Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Guru

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Video Pilihan

Mengapa Banyak Orang Hanya Mengucapkan Hari Guru Nasional (HGN) Tapi Melupakan Selamat Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI?

25 November 2025   18:50 Diperbarui: 25 November 2025   18:50 257 5 3


Mengapa Banyak Orang Hanya Mengucapkan Hari Guru Nasional, Tetapi Melupakan Hari Ulang Tahun PGRI? Inilah kisah Omjay atau Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (biasa disapa Omjay) -- Guru Blogger Indonesia, dan ketua Ikatan Guru Informatika PGRI.

Tanggal 25 November selalu menjadi tanggal yang istimewa bagi dunia pendidikan Indonesia. Setiap tahun, foto-foto guru tersebar di media sosial, ucapan selamat mengalir deras dari pejabat, sekolah, orang tua, media, sampai perusahaan besar. Semua mengucapkan: Selamat Hari Guru Nasional (HGN).

Kami Rindu Presiden Prabowo Hadir di HUT PGRI/dokpri
Kami Rindu Presiden Prabowo Hadir di HUT PGRI/dokpri

Tetapi ada sesuatu yang terlupakan.
Ada sejarah besar yang seperti menghilang pelan-pelan.
Ada organisasi yang justru menjadi alasan mengapa tanggal 25 November dipilih sebagai Hari Guru Nasional.

Organisasi itu adalah PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Dan tanggal itu sejatinya adalah Hari Ulang Tahun PGRI.

Banyak orang hanya mengingat HGN.
Namun mengapa mereka melupakan HUT PGRI yang menjadi fondasi lahirnya HGN itu sendiri?

Sebagai seorang guru yang telah lama berada di rumah besar PGRI, saya merasa perlu menulis kegelisahan ini---bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk mengembalikan ingatan kita kepada sejarah yang agung.

1. Popularitas Hari Guru Nasional Menelan Akar Sejarahnya

Hari Guru Nasional kini menjadi brand yang sangat kuat. Setiap tahun, konten digital tentang HGN membanjiri internet. Anak-anak sekolah membuat video ucapan, perusahaan membuat kampanye bertema guru, dan bahkan selebritas ikut meramaikan momen ini.

Sementara itu, HUT PGRI tidak mendapat tempat yang sama di hati publik. Padahal:

HGN lahir dari HUT PGRI.

Tidak dapat dipisahkan.

Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 secara jelas menyebutkan bahwa Hari Guru Nasional diperingati pada tanggal 25 November, bertepatan dengan Hari Lahir PGRI.

Namun publik tidak melihat keterhubungan itu.
Yang mereka lihat hanyalah "Hari Guru".
Sedangkan "PGRI" tidak ikut disebut.

Lama-kelamaan, masyarakat merasa seolah-olah HGN dan HUT PGRI adalah dua hal yang berbeda.
Padahal keduanya satu tubuh, satu napas, satu sejarah.

2. Masyarakat Lebih Menyukai Perayaan daripada Sejarah

Ada perbedaan besar antara perayaan dan penghormatan.

HGN adalah perayaan.
HUT PGRI adalah sejarah.

Di Hari Guru Nasional, kita disuguhi rangkaian acara:

  • lomba menulis,

  • upacara istimewa,

  • siswa memberikan bunga untuk guru,

  • video-video penghargaan,

  • pemerintah memberikan sambutan nasional.

Momentum ini indah dan membanggakan.

Namun HUT PGRI membawa kita kepada hal yang lebih sunyi---lebih dalam---lebih berat:
sejarah persatuan guru Indonesia sejak 1945.

Sementara perayaan hanya butuh waktu sehari,
sejarah membutuhkan renungan, pemahaman, dan penghargaan.

Mungkin karena itulah HUT PGRI lebih sering terlupakan.
Orang lebih suka merayakan sesuatu yang ramai dibanding mengenang sesuatu yang dalam.

3. PGRI: Rumah Besar yang Seperti Tidak Disadari Kehadirannya

Banyak yang lupa bahwa PGRI adalah organisasi yang:

  • memperjuangkan status guru sebagai profesi yang bermartabat,

  • mengawal kebijakan pendidikan nasional,

  • membela guru ketika dikriminalisasi,

  • menyediakan pendidikan dan pelatihan,

  • menaungi sekolah dari TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi,

  • menjaga agar suara guru tetap didengar oleh pemerintah.

Namun karena kerja-kerja PGRI tidak selalu tampil di permukaan,
banyak orang menganggap keberadaannya biasa saja.

Padahal, selama 80 tahun, organisasi ini telah:

  • melewati masa revolusi fisik,

  • menghadapi pergolakan politik negeri ini,

  • bertahan di tengah perubahan regulasi pendidikan,

  • dan tetap setia memperjuangkan martabat guru.

Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd, sering mengingatkan:

"PGRI bukan hanya organisasi profesi, tetapi gerakan moral guru Indonesia."

Sayangnya, tidak banyak yang mencatat kalimat penting ini dalam memori pendidikan bangsa.

HGN dirayakan,
tetapi PGRI tidak diingat sebagai ruh dari peringatan tersebut.

