Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.
Ketika Matahari Terbit, Saya sudah Selesai Berendam di Umbul Brondong, Klaten dan Siap sarapan
Seperti pada kunjungan sebelumnya, saya dan adik Tarti berkunjung ke Umbul Brondong di Desa Ngrundul, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten pagi-pagi sekali. Usai salat subuh, kami berangkat ke kawasan kolam renang yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumah ibunda di Klaten.
Rumah ibunda terletak di Dukuh Ketinggen, Desa Karanglo, Kecamatan Klaten Selatan. Lokasi yang kami datangi berbeda desa dan kecamatan tetapi berjarak tidak terlampau jauh.
Tiba di lokasi Umbul Brondong, saya segera menitipkan tas di warung Bu Harni alias mbah Surip. Setelah melepas celana panjang dan jaket hitam, saya segera menuju kolam induk Umbul Brondong.
Pada saat saya akan masuk ke kolam, tampak sudah ada sekitar sepuluh orang telah berada did alam kolam induk tersebut. rata-rata usia mereka sudah lebih dari enam puluh tahun.
Mereka berendam untuk menjaga kesehatan. Saran dari dokter memang seperti itu. Para manula sangat baik jika sering-sering berendam di kolam renang. Apalagi kolam renang yang dipilih adalah kolam renang dengan air alami. Bukan air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang sudah diberi kaporit.
Berjumpa orang lain di kolam renang seperti berjumpa kawan lama di daratan. Kami saling sapa dan berjabat tangan. Suasana dingin menjadi agak hangat dengan bercakap-cakap. Suasana kaku menjadi cair dengan saling tegur dan berbincang ringan.
Saat berada di kolam, saya lebih banyak berjalan-jalan dengan telapak kaki menyentuh kerikil-kerikil hitam di dasat kolam. Dalam kolam induk itu, lantai atau dasar kolam tidak diberi keramik seperti kolam lain.
Ada alasan kuat mengapa pada kolam induk itu tidak dikeramik lantai dasarnya. Apa ya? Ya. Pada dasar kolam induk itu ada bagian yang mengeluarkan air (sumber air). dari sanalah air keluar dari dalam bumi (tanah). Alasan itulah yang menjadi dasar kuat untuk tidak memberi keramik pada dasar kolam induk.
Saya tidak sanggup berlama-lama berendam di kolam. Apalagi pada pagi hari suhu udara cukup dingin. Air kolam pun terasa dingin. Kulit tangan sering keriput jika agak lama berada di dalam air.
Untuk itu, saya segera keluar dari kolam begitu merasakan suhu tubuh agak menggigil. Apalagi, perut sudah terasa agak mulas. Itu pertanda waktu BAB (Buang Air Besar) sudah tiba.
Pada pagi hari kamar mandi atau kamar bilas masih banyak yang kosong. Dengan demikian, saya dapat memilih kamar mandi yang nyaman.
Sebelum mulai beraktivitas di dalam kamar mandi, saya biasa menyiram lantai untuk melarutkan pasir yang menumpuk di sudut-sudut kamar mandi.
Rasanya kurang nyaman, saat mandi, terlihat ada pasir yang membuat kaki terasa geli saat menginjaknya. Air cukup melimpah di kawasan Umbul Brondong. Dengan menyiram pasir di lantai kamar mandi, kondisi lantai terlihat bersih dan nyaman untuk beraktivitas di dalamnya.
Mengamati Sekeliling Umbul Brondong
Sehabis mandi, saya biasa melakukan aktivitas merekam atau mendokumentasikan suasana sekeliling Umbul Brondong yang saya lewati.
Saat itu matahari baru mulai muncul atau terbit. Saya sangat mengagumi situasi seperti itu. Ada warna keemasan muncul dari ufuk timur. Cahaya matahari yang memancar seolah mengucapkan selamat pagi kepada para penghuni bumi. Untuk sesaat saya terdiam mengamati suasana yang benar-benar mengagumkan.
