Ikrom Zain
Ikrom Zain Tutor

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Video Artikel Utama

Konsep yang Lebih Tertata, Jurus Jitu agar Kya-Kya Kembang Jepun Tak Lagi Mati Suri dan Merana

24 November 2022   16:06 Diperbarui: 25 November 2022   17:15 2956 11 2


Wisata malam Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya resmi beroperasi kembali pada akhir September 2022 lalu.

Setelah vakum selama 14 tahun, wisata ini dibangkitkan lagi dengan harapan menjadi ikon wisata Kota Surabaya dengan tagline Sparkling Surabaya-nya. Wisata malam Kya-Kya Kembang Jepun ini juga diharapkan mampu menjadi salah satu tujuan bagi warga Surabaya dan luar Surabaya ketika menghabiskan malam di akhir pekan.

Gapura Kembang Jepun. - Dokumentasi pribadi
Gapura Kembang Jepun. - Dokumentasi pribadi

Sebenarnya, eksistensi Kya-Kya Kembang Jepun ini sudah ada sejak 2003. Saya masih ingat ketika wisata malam ini mendapatkan perhatian yang cukup besar. Bahkan, sebuah surat kabar kala itu memiliki rubrik khusus yang mengulas aktivitas Kya-Kya Kembang Jepun.

Sayang, hanya lima tahun wisata ini mampu bertahan sebelum akhirnya mati suri. Kawasan yang dulu tiap malam ramai oleh pengunjung menjadi sepi. Hanya menyisakan gapura di ujung Jalan Kembang Jepun serta beberapa ornament khas Tionghoa.

Empat belas tahun saya menyimpan keinginan untuk merasakan bagaimana keasyikan berjalan-jalan di Kya-Kya Kembang Jepun ini. Narasi pada surat kabar yang saya baca saat SMA begitu terngiang. Untung saja, pada tahun ini wisata malam tersebut kembali dibuka. Saya pun berkesempatan untuk mengunjunginya seminggu setelah pembukaan wisata malam tersebut.

Euforia pembukaan Kya-Kya Kembang Jepun sudah mulai tambak begitu saya menjejakkan kaki di sekitar Jembatan Merah. Selepas turun dari Suroboyo Bus di Halte Jembatan Merah, kemacetan parah tampak dari kendaraan bermotor yang menyemut menuju Jalan Kembang Jepun. Parkir kendaraan bermotor roda dua diarahkan ke Jalan Panggung yang berada di sisi barat laut dari Kya-Kya.

Menapaki pedestrian di jalan tersebut sungguh tak nyaman. Bau anyir dari Kalimas di sebelahnya berpadu dengan trotoar jalan yang rusak membuat saya mempercepat langkah untuk segera masuk gapura Kya-Kya Kembang Jepun. Padahal, di sepanjang Jalan Panggung tampak beberapa lampu indah yang seakan hanya pemanis belaka.

Petugas dari Dinas Perhubungan, Kepolisian, dan Satpol PP memandu para pengendara motor untuk membelokkan kendaraan ke arah Jalan Kalimati Kulon lantaran Jalan Kembang Jepun ditutup,

Akhirnya, saya bisa mulai merasakan nuansa khas Tionghoa selepas benar-benar masuk gapura merah dengan dua naga emas di bagian atas. Mimpi saya selama bertahun-tahun yang saya pendam akhirnya terwujud juga.

Namun, baru saja melangkah beberapa kaki, saya bingung. 

Mana dulu yang harus saya jelajahi? Saya harus membeli kuliner apa dulu? Di mana saya bisa duduk untuk menikmati suasana?

Pertanyaan itu segera berputar di kepala saya ketika melihat ramainya pengunjung malam itu. Semuanya tumpek blek dengan kegiatan mereka. Ada yang makan di kursi yang dipasang di tengah jalan. Ada yang sibuk berfoto, membuat video, berjalan, dan bercengkrama. Pendek kata, Sebagian besar orang yang saya temui larut dalam euforia.