4. Melupakan PGRI Berarti Melupakan Perjuangan Guru Itu Sendiri

Kita merayakan guru,
tetapi melupakan rumah yang mempersatukan guru selama 80 tahun.

Ini ibarat:

  • memuji pohon, tapi melupakan akarnya,

  • memuja bunga, tapi mengabaikan tanah yang menyuburkannya.

Tanggal 25 November 1945, ratusan guru dari berbagai organisasi zaman kolonial berkumpul di Surakarta. Mereka menyadari bahwa perpecahan hanya melemahkan perjuangan. Maka mereka bersumpah untuk:

bersatu dalam PGRI,

menjadi organisasi perjuangan,
organisasi profesi, dan
organisasi ketenagakerjaan.

Ini adalah sumpah yang sakral.
Ini adalah titik balik.
Ini adalah sejarah.

Tanpa peristiwa itu, tidak ada yang namanya Hari Guru Nasional.

Tetapi hari ini, sejarah itu seperti menguap dari kesadaran publik.

5. Banyaknya Organisasi Guru Mengaburkan Makna Persatuan

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul puluhan organisasi guru baru.
Kementerian bahkan mencatat ada 77 organisasi profesi guru yang diundang dalam dialog resmi.

Keberagaman organisasi tentu sah secara demokrasi.
Namun terlalu banyak wadah justru membuat perhatian publik terpecah.

Guru seperti kehilangan satu payung yang kokoh.
Publik menjadi bingung, bahkan sebagian guru sendiri tidak memahami sejarah PGRI dengan baik.

Padahal, dahulu guru-guru zaman awal kemerdekaan bersatu karena mereka tahu:

Perjuangan guru akan lemah jika terpecah-belah.

Hari ini, kita malah kembali kepada masa sebelum 1945, ketika organisasi guru beragam dan tidak satu suara.

Di sinilah pentingnya kembali mengingat HUT PGRI.
Setidaknya, sebagai pengingat bahwa kita pernah bersatu.
Bahwa kita pernah memilih jalan bersama.
Bahwa kita pernah sepakat berada di rumah yang sama.

6. HGN Harusnya Tidak Dipisahkan dari HUT PGRI

Jika Anda guru, atau murid, atau orang tua, atau siapa pun yang peduli pada pendidikan, maka ketika tanggal 25 November tiba, seharusnya ucapannya lengkap:

Selamat Hari Guru Nasional
dan
Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 PGRI

Karena keduanya adalah satu kesatuan.

HGN memuliakan guru.
HUT PGRI memuliakan perjuangan guru.

Melupakan salah satunya berarti memutus mata rantai sejarah.

7. Mengapa Kita Harus Kembali Menghidupkan Memorinya?

Sebagai seorang guru yang sudah puluhan tahun menulis tentang dunia pendidikan, saya---Omjay---merasa bahwa melupakan PGRI berarti melupakan perjalanan panjang bangsa dalam membangun karakter.

PGRI adalah saksi:

  • betapa beratnya perjuangan guru bertahan hidup di era awal kemerdekaan,

  • bagaimana guru tetap mengajar meski gaji tak dibayar,

  • bagaimana guru menjadi teladan moral masyarakat,

  • bagaimana guru menjaga pendidikan agar tetap berjalan di masa-masa sulit.

Ketika masyarakat hanya mengenal HGN, mereka hanya mengenal "guru".
Tetapi ketika mereka mengenang HUT PGRI, mereka mengenal martabat guru.

Dan itu dua hal yang berbeda.

kami merindukan presiden prabowo subianto di hut PGRI/dokpri
kami merindukan presiden prabowo subianto di hut PGRI/dokpri

8. Penutup: Mari Mengingat Sejarah, Bukan Hanya Perayaan

PGRI adalah rumah besar.
Rumah para guru.
Rumah yang telah berdiri delapan dekade dengan segala getir dan manisnya.

Tidak adil jika setiap tahun kita hanya merayakan HGN tetapi melupakan organisasi yang memperjuangkannya.

Karena:

  • tanpa PGRI, tidak ada tanggal 25 November,

  • tanpa persatuan guru, tidak ada sejarah profesi ini,

  • tanpa perjuangan panjang, tidak ada martabat guru seperti hari ini.

Hari ini, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk tidak hanya mengucapkan "Selamat Hari Guru Nasional", tetapi juga:

"Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 PGRI. Rumah kami, perjuangan kami, kebanggaan kami."

Semoga tulisan sederhana ini mampu mengembalikan ingatan kita kepada sejarah yang mulai kabur.
Semoga guru-guru muda kembali memahami akar perjuangannya.
Semoga masyarakat kembali menghargai organisasi yang memperjuangkan pendidikan bangsa.

Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sibuk merayakan hari besar,
tetapi bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah di baliknya.

Salam Blogger Persahabatan

Omjay/Kakek Jay

Guru Blogger Indonesia

Blog https://wijayalabs.com

Omjay Guru Blogger Indonesia/dokpri
Omjay Guru Blogger Indonesia/dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9