Akhirnya kami berhenti di Pasar Tawangmangu. Mau salat dhuhur sekalian Asar dijamak. Mau beli oleh-oleh juga. Kalau ini tidak perlu bahas keuangan keluarga, karena aku yang pengin beli oleh-oleh, ya aku yang bayarin. Tapi kalau ayah yang pengin, ya ayah yang bayarin. Gampang, kan? Hihihi...
Usai salat, ayah mengajakku ke Pasar Tawangmangu, katanya mau beli tempe.
"Lho, pasarnya ini, kan?" tanyaku heran.
"Bukan! Itu di seberang sana. Kalau ini tempat parkir!"
"Owh!" Aku melongo. Eh... ternyata. Pantesan aku pikir pasar kok sepi?
Kami menyeberang dari tempat parkir ke Pasar Tawangmangu. Sebelum masuk ke pasar, ada penjual aneka tanaman dan bunga yang semuanya indah dan cantik. Tapi aku tak tergoyahkan, karena sudah pernah mencoba membeli, ternyata di rumah tidak bisa tumbuh dengan baik.
"Ini, Dek!" Suami aku berhenti di dekat penjual tempe yang sudah dikemas dalam kantong kresek putih kecil. Tempenya gepeng-gepeng, biasanya dibuat untuk tempe mendoan, tempe selimut atau tempe tepung.
"Tempenya seplastik berapa, Bu?"
"Dua puluh lima ribu. Isinya 25 tangkep, 50 bungkus!" Jawab penjualnya.
"Walah, kok mahal to, Bu. Saya orang sini saja kok. Biasanya 15 ribu!"
"Belum boleh, Pak!"
"Boleh! Wong kemarin saja boleh!"
"Ya sudah! Ambil berapa kresek?"
"Satu saja!"
"Kembaliannya nggak ada, Pak. Uang kecil saja!" Suami ku menyodorkan selembar uang merah.
"Sama tapenya sekalian!" Aku langsung ambil kesempatan. Hihihi..
"Jenang mau, Dek?" Tanya suamiku.
"Itu wajik, ya?" Tanyaku pada penjual di sebelah.
"Iya, Bu!"
"Wajik saja ya, Mas? Aku nggak suka jenang!"
"Iya, wajik saja. Maksudku juga wajik, bukan jenang!"
Sepertinya cukup lah oleh-olehnya. Tapi masih ada yang kuincar, di lapak luar, bukan di dalam gedung. Apa itu? Jeruk Keprok. Yups!
Berbicara tentang jeruk keprok, bagiku adalah kenangan masa kecil bersama Bapak. Saat itu Bapak menanami tegalan dengan pohon jeruk. Di sela-sela aktivitas menjadi penilik Pembinaan Generasi Muda dan Olahraga di Kantor Depdikbud, dan sorenya mengajar dan menjadi kepala sekolah di sebuah SMP Swasta, Bapak juga berkebun dan beternak ayam, bebek dan memelihara ikan di blumbang (kolam).
Jeruk yang ditanam Bapak, sebagian besar adalah keprok Siam (Citrus tangerina). Tapi bapak biasa menyebutnya Jeruk Siem. Jenis jeruk ini yang paling laku di pasaran. Rasanya manis, kulitnya tipis licin mengkilap dan ada semburat kuning saat sudah tua.
Selain keprok Siam, ada jenis keprok lain yang ditanam Bapak. Jenis ini hanya beberapa pohon, dan untuk dikonsumsi sendiri.
Jenis keprok yang ini, Bapak biasanya hanya menyebutnya Jeruk keprok dan hanya 1 pohon. Khusus untuk dinikmati sendiri. Buahnya besar, tapi gepeng, mirip setengah lingkaran, tapi besar dan lebar. Kulitnya tipis, jeruknya mempunyai aroma khas jeruk keprok yang segar mungkin mirip jeruk Mandarin, tapi warnanya hijau mengkilap dan ukurannya besar. Jeruk ini sampai saat ini belum pernah kutemui selain satu-satunya pohon yang ditanam Bapak, dan sudah mati karena terserang virus CVPD.
