Hobinya berfikir, menulis, berkata dan melakukan apa yang telah dikatakan...

Dari Kekhawatiran Seorang Orang Tua, Lahir Kesadaran Baru tentang Gizi, Pangan, dan Kemandirian Bangsa
Awalnya, saya hanya seorang orang tua yang cemas.
Cemas karena anak saya --- yang kini menjadi atlet panahan --- tidak mau makan nasi.
Setiap kali piring nasi tersaji, ia menolaknya dengan halus.
"Enggak mau nasi," katanya, sambil tetap menatap santai.
Sebagai orang tua yang tumbuh dalam budaya belum makan kalau belum makan nasi, saya panik.
Saya takut ia kekurangan tenaga. Apalagi, latihan panahan menuntut stamina, konsentrasi, dan kekuatan fisik yang tinggi.
Namun waktu berjalan.
Hari-hari latihan berlalu, pertandingan demi pertandingan ia jalani dengan semangat.
Tubuhnya tetap kuat, pikirannya fokus, performanya stabil.
Dari situlah saya mulai memahami sesuatu:
Kenyang memang tidak harus nasi.
Kenyang Tak Harus Nasi, Tapi Harus Cukup Gizi
Dari meja makan rumah kami, saya belajar bahwa kenyang bukan soal nasi, melainkan tentang keseimbangan gizi.
Anak saya tetap bertenaga karena asupan karbohidratnya ia dapat dari sumber lain --- kentang, pempek, martabak, cireng, makanan berbahan tepung dan umbi.
Namun di sisi lain, ada hal penting yang saya sadari:
masyarakat kita bukan kekurangan karbohidrat, melainkan kelebihan.
Kita makan nasi, mi, roti, tepung --- semuanya karbohidrat. Padahal tubuh manusia butuh keseimbangan: protein, serat, dan lemak baik.
Sebagai atlet, anak saya membutuhkan protein lebih banyak --- untuk membentuk otot, menjaga metabolisme, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Ia mendapatkan itu dari ayam, telur, ikan, tempe, tahu, dan susu.
Inilah makna sejati dari program nasional Kenyang Tidak Harus Nasi:
bukan sekadar mengganti nasi, tetapi menyeimbangkan pola makan dan memperbaiki cara pandang gizi masyarakat.
Gerakan Nasional yang Harus Digaungkan
Program Kenyang Tidak Harus Nasi yang digaungkan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) adalah gerakan besar yang berangkat dari hal sederhana --- dari piring makan rakyat Indonesia.
Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo waktu itu juga pernah menyampaikan dalam acara peringatan Hari Pangan Dunia menegaskan:
"Diversifikasi pangan adalah pilihan strategis. Orang bisa kenyang tidak hanya dengan beras. Pangan lokal harus menjadi kebanggaan, bukan sekadar alternatif."
Kepala BKP waktu itu Agung Hendriadi menambahkan: "Kita ingin masyarakat bergairah mengonsumsi pangan lokal sumber karbohidrat non-beras."
Dalam roadmap diversifikasi pangan 2020--2024 waktu itu, enam komoditas lokal ditetapkan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi: singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang.
Enam bahan sederhana, tapi luar biasa.
Di sanalah kedaulatan pangan bangsa sejatinya tumbuh.
Ketahanan Pangan Dimulai dari Kesadaran Keluarga
Ketahanan pangan tidak hanya soal kebijakan negara.
Ia dimulai dari kesadaran keluarga.
Dari keputusan orang tua tentang apa yang dimasak dan disajikan di meja makan.
Dari kebiasaan sederhana mengajarkan anak-anak untuk menyukai pangan lokal.
Kini saya tidak lagi memaksa anak saya makan nasi.
Saya justru belajar darinya.
Dari kebiasaannya yang sederhana, saya menemukan pelajaran besar tentang fleksibilitas dan kecerdasan tubuh dalam memilih sumber energi.
Jika setiap keluarga Indonesia mulai membuka diri pada pangan lokal --- bukan hanya beras, tetapi juga singkong, sagu, jagung, dan kentang --- maka bangsa ini akan semakin kuat.
Karena ketahanan pangan sejati tumbuh dari kemandirian rumah tangga, bukan dari impor.
Kelebihan Karbohidrat, Kekurangan Protein
Masalah terbesar bangsa kita bukanlah kelaparan, melainkan ketidakseimbangan gizi.
Konsumsi beras per kapita di Indonesia masih tinggi, sementara protein, sayur, dan buah masih rendah.
Kita kenyang, tapi sering tidak sehat.
Banyak anak tumbuh tanpa cukup gizi, bukan karena kurang makan, tapi karena menu makanannya terlalu berat di karbohidrat.
Gerakan Kenyang Tidak Harus Nasi sejatinya adalah gerakan kesadaran gizi nasional.
Tujuannya bukan membuat orang berhenti makan nasi, melainkan menanamkan pemahaman bahwa tubuh memerlukan keseimbangan --- bukan tumpukan nasi semata.
Dari Atlet Panahan untuk Ketahanan Bangsa
Anak saya seorang atlet panahan.
Dalam setiap latihan, saya melihat ketenangan dan kekuatan yang luar biasa darinya.
Ia tidak pernah lemas meski tanpa nasi, karena ia makan dengan cara yang benar: seimbang dan bergizi.
Di lapangan, ia membuktikan bahwa ketahanan fisik tidak ditentukan oleh jenis karbohidrat yang dimakan, tetapi oleh kecukupan protein, hidrasi, dan pola makan yang bijak.
Dan mungkin, tanpa disadari, ia telah menjadi duta kecil program nasional "Kenyang Tidak Harus Nasi."
Dari piringnya yang sederhana, lahir kesadaran besar --- bahwa energi sejati tidak hanya datang dari nasi, tetapi dari kebiasaan makan yang sehat dan bijak.
Refleksi Seorang Orang Tua
Kini saya tidak lagi khawatir ketika anak saya menolak nasi.
Saya justru bangga.
Karena dari sikapnya yang sederhana itu, ia telah mengingatkan saya bahwa ketahanan pangan bangsa ini harus dimulai dari perubahan kecil di rumah.
Bangsa yang tangguh adalah bangsa yang berani berubah.
Berani membuka diri terhadap keberagaman pangan, dan berani mencintai hasil bumi sendiri.
Dari Piring Kecil untuk Revolusi Besar
Kini setiap kali saya melihat anak saya menyantap kentang rebus sebelum berlatih panahan, saya tahu:
Ia bukan hanya sedang makan, ia sedang berkontribusi pada masa depan ketahanan pangan Indonesia.
Karena dari piring kecil di rumah, lahir kesadaran besar bagi negeri:
Kenyang tidak harus nasi, tapi harus bergizi.
Sehat tidak harus sama, tapi harus seimbang.
Bangsa yang kuat bukan bangsa yang banyak berasnya, tapi bangsa yang bijak memanfaatkan hasil buminya.
Dan mungkin, tanpa disadari, anak saya --- duta kecil yang tidak suka nasi --- sedang mengajarkan kepada kita semua: bahwa ketahanan pangan Indonesia dimulai dari keberanian untuk berubah.
Dutanya saya nobatkan sendiri....