KS Story
KS Story Petani

Kisah PNS Asyik Bertani Di Sebuah Kebun Mini Miliknya, KS Garden Kuansing Namanya. (Kebun Buah Yang Disinari Matahari, Sayuran Yang Berwarna Cerah, Mimpi Yang Dipanen, Keranjang Berlimpah, Usaha Yang Membuahkan Hasil, Akar Yang Bersemangat, Panen Manis, Dari Ladang Ke Meja Makan😅)

Selanjutnya

Tutup

Video

Potret Kehidupan Episode 89 Tenang Itu Mahal

14 April 2024   18:18 Diperbarui: 14 April 2024   18:35 1174 1 0

Dokpri
Dokpri



Potret Kehidupan Episode 89

Tenang Itu Mahal

Hai....hai..hay....., 

Lagi-lagi cerita tentang KITA. Kisah KITA akan abadi dalam rangkaian kata. Bagaimana KITA bisa melupa, sedangkan malaikatpun turut mencatatnya. Rasa yang bertahta bahkan semakin kuat oleh seringnya pertengkaran antara KITA. Bahkan saat terpisah jarak, apa-apa yang sudah terucappun, perihnya sangat terasa. Terkadang emosi yang menggila sama-sama KITA pelihara. Saat meluap memanaskan isi kepala. Kata demi kata bak belati yang tajamnya menusuk rongga dada. KITApun mengakhiri semuanya dengan tangis tanpa isaknya. Air mata yang tertahan keluarnya tak mampu menjadi saksinya. Tapi perih dihati tak mampu menyembunyikannya. Terkadang, keangkuhan yang menutup pandangan KITA. Yang sebelumnya begitu mudah menerima segala kekurangan yang ada. Lagi-lagi emosi yang telah memenangkannya. Terkadang, ego KITA meninggi sepuncak gunung yang tak kuasa KITA mendakinya. KITA tahu, KITA mencintai dengan tidak tahu diri. Ya Tuhan, sadarkanlah KITA yang selalu tidak tahu diri dalam mencintai! Kuputuskan mundur dan berdiam seribu bahasa. Mencoba menerima dan menjadikannya kenangan yang mungkin tak bisa kulupa. Dan kenangan itu, abadi dalam rangkaian kata. 

Ini bukan cerita KITA yang sekarang ya gaesss. Ini hanyalah sepenggal cerita KITA di masa silam yang abadi dalam rangkaian kata. Ketika itu KITA masih LDR an, sama-sama masih kerja di bank, tapi beda kota. Mereka bilang hidup KITA udah enak, karena sudah memiliki pekerjaan kali yaaa. Padahal KITA tu gelisah tiap hari. Cuma mengeluh, bukanlah sifat KITA.

Bekerja atau berkarir di sebuah bank terkenal bagi generasi KITA saat itu merupakan hal impian dan sangat membanggakan. Gaji yang dikira sangat besar, bekerja di tempat yang mewah, dan bisa dibanggakan itu, menyisakan banyak pertanyaan. Apakah tempat kerja tersebut membuat hati tenang? Belum tentu. Bekerja dengan gaji melimpah sekalipun, seringkali pulang bekerja merasa gelisah, banyak sekali cobaan yang datang dikehidupan, bahkan uangpun hilang tak bersisa.

Apa yang bisa dilakukan ketika keadaan seakan tidak mendukung KITA bekerja di tempat itu? Jawabannya ada di hati KITA masing masing, masih maukah berlanjut dengan yang tampak dan pujian duniawi namun tersiksa bathin atau takut meninggalkan status sosial dan memilih mencari ketenangan hati. Ini murni soal pilihan KITA saja selama hidup.

Gaees, lebaran kemaren KITA dikunjungi temen SMP. Ujung-ujungnya KITA dan orang tua ngebahas tentang  bagaimana suami teman KITA itu yang juga meninggalkan pekerjaan tetapnya demi hidup tenang. KITA bercerita ngalor ngidul bahwa meninggalkan pekerjaan yang mencukupi kehidupan KITA itu memang berat. Akan tetapi apakah KITA ingin bergelimang kesenangan yang tampak dipermukaan saja tapi tiada ketenangan di hati KITA? Itulah pilihan. Akan ada semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang bakal muncul dan menghantui KITA pada saat KITA membuat sebuah keputusan yang terkadang tidak populer di mata orang-orang. Begitulah cerita KITA kemaren pas momen lebaran.

