A.Pendahuluan
Ijtihad telah dikenal dan dipraktekkan oleh umat Islam semenjak zaman Rasulullah saw. masih hidup, dan terus berkembang pada masa sahabat serta generasi-generasi berikutnya. Para sahabat melakukan ijtihad selain karena mendapat dorongan dan bimbingan Nabi saw, juga atas inisiatif dari kalangan sahabat itu sendiri. Cukup banyak riwayat yang dapat dirujuk yang menunjukkan upaya yang dilakukan oleh para sahabat dalam berijtihad. Misalnya riwayat yang menceritakan ijtihad Umar tentang hal yang membatalkan puasa dan ijtihad tersebut secara hukum telah dibenarkan oleh Nabi saw.
B.Pegertian ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “جهد “yang berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”. Ringkasnya, ijtihad berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja keras dan gigih untuk mendapatkan sesuatu”. Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im ijtihad berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas sesuatu masalah ketika alQur’an dan al-Sunnah diam tidak memberi jawaban. Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun para perintis hukum pada kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para ulama atas suatu masalah harus dijadikan sebagai salah satu sumber syari’ah. Dan al-Qur’an dan Sunnah itu yang mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber syari’ah.
Adapun secara terminologis, definisi ijtihad yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqh adalah: “Pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i”. Pada pengertian ini ijtihad memiliki fungsi mengeluarkan (istinbat) hukum syar’i, sehingga ijtihad tersebut tidak berlaku di lapangan teologi dan akhlaq. Dan pengertian ijtihad menurut ulama ushul fiqh inilah yang dikenal oleh masyarakat luas. Adalah Ibrahim Hosen yang dalam hal ini mewakili kelompok ahli fiqh dalam definisi ijtihad membatasinya dalam bidang fiqh saja, yaitu bidang hukum yang berhubungan dengan amal. Sedangkan bagi sebagian ulama lainnya, seperti Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku dalam dunia tasawuf. Demikian juga pendapat Harun Nasution yang mengatakan ijtihad di dalam fiqh merupakan definisi ijtihad dalam arti sempit, sementara dalam arti luas ijtihad juga berlaku di bidang politik, akidah, tasawuf, dan juga filsafat.
C.Dasar hukum dan hukum ijtihad dalam islam
1.Dasar hukum ijtihad
Dasar Hukum Ijtihad adalah landasan atau dasar yang digunakan untuk melakukan ijtihad dalam pengambilan keputusan hukum Islam. Ijtihad sendiri adalah usaha maksimal seorang mujtahid (orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad) dalam menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumber syariat Islam yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Berikut adalah dasar hukum ijtihad dalam Islam:
a.Al-Qur'an:
Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam tidak selalu memberikan jawaban langsung untuk setiap persoalan yang timbul dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, untuk memahami dan menafsirkan makna serta penerapannya dalam situasi yang tidak tercantum secara eksplisit dalam teks, ijtihad diperlukan. Salah satu ayat yang menjadi dasar ijtihad adalah:
Surat An-Nisa' (4:59):
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Hadis), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian."
Ayat ini menunjukkan pentingnya merujuk kepada sumber-sumber yang lebih tinggi (Al-Qur'an dan Hadis), namun bila tidak ditemukan jawaban yang jelas, maka ijtihad oleh ulama atau pemimpin yang kompeten sangat dibutuhkan.
b.Hadis:
Hadis Nabi Muhammad SAW juga memberikan dasar hukum untuk ijtihad, karena meskipun hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an, tidak semua masalah bisa ditemukan jawabannya dalam hadis. Oleh karena itu, ulama dapat menggunakan ijtihad untuk menafsirkan atau mengembangkan hukum dari hadis-hadis yang ada. Salah satu hadis yang sering dijadikan dasar ijtihad adalah:
Hadis Riwayat Al-Bukhari:
"Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapatkan satu pahala."
Hadis ini mengindikasikan bahwa ijtihad diperbolehkan dalam Islam, bahkan diakui sebagai usaha yang sah dalam menetapkan hukum ketika tidak ada dalil yang jelas.
c.Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum setelah Al-Qur'an dan Hadis. Jika suatu masalah tidak ada ketetapannya dalam Al-Qur'an dan Hadis, ulama yang kompeten dapat berijma' (bersepakat) mengenai penerapan hukum tersebut. Dalam hal ini, ijtihad merupakan langkah yang sah untuk mencapai konsensus tersebut.
d.Qiyas
Qiyas adalah penetapan hukum berdasarkan analogi atau persamaan antara masalah yang tidak memiliki dalil dengan masalah yang sudah ada dalilnya. Qiyas sangat bergantung pada ijtihad seorang mujtahid. Sebagai contoh, jika ada hukum mengenai larangan khamr (minuman keras), maka bisa dilakukan qiyas untuk mengharamkan barang-barang lain yang memabukkan.
2.Hukum ijtihad dalam islam
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
a.Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
D.Syarat-syarat mujtahid
Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh karena itu para ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-syarat yang menyangkut pribadi maupun syarat-syarat keilmuan yang harus dimilikinya.
Menurut Abdul hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus memenuhi empat syarat ijtihad, yaitu:
1.Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.
2.Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.
3.Menguasai ilmu ushul fiqh.
4.Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.
Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka sesorang tidak dapat dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad.
E.Ruang lingkup dan macam-macam ijtihad
1.Ruang lingkup ijtihad
Dilihat dari sisi ruang lingkupnya, ijtihad dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu:
a.Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Alquran dan Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dhoni atau ayat-ayat Alquran dan hadis yang statusnya dhoni mengandung banyak penafsiran sehingga memerlukan upaya ijtihad untuk sampainya pada ketentuan yang meyakinkan.
b.Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah Al-Mu’ashirah, yaitu hukum Islam tentang sesuatu yang baru, yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Alquran, hadist, maupan Ijmak para ulama'.
2.Macam-macam ijtihad
Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi, sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga macam:
a.Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukumhukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
b.Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukumhukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
c. Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukumhukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
Maksud istislah adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf Qordhowi mencakup tiga tingkatan:
a.Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia.
b.Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya.
c.Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang baik.
F.Kesimpulan
Ijtihad dalam istilah hukum Islam merujuk pada usaha intelektual yang dilakukan oleh seorang mujtahid (ulama yang memiliki kemampuan tinggi dalam ilmu agama) untuk menggali atau mencari hukum Islam berdasarkan sumber-sumber syariat, yaitu Al-Qur'an dan Hadis, ketika tidak ada ketentuan yang jelas tentang suatu permasalahan dalam kedua sumber tersebut.
Ijtihad memiliki peran penting dalam memberikan solusi terhadap permasalahan hukum yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis. Melalui ijtihad, ulama dapat mengembangkan hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial. Hukum dan Lapangan Ijtihad mencakup ruang lingkup dan area di mana seorang mujtahid (ahli fiqh) bisa mengaplikasikan ijtihad untuk menetapkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip dasar Islam. mencakup hal-hal yang tidak diatur secara langsung atau terperinci dalam Al- Qur'an atau Hadis. Ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara yang sudah ada dalil atau aturan yang tegas (qath'i), seperti kewajiban shalat dan larangan berzina.