KS Story
KS Story Petani

Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)

Selanjutnya

Tutup

Video

Pejuang Mimpi Episode 70 Nakhoda Yang Baik Bukanlah Yang Hanya Pandai Mengemudikan Kapal, Tapi Yang Mengetahui Rahasia Lautan

21 Maret 2025   09:26 Diperbarui: 21 Maret 2025   14:08 208 1 0

Tapi survei yang dilakukan terhadap ribuan eksekutif, manajer dan wiraswastawan yang berhasil menunjukkan bahwa sebagian besar diantara mereka menggantungkan diri pada dorongan suara hati sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya selama bertahun-tahun. Itu!

Ini telah banyak terbukti, bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya terbukti mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti, banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, semisal pengusaha-pengusaha sukses..., dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Disinilah kecerdasan emosional (EQ) membuktikan eksistensinya. Lalu dimana posisi SQ (Spritual Questiont)? Mari kita telaah lebih lanjut! 

Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan, acapkali ia disergap oleh perasaan 'kosong' dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak telah dilihat, ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih usaha berada dalam genggaman, ia tak lagi tahu kemana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu diraihnya. Hingga hampir-hampir diperbudak uang serta waktu tanpa tahu dan mengerti dimana ia harus berpijak. Diposisi inilah ESQ tampil menjawab permasalahan tersebut. 

Hal yang yang bertolak belakang dengan sistem pendidikan kita selama ini, yang terlalu menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, bisnis, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Ya kan? Padahal justru inilah yang terpenting. 

Seperti kata Shandel, yang dikutip oleh Ali Shariati dalam bukunya, bahwa bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan dalam diri manusialah yang sebenarnya sedang mengalami kehancuran sedemikian cepat, hingga yang tercipta sekarang ini adalah ras-ras non manusia, mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. "Mereka, ibarat menjual 'sesuatu' namun mereka sendiri yang harus membayar harga 'sesuatu' tadi. Berbaris di depan 'rumah perampok', menanti giliran untuk diri sendiri untuk dirampok". Itu kata Shandel, lho!

Inilah yang secara cerdas berhasil diamati oleh Ali Shariati, seorang pakar sosiologi tentang orang yang buta hati atau bahasa modernnya memiliki EQ rendah. Jadi IQ vs EQ. Sebuah kecenderungan klasik, sepanjang sejarah manusia, bahwa konflik-konflik intelektual besar, acapkali terjadi karena adanya pemisahan, sebutlah misalnya iman yang terpisah dengan rasio, serta EQ yang tercerai dari IQ. 

Pengalaman Pribadi;

Lima bulan setelah anak pertama saya lahir, tepatnya 2008. Saya pernah mendirikan sebuah usaha swalayan perdana di tempat dimana saya dilahirkan. Beberapa karyawan yang saya rekrut, adalah lulusan SMA-SMK dan usia mereka umumnya relatif masih muda. Saat itu usia saya juga masih muda, dan saya lebih senang memilih karyawan yang usianya pun lebih muda atau maksimal seusia dengan saya, karena hal tersebut lebih memudahkan dalam memberi pengajaran pada mereka. 

Permasalahan yang saya hadapi saat itu adalah komitmen..., integritas, semangat, kreativitas dan konsistensi dari para karyawan saya. Bagi saya, untuk mengajari mereka tentang seni memajang barang di rak dan etalase, menghitung pemasukan dan pengeluaran, membuat label harga dan memberi barcode, mencek-cek inventory, menghafal daftar harga, kemampuan berhitung, dan kemampuan mengoperasikan komputer, __adalah hal yang relatif mudah. Paling sulit adalah bagaimana mengajarkan mereka untuk memiliki kecerdasan emosi serta memberi pengertian kepada mereka bahwa keberadaan EQ (kecerdasan emosi) tersebut amatlah penting bagi nasib mereka kelak.

Pada bagian pelayanan, pemasaran maksud saya. Kesulitan ini amat terasa ketika mereka saya harapkan mampu melayani pelanggan dengan seni berkomunikasi yang seperti saya lakukan. Tentu saya harus mengajarkan itu, agar dapat menutup semua biaya yang dikeluarkan untuk mereka. Kalau misalnya mereka memasang wajah cemberut saja, pelanggan saya komplain kepada saya bahwa pelayan saya itu wajahnya jutek dan tidak menyenangkan. Itu jelaas, membuat pelanggan saya tidak senang berbelanja di tempat saya sehingga tidak sesuai dengan slogan yang saya tempel di depan pintu masuk, "Harga Oke, Nggak Bikin BT!". 

Dia semacam tidak ada kepercayaan diri..., tidak bisa menjelaskan produk A itu apa, jangankan menjelaskan, mencari tempat dimana produk A saja, dia pulak yang bingung mengambilnya hahaha. Apalagi semangat. Tidak ada. Baik itu kepercayaan diri, semangat dan cita-cita, seakan dipendam dalam-dalam. BT kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4