Setelah sempat bingung, akhirnya saya pun mencoba untuk menikmati jengkal demi jengkal Kya-Kya Kembang Jepun. Dimulai dari sebuah bangunan bertuliskan Pasar Terang. Bangunan ini dulunya menjadi salah satu pasar yang ramai di sekitar Jembatan Merah. 

Akan tetapi, sejak adanya Pasar Atom dan Pasar Turi, pasar ini pun surut. Kondisi pun semakin tidak menguntungkan dengan adanya konflik atas lahan di sekitar pasar tersebut.

Bangunan Pasar Terang. - Dokumentasi pribadi
Bangunan Pasar Terang. - Dokumentasi pribadi

Walau kini hanya menyisakan bekas bangunan, tetapi dengan sorot sinar lampu terang yang menyala membuat bangunan pasar tersebut terlihat menyala. Seakan kembali bangkit dari kuburnya dan menyapa para penikmat Kya-Kya Kembang Jepun untuk mengambil foto atau video di dekatnya. 

Saya merasakan tarikan itu begitu nyata ketika banyak pengunjung yang melakukannya. Terbukti dengan reaktivasi wisata malam ini membuat bangunan yang terabaikan menjadi hidup kembali.

Saya pun berjalan dan mencari kuliner apa yang kira-kira cocok untuk saya santap. Namun, kebingungan saya lebih kepada tidak adanya tempat duduk untuk menyantap berbagai hidangan tersebut. Padahal, saya sudah ingin sekali berbagai kuliner yang dijual seperti ayam panggang, makanan Chinese food semacam bakmi dan kawan-kawannya, hingga aneka minuman hangat.

Tak jua mendapatkan apa yang saya inginkan, saya pun memilih menikmati lampion merah yang ada. Walau saya masih bingung mau menjelajah bagian mana, setidaknya saya masih melihat usaha untuk mengonsep kawasan ini lebih baik. Pun dengan aneka meja dan kursi yang ditata sedemikian rupa. Pada beberapa meja, tampak terjadi interaksi antara warga keturunan Tionghoa dengan non-Tionghoa.

Pengunjung berfoto di sebuah ikon Kya-Kya. Dokumentasi pribadi
Pengunjung berfoto di sebuah ikon Kya-Kya. Dokumentasi pribadi

Beberapa bahkan saya menemukan warga yang bercakap-cakap dalam bahasa Madura satu meja dengan keluarga Tionghoa. Mungkin, pemandangan ini baru kali saya temukan di Surabaya di Kya-Kya yang menyatukan berbagai latar masyarakatnya. Terbukti, meski nuansa Tionghoa sangat khas, tetapi Kya-Kya Kembang Jepun bisa dinikmati oleh siapa saja.

Setelah mencari tempat, akhirnya saya mendapatkan tempat duduk di emperan toko. Saya pun membeli beberapa buah bakpao isi jamur. Sembari mengamati suasana, saya jadi teringat sebuah jurnal mengenai kriteria sebuah kawasan heritage yang dibangun kembali. Saya mencoba membandingkan apa yang saya amati dengan kriteria yang seharusnya dimiliki olej kawasan tersebut.

Gemerlap Lampion. - Dokumentasi pribadi
Gemerlap Lampion. - Dokumentasi pribadi

Pertama, desain kawasan heritage harus memiliki identitas yang khas. Dalam hal ini, Kya-Kya sudah cukup merepresentasikan kawasan Pecinan di Surabaya. Ikon gapura merah dan lampion beserta beberapa bangunan bersejarah. 

Namun, identitas berupa kawasan bisnis dan perdagangan yang dulu menjadi ikon Kembang Jepun belum kentara. Terbukti, masih banyak pengunjung yang mengira bahwa kawasan ini sengaja dibangun sebagai kawasan Pecinan untuk wisata malam.

Pedagang makanan hot plate. Dokumentasi pribadi
Pedagang makanan hot plate. Dokumentasi pribadi

Kedua, desain kawasan heritage harus mampu menjembatani masa lalu dan masa kini. Meski sekarang bangunan di kawasan Kembang Jepun sudah beralih fungsi, tetapi memori masa lalu harus tetap dirawat. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memasang foto atau memutar video mengenai kawasan Kembang Jepun masa lalu. Cara ini belum dilakukan oleh Pemkot Surabaya karena titik perhatian masih kepada wisata kuliner.