Pesan KITA cuma satu; "Hidup KITA itu spesial. KITAlah yang menjalaninya, bukan orang lain. Maka lakukan yang terbaik, terus belajar, insyaallah orang-orang akan diam berkomentar".

Pengalaman Pribadi;

Sekitar tahun 2006, saya mengajukan resign dari bank yang kedua. Dan keputusan saya ini sebenarnya ditentang oleh banyak pihak, terutama keluarga. Ibu dan beberapa saudara menyayangkan hal ini, karena gaji saya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bisa untuk beberapa kali liburan. Di pikiran mereka, mungkin karena gaji sudah tetap dan rutin setiap bulan beserta bonusnya itu, itu sudah aman. Tapi kan aman, belum tentu nyaman. Setelah resign itu, saya beralih menjadi pemilik sebuah butik kecil dikota tempat suami bekerja. Itulah usaha saya yang pertama. Saya menjadikan insentif suami, untuk modal usaha. Hasilnya? Ibaratnya, cukup untuk makan sehari-hari saja. Tidak ada lagi kongkow-kongkow bareng teman di cafe. Tapi yang saya rasakan, saya waktu itu lebih nyaman dan tenang dengan hidup KITA. Kan sudah satu atap, gaees. Tidak seperti saat saya masih di bank yang cepat capek, pulang malam, lembur, pisah ranjang, banyak tagihan kartu kredit, dll. Karena apa-apa suka geses-gesek, keenakan. Circle pertemanan semakin mengecil. Bahkan saya jadi punya waktu untuk belajar tentang menjahit dan, memasak. Banyak perubahan. Saya dulu ga berhijab gitu, duuh pake rok singkat yang tidak lupa pake stocking abu-abu. Setelah menikah sudah berhijab dan alhamdulillah. Walaupun dengan gaji suami yang terbatas, saya masih mao memilih membuka usaha kecil-kecilan. Walaupun bisa dibilang masih pas-pasan, tapi saya cukup nyaman dengan pekerjaan saya saat itu dan lebih happy.

Cerita ini kisah nyata saya, resign tidak untuk diperdebatkan masalah halal dan haram. Semua keyakinan diri masing-masing. Berbeda boleh, tapi bukan berarti untuk membenci. Saya menghargai teman-teman yang masih bekerja di Lembaga Keuangan, tidak akan pernah membenci kepada orang yang masih bekerja disana. Karena setiap orang punya KEYAKINAN yang beda. 

Suami juga keluar dikarenakan banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hidup tidak tenang, beribadah yang harusnya memikirkan Allah malah memikirkan pekerjaan, berangkat gelap pulang gelap ketemu anak dan istri juga udah pada tidur, kayak diperbudak waktu aja, yang puncaknya banyak masalah dalam pekerjaan, rekan kerja di cabang kalau lagi badmood juga nyari pelampiasan ke suami saya, bahkan ke adik saya. Kadang dicari-cari kesalahan yang ga logis. Tapi mereka malah bersyukur digituin rekan kantornya dulu, hingga itu yang membuat mereka berdua ingin meninggalkan pekerjaan mentereng itu.

Ada kata-kata yang menarik diceritakan, saat KITA resign itu. "Kalau kamu resign kamu mao makan apa? Kamu sudah siap? Hehehe. Pikiran saya kacau saat itu, anak masih belum ada, umur dah 27 tahun, menikah umur 25 tahun. Gaji saya sebenernya juga pas-pasan, sih untuk ukuran LDR-an. Kebetulan gaji saya saat itu udah 3 digit belum termasuk bonus dan lain-lain dengan pendapatan setahun lumayanlah. Namun keluarga ikhlaskan saya untuk terus resign, setelah saya memberanikan diri bicara dengan ayah saya, dan dikabulkan. Awalnya ibu saya tidak mengijinkan. Namun akhirnya setelah negosiasi, diijinkan dengan alasan saya mau buka usaha. Saya waktu tu berfikir, kalau gagal nganggur juga gapapa asal ga kerja di bank lagi. 