Subhanallah. Maha suci Allah. Engkaulah yang Maha Sempurna. Jarang sekali saya menemui suasana yang begitu indah. Kondisi fisik terasa sehat, pandangan mata cukup sejuk menyaksikan suasana yang benar-benar membuat rasa kagum atas ciptaan-Nya.
Ada papan nama yang masih baru saya lihat di dekat kamar mandi. Papan nama itu merupakan papan penunjuk arah ke Kolam Anak. Tampak matahari mulai bangun dari peraduannya. Sinar yang memancar dengan warna keemasan benar-benar membuat rasa kagum dan bersyukur.
Jarang suasana pagi dapat saya saksikan secara langsung dengan pemandangan matahari yang muncul dari balik pepohonan. Secara sekilas, orang dapat saja menduga bahwa dalam foto terlihat matahari akan tenggelam. Bisa juga orang menduga bahwa yang tampak dalam foto adalah rembulan. Padahal, dalam foto itu adalah matahari yang baru terbit.
Sarapan Nasi Pecel dan Gorengan
Tidak setiap hari makan nasi pecel. Tidak setiap hari makan gorengan. Pada hari Selasa (9/9/25) saya menikmati gorengan (tempe dan pisang) yang masih hangat.
Saya sudah selesai berendam dan berbilas serta berganti pakaian. Setelah sejenak mengagumi kondisi sekeliling, saya menuju warung Bu Harni atau mbah Surip.
Sebelum pergi mandi, saya sudah memesan untuk disiapkan gorengan tempe dan pisang. Pada saat saya selesai mandi, makanan yang saya pesan itu sudah tersaji di atas meja dengan satu gelas minuman teh manis panas di sebelahnya.
Satu lagi, satu piring nasi pecel juga sudah ada di sana. Tinggal menunggu lauk telur dadar goreng yang masih diproses di atas wajan penggorengan.
Untuk melengkapi pernak-pernik sarapan, ada kerupuk putih yang kami nikmati. Satu potong pisang goreng sempat saya habiskan sambil menunggu telur selesai digoreng.
Untuk sarapan, saya tidak perlu tergesa-gesa. Perlu pemanasan lebih dahulu. Dengan menyantap satu potong pisang goreng, semangat untuk melahap satu piring nasi pecel mulai bangkit.
Ada nasi, ada bakmi goreng, dan sayuran yang cukup banyak. Sambal pecel benar-benar dapat menggoyang lidah. Perpaduan kacang tanah, gula merah, dan bumbu khas sambal pecel sangat pas.
Dengan Empat Puluh Ribu Rupiah Berdua, Perut sudah Kenyang
Selesai menikmati sarapan, kami menghitung berapa rupiah harus dibayarkan kepada Bu Harni alias mbah Surip. Satu porsi nasi pecel dengan lauk telur dadar dengan tarif Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah. Jika dua porsi berarti dua puluh ribu rupiah. Minuman teh ada dua macam. Harga minuman teh dengan gelas besar Rp 3.000 (tiga ribu rupiah) dan dengan gelas kecil Rp 2.000 (dua ribu rupiah).
Dua porsi nasi pecel dan dua gelas minuman total Rp 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah). Kemudian, untuk gorengan semuanya Rp 10.000 (sepuluh eibu rupiah). Total menjadi tiga puluh lima ribu rupiah. Ada yang ketinggalan. Kerupuk, satu bungkus Rp 6.000 (enam ribu rupiah). Jadi, total semua Rp 41.000 (empat puluh satu ribu rupiah).
"Bayar empat puluh ribu saja!" ucap Bu Harni alias mbah Surip.
Kami memang sering diberi korting atau potongan harga saat makan di warung yang sudah menjadi langganan kami tersebut. Adik Tarti menyerahkan satu lembar uang kertas berwarna biru.
Uang kembalian satu lembar berwarna ungu. Ya. uang kembalian sepuluh ribu rupiah. Alhamdulillah. Dua orang sarapan nasi pecel plus minum cukup mengeluakan uang Rp 40.000 (empat puluh ribu rupiah). Kenyang!
Ditulis di Klaten, 9 September 2025