Atraksi penyanyi di Kembang Jepun. Dokumentasi pribadi
Atraksi penyanyi di Kembang Jepun. Dokumentasi pribadi

Ketiga, kawasan heritage harus memiliki daya tarik yang membedakan dengan kawasan lain. Mengenai daya tarik ini sebenarnya, Kya-Kya Kembang Jepun sudah memilkinya berupa lampion dan gapura tadi dengan berbagai stan makanan bernuansa Tionghoa. 

Beberapa spot berfoto pun juga sudah tersedia. Daya tarik lain yang bisa digali adalah dengan adanya tampilan atau even khusus seputar budaya Tionghoa yang bisa dilakukan dalam periode tertentu. 

Semisal, adanya pertunjukan wayang potehi yang belum dimiliki oleh kawasan Pecinan lain. Meski sulit, tetapi jika bisa dilakukan, maka akan menjadi nilai plus tersendiri bagi Kya-Kya Kembang Jepun.

Penonton yang memadati kawasan Kya-Kya. Dokumentasi pribadi
Penonton yang memadati kawasan Kya-Kya. Dokumentasi pribadi

Selain ketiga kriteria tadi, tentu masalah lalu lintas menjadi pekerjaan tersendiri. Para pengunjung belum banyak menggunakan Suroboyo Bus untuk menuju lokasi Kya-Kya. Padahal, ada halte yang berada dekat dengan Kya-Kya yakni Halte Jembatan Merah. 

Halte di sekitar Jalan Veteran tempat angkot dan bus kota pun juga tak berfungsi maksimal. Kondisi ini cukup kontradiktif dengan ramainya tempat parkir yang penuh sesak oleh kendaraan.

Ayam panggang yang menggoda. Wisata kuliner memang jadi andalan di Kya-Kya - Dokumentasi pribadi
Ayam panggang yang menggoda. Wisata kuliner memang jadi andalan di Kya-Kya - Dokumentasi pribadi

Masalah transportasi memang tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan terutama di kawasan wisata ramai seperti ini. Pihak Suroboyo Bus juga belum terlihat menyosialisasikan bagaimana cara menggunakan Suroboyo Bus menuju Kya-Kya. Mereka juga belum berniat memperpanjang waktu operasional saat Kya-Kya beroperasi.

Pelataran toko yang disulap menjadi tempat makan.- Dokumentasi pribadi
Pelataran toko yang disulap menjadi tempat makan.- Dokumentasi pribadi

Padahal, saat kualifikasi AFC dulu, Suroboyo Bus sempat memperpanjang waktu operasional bus hingga pukul 11 malam. Jika operasional bus bisa diperpanjang, maka banyak pengunjung akan tertarik datang menggunakan transportasi umum dan mengurangi kemacetean.

Nah, konsep yang lebih tertata semestinya bisa dilakukan dengan membagi Kya-Kya Kembang Jepun dalam beberapa zona. Mulai zona untuk kuliner yang menjadi mayoritas, zona untuk belajar sejarah, zona atraksi, dan zona lain yang diperlukan. 

Konsep yang lebih tertata akan membuat orang betah kembali datang. Lantaran, biasanya wisata malam semacam ini jika tidak ditata dengan lebih baik, maka akan ditinggalkan. Kya-Kya pun bisa mati suri lagi dan warga Surabaya akan memilih pusat perbelanjaan yang kian menjamur.

Semoga penataan Kya-Kya Kembang Jepun betul-betul bisa lebih terkonsep dan tak semata menonjolkan wisata kuliner. Surabaya sudah bagus menata Alun-Alun barunya yang kini menjadi ikon khas dan tujuan utama ke Surabaya. Tinggal bagaimana Kya-Kya Kembang Jepun ini apakah akan tetap eksis atau kembali tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4