Banyak banget cobaan menghadapi omongan orang perihal keputusan resign ini. "Anda kurang apa, umur anda masih dibawah 30 tahun, anda salah satu calon kepala unit di bank ini yang paling muda, karir anda sudah baik, anda sudah meraih kesuksesan, melanjutkan saja apa yang di depan mata, mensyukuri saja, banyak yang mau seperti anda!". Tapi saya udah kekeuh pengen keluar, namanya juga udah yakin, berkaca pada salah satu Quote, Trust him! Saya, janji ga akan balik lagi ke bank, karna udah yakin benar akan prinsip saya. 

Masyaallah ketika resign, rejeki bertubi-tubi datangnya. Butik kebuka, saya hamil pulak, itu artinya setelah resign hati tenang bebas stres dan alhamdulillah selalu sehat meski gaji berkurang jauh, wkwkka. Tapi kan, saya dekat dengan suami, bisa menjadi enterpreneur sejati dan saya bisa mengatur sesuka hati, punya banyak planning. Hidup tenang ga diganggu pekerjaan yang sampe malam, weekend pulang kampung ketemu ortu. Bahkan saya yang biasa dulu di meja kerja, saya harus belanja ke pasar naik becak, jadi kasir, jadi pelayan minimarket, nyiapin laki makanan dan minuman haha. Seru bangetlah pokoknya. Intinya KEBERANIAN dan PERCAYA pada pemberi rezeki yaitu Allah, bukan kantor ato bos. Sembari saya bisnis, zaman masih anak satu, saya malah disuruh nyokap tes CPNS. Kerja kantoran lagi, deeeh. Dan gaji alhamdulillah sudah cukup, cukup makan maksudnya. Tapi yang pasti waktu sudah cukup untuk keluarga.

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang ketika itu sulit untuk KITA jelaskan. Ada juga dulu yang nanya gini ke suami saya. "Eh, susah ga sih nyari kerja setelah resign dari bank?". Dijawabnya; "Susah banget...! Apalagi gue ga niat melamar kerja lagi". "Uang kemana aja selama ngumpulin 10 tahun di bank?. "Jadi rumah toko, dan beberapa tanah dan usaha. Mesin dan peralatan. Bukan yang menguap begitu saja buat hura-hura. Eits ini jatuhnya sih debat, gue ga mau debat ame lo". Dia mah gitu orangnya, ga banget debat-debat tu. 

Banyak yang ngajak KITA debat saat itu, tapi saya dulu banyak diem nya. Ga mbales. Sekarang, saya cuma mao share pengalaman aja bukan yang ngajarin, ini murni tentang tenang itu mahal. Ada yang bilang gini; "Mas karir bagus, susah masuk malah resign?, duuh!". Dijawabnya selow; "Hidup itu pilihan sih, KITA siap menjalani resiko dan tak akan menyesali keputusan KITA". Yang masih kerja tapi pengen keluar bilang gini; "Mas enak resign udah ada usaha, ada rumah yang bisa kepake buat usaha, nah yang lain belum seberuntung sampeyan, ya kan?". Dia tertawa ; "Hah, kalau liat dari ending storynya istri sih keliatannya enak ya, kamu tau ya, saya pernah ngerasain hidup dari usaha yang enggak dapat sama sekali selama berbulan-bulan? Keuntungan harus bayar gaji karyawan. Sisanya buwat biaya operasional. Kamu pernah tau? Usaha saya menyisakan piutang dagang yang nominalnya fantastis, sehari-hari hanya nutup biaya operasional dan gaji karyawan".

Banyak lagi pertanyaan yang baru kali ini KITA bahas. Masih ingat, kerabat KITA pernah bilang ini? "Kamu ngasih nafkah ke istri dan anak gimana?". Dijawabnya "Ga ada! Hahaha. "Tapi istri kuat kok, saat itu sehari-hari kalau bisnis lagi sepi, nutup biaya dari gaji pegawai nya istri saya, alhamdulillah istri saya ga ngeluh. Tapi Allah ga menutup matanya, Allah selalu bantu saya dari manapun, contohnya: dapat angsuran hutang tanpa diminta dari rekanan dulu-dulu yang pernah ngutang ke saya, pas doa "ya Allah mudah-mudahan ada rezeki lagi ya allah, saya harus ganti uang istri saya, eh ga taunya ada yang pake ilmu saya buat bantu gawehan proyek dari rekan entah itu buat perumahan, pabrik, dsbnya. Pokoknya banyak hal cerita yang tak terduga".