Jenis jeruk keprok yang sekarang masih bisa kutemui adalah Jeruk Keprok Cino licin (Citrus Reticulata). Entah kenapa dinamai begitu. Mungkin karena kulitnya kuning licin mengkilap seperti warna kulit orang Tionghoa. Atau bisa jadi karena asalnya dari China dan kulit buahnya licin.
Tapi sekarang, jeruk keprok itu dinamai sesuai tempat penghasilnya. Yang didatangkan dari Malang, dinamai keprok Malang. Yang dari daerah Pulung Ponorogo, dinamai Keprok Pulung. Sedang yang berasal dari Tawangmangu dinamai Keprok Tawangmangu.
Nah, keprok Tawangmangu ini yang sekarang ingin kubeli. Ukurannya besar, masih segar dan tangkainya masih tersisa membawa vibes baru dipetik. Mungkin 1 kg isinya hanya sekitar 4-5 buah. Ini termasuk ukuran besar. Biasanya yang kubeli di Madiun, sekilo isinya sekitar 6-8 buah.
"Silakan jeruk keproknya, Bu!" Penjual jeruk menawarkan dagangannya saat aku tertarik mengambil, mengamati dan menimbang-nimbang beratnya. Membuat pikiranku sempat kembali ke masa kecil saat asyik memetik jenis jeruk seperti ini di kebun sendiri. Aku tersenyum. Teringat Bapak.
"Berapa sekilonya, Bu?"
"Dua puluh ribu?"
"Kok mahal, biasanya 15 ribu!" Kataku. Di Madiun sekilonya memang sekitar 15 ribu, tapi memang tidak sesegar, sebesar dan secantik ini tampilannya.
"Ya, sudah. Dua kilo 35 ribu saja, Bu," kata penjualnya. Aku masih memilih-milih, mencari yang ukurannya tidak terlalu besar, sekilo isi 6 saja.
"Bu, ada yang buat nyicip? Nanti nggak manis," kataku iseng. Biasanya aku jarang icip-icip kalau beli apapun. Percaya saja. Tapi jangan khawatir, meski icip-icip, saya mau beli kok, bukan fenomena Rojali yang suka icip-icip tapi jarang beli. Hihihi...
"Ini, Bu!" Ibu penjualnya memberiku jeruk berukuran besar yang sudah dibuka. Aku ambil 1 siung. Rasanya manis. Hemmm... aku paham betul, ini bukan jeruk keprok, tapi jeruk Siam.
"Bu, ini apa jeruk keprok?"
"Iya, Bu!"
"Ini jeruk Siam, Bu. Aku carinya jeruk keprok!"
"Anu... ini Bu!" Penjualnya mengambil sebuah jeruk keprok yang besar berwarna kekuningan, membukanya dan memberikan padaku dengan ragu.
Mungkin khawatir aku tidak jadi membeli kalau rasanya tidak terlalu manis, tapi bercampur sedikit asam yang samar dan aroma khas jeruk keprok yang segar. Ibu penjualnya memandangku tak berkedip.
"Hemmm...betul! Ini memang jeruk keprok asli," kataku sambil tersenyum. Ibu penjual terlihat lega. Jeruk yang kubeli segera diambil dari timbangan dan dimasukkan ke dalam tas kresek putih.
"Bu, ini saya ambil ya, yang buat icip-icip!"
"Ya, Bu! Bawa saja!"
"Hahaha...!" Aku tertawa dalam hati. Memang jeruk keprok seperti ini yang kusuka, yang ada sensasi asam segar aroma jeruk keproknya. Tapi mungkin tidak begitu dengan orang lain, bisa jadi menganggap jeruknya asam.
Jadi penjualnya pasti lebih senang kalau jeruk yang buat contoh icip-icip kuhabiskan, biar tidak dicicipi pembeli lain, sebab ibu penjualnya biasanya memberikan jeruk Siam madu untuk dicicipi pembelinya.
Lumayan, gratis 1 buah jeruk keprok berukuran besar, hehehe...
Sumber: YouTube @Isti Yogiswandani channel