknya dimakamkan di Desa Pelem, Kecamatan Gabus, Kabupaten Gerobokan, Jawa Tengah. Hal pelik yang tengah dihadapi Wiwiek Dwiyati, sepintas nampak sebagai hal biasa dan urusan keluarga biasa.

Nah, dengan kejelian serta ketajaman intuisi jurnalistik wartawan Pos Kota, mungkin --mungkin lho ya- ada hal-hal yang "layak berita" dari apa yang dialami Wiwiek Dwiyati dan dari balik hal yang ia alami tersebut.

Jakarta 25-08-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2