Lucunya ya, ada lagi begini. "Mas jangan ngajak resign kalau orang bank udah bahagia!". Ha-ha-ha. "Saya ga ngajak mas, saya cuma cerita seperti di story istri saya, aja. Tidak untuk diperdebatkan, saya menghormati rekan-rekan semua, bahkan sampe saat ini saya masih sering ketemu ex rekan saya dari security sampe level AOnya. Bahkan temen-temen seangkatan saya dulu yang sekarang masih bekerja karirnya sudah jadi kepala cabang di daerah, jadi manajer, mereka happy banget hidupnya. KITA yang sudah ex-bank menghormati mereka, begitu juga mereka menghormati KITA, KITA masih sering berkumpul dan ngobrol-ngobrol tanpa cerita tentang hal-hal berkaitan dengan bank".

"Yang lain ada ga mbak cerita-cerita teman mbak? "Banyak mas, banyak yang sukses secara materi dari saya, ada yang jadi pengusaha kafe cuci mobil, karyawan diluar perbankan, ada yang jadi pejabat karna nyalon, ada yang jadi CEO, ada yang jadi PNS kayak saya. Saya padahal pas nyalon CPNS udah resign, udah punya karyawan, ga tau lagi mao ngerjain apa, eh malah qodarullahnya diterima. Ada juga teman yang masih berjuang, ada yang sambil nyari-nyari kerja nyambung hidup jualan kerupuk kulit door to door, padahal dulu jabatan dia di kantor bank itu sudah manajer yang gajinya udah cukup lumayan. Intinya tetap sama, tenang itu mahal. 

Gaess! Fokus saya hanya sharing pengalaman. Kemaren pas lebaran reunian ama temen SMP. Suaminya juga resign padahal udah kepala cabang. Gini katanya. "Saya dulu sebelum resign sempat sholat minta petunjuk sama Allah apakah harus resign apa tidak?Tetapkanlah bagiku kebaikan di mana pun kebaikan itu berada dan ridhailah aku dengan kebaikan itu. Doa tersebut dalam sholat dibaca berulang-ulang. Hingga suatu hari saya diberi kemantapan hati oleh Allah bahwa saya harus resign, nyari duit gimana nanti urusan Allah. Saya sami'na wa atho'na (kami dengar kami taat). Jadi saya tidak asal resign, katanya gaees. Saya juga curhat sama Allah sang pemilik ruh umat manusia". Begitulah hasil reuni kami kemarin pas lebaran, hingga terinspirasinya tulisan episode 89 ini.

Saya hanya menulis pengalaman saya pribadi, bukan untuk di debat, saya sendiri ga berani nyebut diri ini hijrah, ilmu saya juga cetek sekali. Ketika lulus kuliah hingga dua bank saya kerja dan ditempatkan di kota yang berjauhan dengan suami. Demi satu atap, saya mengalah. Dulu belum serame sekarang perihal resign bank ini. Ini murni hanya ingin bersama aja. Akhirnya saya putuskan resign, dan pindah ke satu kota kecil di ujung riau dengan gaji 0% dari gaji saya sebelumnya. Jangan ditanya, gimana rasanya gaji anjlok, belum lagi saya juga masih yang enggak di support keluarga mertua, cukup perih, karena saya ga punya sodara dikota itu bahkan pernah sehari saya ga mao selera makan karena diawal-awal hidup bersama. KITA tinggal di rumah kontrakan yang super duper sempit, mana lagi cicaknya besar-besar pulak. Saya takut sendiri dirumah, karena terkaget-kaget lihat cicak asal agak gede dikit, udah bawaannya kek yang liat buaya gitu ha-ha-ha. Tiap sebentar saya menangis menelpon suami, sampai akhirnya KITA emang pindah kontrakan yang agak lumayan tenang, karena lagi hamil muda. Sekali lagi ini cerita saya pribadi tentang mahalnya harga sebuah ketenangan. Saya juga bukan mau ajak berdebat soal pekerjaan, sekali lagi ilmu saya cetek. Dan kita punya keyakinan masing-masing.

