KS Story
KS Story Petani

Don't forget to smile today🙂!

Selanjutnya

Tutup

Video

Potret Kehidupan Episode 91 Belajar Bersifat Secukupnya

19 April 2024   16:58 Diperbarui: 19 April 2024   17:16 665 3 1

Ayahku orang hebat. Iya. Hebat, ayahku. Ayah selalu mampu menghadirkan suasana suka cita. Dengan segala bentukan dirinya yang tak pernah ku anggap itu cela. Meski tak berpendidikan lebih tinggi dariku, namun ia bisa diandalkan. Ayahku adalah seorang penjahit baju yang handal, jahitan bajunya yang sengaja dibuat feminim agar aku mao memakainya, bikin aku rindu. Walau hanya baju sederhana, tetapi karena dijahit dengan bumbu cinta dan di jahit dengan rasa kasih dan sayang, menjadikan jahitan ayahku tercantik dibandingkan jahitan di luar sana. Ayah yang selalu mengkhawatirkan aku dari anak-anaknya yang lain, karena aku bandel melebihi anak laki-laki yang lainnya. Hehehe.

Ayahku adalah motivator sejati, yang selalu setia mendengarkan segala keluh kesahku menjalani hidup. Kuceritakan banyak hal padanya mulai dari pekerjaanku, bisnisku, anak-anakku, teman-temanku, rumah tanggaku bahkan perasaanku. Ayah tempat curhatku ternyaman yang tak ku jumpai di banyak sahabat-sahabatku. Pundaknya kan selalu siap sedia menyangggaku bersandar. Jari-jarinya yang kasar namun dengan tetap lembut menyeka air mata yang jatuh di pipi. Tak lupa untaian doa dan sepenggal nasihat selalu terselip di sela-sela dekapannya. Membuatku lebih bermakna menjalani hari-hari dengan doanya.

Oiya. Ini ada, ungkapan tulus tanda terimakasih ku pada ayah yang telah mendidik hingga aku bisa menjadi pribadi yang sekarang ini. "Aku rindu belai kasihmu yang dulu. Walau kini tak bisa seperti dulu. Walau kini tak bisa bertemu denganmu. Engkau selalu hadir dalam mimpiku. Kini kau tidak ada di sisiku lagi. Walau sekarang tak seperti dulu. Aku akan selalu mendoakanmu. Yang terbaikmu  untukmu Ayahku.". Begitu ucapku di depan kuburnya dua pekan lalu. 

Sungguh..., sebuah anugerah yang terindah yang tak pernah berhenti untuk disyukuri. Aral rintangan yang menghalang tak menyurutkan langkah kaki untuk terus melangkah mengarungi samudera tanpa batas ini. Semua tak lepas dari kerja keras dan doa Ayah-Ibu serta campur tangan Allah dalam setiap napas detik berlalu. 

Ayah yang mengajarkanku arti hidup sederhana. Sederhana, bukan berarti minim harta. Namun sederhana yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu hidup bersahaja, apa adanya dan tidak berlebih-lebihan namun tetap bahagia ditengah harta duniawi yang sementara. Diatas langit masih ada langit. Tetap berbagi dengan orang sekitar berapapun besarannya dengan ikhlas, dan teruslah berbuat baik pada siapapun tanpa pandang bulu. Insyaallah ilmu ini akan kuterapkan sampai akhir hayatku nanti.

Ibuku yang cerewet, tak cukup hanya dengan sekata dua kata. Berjuta kata akan mengalir dari mulutnya walau kadang terasa pedas hanya sekadar memastikan semuanya berjalan semestinya. Tapi aku percaya, itu adalah salah satu bentuk kekhawatiran seorang ibu yang tak ingin anaknya salah melangkah. Dan tak bisa ku pungkiri, berselisih paham sering terjadi antara aku dan ibuku, meski hanya masalah sepele, kadang cuma masalah karyawan doang sih. Seharusnya ibu tak lagi memikirkan hal-hal yang berat. Inginku seperti itu. Namun, perdebatan itu tak pernah berlangsung lama, tak sanggup rasanya hati ini melihat ibu menahan luka karena kata-kata yang tak disengaja menggores hati. Kata suami, "berbahagialah kau KS ketika ibumu masih cerewet karena tandanya ibumu masih peduli akan dirimu ini". 

Ibu kini berusia lebih dari 70 tahun. Alhamdulillah ia masih sehat. Setiap bangun subuh, ia selalu menyiapkan sarapan untukku, eh untuk anak-anakku, ding. Aku selalu pasnya sarapan diluar, karena terlalu subuh klo aku sarapan dirumah. Aku ga ada menyuruh ibuku ya sahabat..., jangan salah sangka pulak kalian, wekekeh. Katanya, kalo ibu tidak bikin sarapan, ibu mao kerja apa? Nah, itu dia ibuku. Tidak mao diam, ada aja makanan dan cemilan yang ia siapkan. Pagi aku berangkat ke kantor, kadang sudah terisi perut ini, walau kadang aku males sarapan. Namun dari pada ibu sedih dan omelannya makin panjang, aku turuti kemauannya. 

Dibalik semua cerewet yang kuurai tentang ibuku, ia tetaplah manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Dibalik sikapnya yang selalu cemas bila aku ditipu karyawan, aku tahu ibuku adalah orang yang rapuh. Jantungnya tidak selalu kuat mendengarkan laporan ini itu lagi. Maka aku tak ingin sedikitpun menggores luka dihatinya. Air mata tak ku izinkan melewati pipinya kecuali air mata kebahagiaan. Aku hanya ingin mengukir senyum kebahagiaan dan kebanggaan akan didikannya.

Sungguh beruntungnya diri ini, masih bisa merasakan dekapan hangat ibu, mendengar suaranya memanggil meski dengan teriakannya setiap pagi. Di balik rambutnya yang memutih, aku ingin senyum manisnya selalu tersimpul dari bibirnya. Aku tak mao  berkeluh kesah padanya. Ya Allah, muliakanlah hidupnya. Agar aku selalu meminta ridhonya untuk hidup yang lebih barokah.

Tak terasa.....,

Kini aku telah menjadi seorang ibu, ibu dari dua anak yang lucu-lucu. Sudah empat puluh dua lebih usiaku, ni woy. Tapi masih saja dikira anak-anak. Apa karena aku terlihat masih perlu diurus lagi oleh seorang ibu? Rasanya tidak juga aku ini merasa perlu untuk dirisaukan tentang segala hal.  Beberapa tahun belakangan, sejak kepergian ayah. Ibuku sendiri dirumah nya. Dia tidak mao tinggal dirumah kami. Aku terpaksa meninggalkan rumahku. Bukan karena aku yang dipulangkan suami ke rumah ibuku, bukan. Kadang-kadang, kepoers selalu ada-ada saja pikirannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4