Tentang Tenang Itu Mahal,

Iya bener. Saya tidak ingin menyebut proses saya ini hijrah namun saya menyebut saya dalam proses memperbaiki diri tentunya hingga saat ini. Mohon maaf sebelumnya, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mencederai siapapun, saya hanya ingin menuangkan pengalaman saya saja selepas saya meninggalkan kantor saya dulu. Baru sekarang, saya hanya mencoba membuatkan poin-poin agar memudahkan untuk difahami kenapa saya ingin memutuskan resign ketika itu. Pulang ke rumah selalu gelisah, entah apa yang ada di benak saya tapi tidak bisa dijelaskan. Tidak ada masalah di dalam ruang lingkup pekerjaan, semuanya normal, namun di kantor itu, saya merasa ga fokus. Sering mimpi buruk dan ngelindur ga jelas. Gaji yang saya terima atau uang yang saya dapat entah itu dari gaji atau insentif kinerja nguap ga tau kemana. Padahal saya sudah ada pos nya sendiri-sendiri. Berbagai perasaan gundah gulana, gelisah, cemas, campur aduk kalau kata bahasa sunda mah (rieut, riweuh, rudet). Saya alami dan saya beranikan cerita ke orangtua saya, saya jelaskan satu persatu poin di atas dan saya minta solusi mereka. jawaban mereka "silahkan dekatkan kepada Tuhan, nanti Tuhan kasih petunjuk dengan berbagai macam cara".

Tentang Tenang Itu Mahal,

Saya memutuskan untuk belajar memperbaiki diri dengan belajar tentang banyak hal. Saya berusaha menggali ilmu sebanyak-banyaknya agar hati saya mantap. Alhamdulillah saya ga perlu berlama-lama bekerja di bank, saya putuskan untuk resign. Saat itu atasan langsung saya menyarankan untuk menunggu bonus tahunan cair dulu, namun hati saya sudah terlanjur sudah rela melepas pekerjaan itu. Banyak orang yang meyayangkan keputusan saya ini, tapi buat saya selama keluarga mendukung saya dan saya masih berdiri di jalan yang benar, Insya Allah, Allah pasti berikan jalan-Nya.

Bismillah, saya saat ini sudah belasan tahun menjalani hidup sesudah resign, you can see? Saya masih hidup, saya masih bernafas meski ekonomi tak selalu diatas. Hidup tak selamanya di bawah, tak ada yang abadi. Setidaknya itu yang saya yakini. Saya diberikan kekuatan dan istiqomah di jalan Allah untuk bisa kembali lagi memperkuat ekonomi keluarga dan umat. Saya ingin banyak membantu orang-orang yang sulit seperti halnya saya di saat sulit. Itulah kenapa saya selalu ingin punya usaha diluar pekerjaan kantoran. Saya itu sudah begitu dari dulu, bahkan dari sejak masih gadis. Bukan sekarang-sekarang aja saya sok sibuk, emang sibuk gitu lho, gaess.

Selama berkebun-kebun dua tahun terakhir ini, KITA berdua masih juga kerap diremehkan. Banyak homo sapiens yang masih mengira kalau KITA yang bukan kuliah di pertanian ini nggak akan bisa bercocok tanam. Asem tenan! Padahal akhir-akhir ini dunia pertanian sedang naik daun. Mulai digandrungi masyarakat. Iya, bahkan publik figur. Sebut saja Susno Duadji juga nanam jagung kok, Mark Sungkar juga sibuk bercocok tanam. Bisnis tani mereka bukan kaleng-kaleng, ya gaees! Terbukti makin banyaknya orang yang belajar menanam. KITA yang ecek-ecek ini masih saja disorot, kenapa KITA itu memutuskan jadi petani dan tidak identik lagi sebagai pegawai kantoran. Padahal sebenarnya yang milih untuk terjun langsung di lahan itu KITA hanya seminggu paling banyak dua kali. Banyak opsi pekerjaan, yang enggak semua harus KITA ceritakan. Ingat ya, dunia pertanian itu sangat luas. Jadi pertanian nggak melulu harus jadi petani atau nyangkul. Lebih dari itu.

Bahkan ada yang sampai memberi stigma kalau KITA  bertani itu nggak akan sukses di masa depan, ketimbang kerja kantoran. "Owh begitu...?". Tercengang pula KITA kan, mendengarnya hahaha. Sejak saat itu, KITA semakin semangat bisnis tani nya. Kalian tau ga? Uniknya yang masuk ke pertanian saat ini, nggak hanya orang-orang kampung yang ndeso, medok, dan apa adanya itu. Tapi, orang-orang kota yang modis lagi perfeksionis banyak yang kaya bertani. Yang dari style-nya kayaknya belum pernah megang pacul. Saat ini dunia pertanian tak bisa dibilang menjadi pelarian bagi orang keliatan nganggur alias pensiun. KITA berdua yang masih memiliki pekerjaan lainpun, juga senang banget mendalami dunia tani. 

KITA sebagai pasangan yang mencoba berkebun-kebun ini, merasa tersudut ketika banyak orang meremehkan giat ini. Bikin mangkel. KITA sendiri yang ingin nyemplung di dunia pertanian ini. KITA sendiri kuq, yang ingin merasakan manis-pahit hiruk pikuknya dunia percangkulan. Meski KITA anak teknik, gapapa. Yang paling penting KITA menyadari bahwa begitu gentingnya urusan perut. Yap, pangan. Pangan nggak akan sampai dengan sendiri di meja makan. Ada alurnya. Petanilah yang pertama kali menumbuhkan tanaman yang jadi cikal-bakal makanan yang kita makan.

Maka berhentilah kalian meremehkan KITA. Selama manusia belum bisa memakan pasir, batu, kertas, sampai saat itu pula pertanian akan tetap dibutuhkan. Kalau sampai masih ada orang-orang yang ngeremehin, pesan saya satu, makan saja omonganmu itu. Jangan makan hasil pertanian.

Hidup ibarat roda yang terus berputar, dan KITA di dalamnya berlarian. Berusaha mengikuti putaran, terkadang mempercepat rotasinya, namun  sering pula KITA tersengal kelelahan dibuatnya. Kadang KITA hanya berjalan  penuh kepastian, di lain waktu KITA hanya mengalir berdasar keyakinan. 

Hidup selalu butuh manusia lain untuk berpasangan. KITA butuh dukungan...., dorongan..., dan juga sandaran untuk bisa menjulang. Kadang saat berdua, KITA tak pula sepaham, namun lewat komitmen, KITA bisa terus sejalan. KITA berlomba mendorong diri,  memanjati temali kehidupan. Menuju atas, menaiki jenjang karir, dan meraih kemajuan. Kadang jalur itu tak lancar, kadang ia berbelit, kadang pula ia berayun dan memaksa KITA turut atau bahkan berpindah menggenggam  temali lain. Kadang KITA ditertawakan dan sesekali menertawakan. Tingkah KITA, gaya hidup KITA, pandangan KITA atau bahkan tak jarang tampilan lahir KITA. Namun sering pula kalian lupa, sebegitu kalian bisa menertawakan KITA, sebegitu bisa pula kalian  ditertawakan oleh KITA. Yeah, saat KITA anggap orang lain badut, dan tanpa sadar pula bahwa KITA bisa juga jadi badut bagi orang lain.

Lalu, apa juga yang disombongkan. Toh, hidup ini sama ibarat sirkus. KITA mau berperan jadi apa semua balik ke KITA. KITA mau tertawa atau ditertawakan, semua akan balik ke KITA. Namun, satu hal, pada akhirnya, peran  apapun yang dipilih, KITA usahakan menyisakan akhir yang bahagia. Entah itu bahagia bagi KITA, maupun orang lain di dunia.

"Tenang itu mahal, istiqomah itu berat, yang ringan itu, __ ya istirahat. Selamat leha-leha, dear......!"

#KSStory#KSGarden#KSMotivasi

#Reel#fbpro#fyp#vod

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4